31 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Buang Panik demi Momen dan Nyawa

Tak jarang sejumlah pewarta foto mengalami tekanan saat melakukan liputan. Terbukti saat terjadi letusan besar dari Gunung Sinabung. Tetap saja ada fotografer panik saat menyaksikan debu vulkanik membubung ke langit hingga mencapai 3.000 meter ke atas. Pewarta foto juga sering dipenuhi debu vulkanik saat melakukan peliputan di desa-desa. Tidak hanya itu, mereka juga seakan melakukan kompetisi saat mengabadikan momen erupsi. Parahnya, ada sejumlah fotografer yang kehabisan baterai kamera atau memori kamera penuh sehingga melewatkan momen menarik.

Sebagian besar fotografer mengurangi jam istirahatnya demi menunggu momen lava pijar pada malam hari. Hal itu membuat sang fotografer harus merelakan diri untuk selalu tegak semalam suntuk di hadapan kamera yang terpasang di tripot (penyangga kamera) untuk mengabadikan turunnya guguran lava itu.

Belum lagi esok harinya, mereka harus meliput dampak dari erupsi malam dan mengintai segala sisi agraria yang terserang debu. Kesemuanya itu dilakukan semata-mata untuk memberitahukan kepada publik tentang kondisi terkini desa-desa yang berada di kaki Gunung Sinabung. Semangat para pemburu gambar itu tidak terhenti meskipun medan yang akan ditempuh berdampak parah dan terkadang berisiko tinggi.

Soal risiko, pewarta foto harus terus mengasah insting dan memiliki perhitungan realistis saat mengabadikan momen. Sejarah mencatat, Sinabung pada ‘musim erupsi’ Januari-Februari 2014 lalu telah memakan 11 korban. Dua di antaranya malah para pemburu gambar, Rizal Syahputra dan Thomas S Milala.

Itulah sebab, perhitungan dan insting seorang pemburu gambar memang benar-benar diuji menghadapi amuk Sinabung yang sulit diprediksi. Arah angin, tingkat letusan, hingga medan yang rawan menjadi catatan penting bagi seorang fotografer. “Bukanlah hal yang mudah untuk mengabadikan momen di Sinabung ini, karena bencana merupakan daerah yang rawan dan berbahaya. Maka dari itu, semuanya harus penuh pertimbangan, tidak bisa sembarangan,” ujar Kadri Boy Tarigan salah satu fotografer media nasional.

Kadri tak menampik, rasa panik juga dirasakan para fotografer. Apalagi ketika erupsi Sinabung sedang hebat dan posisi mereka berada tak jauh dari gunung tersebut. Sementara, erupsi tersebut adalah momen yang harus mereka abadikan setelah sekian lama penantian. Mau tak mau rasa panik harus ditekan dan segala perhitungan harus dipikirkan demi keselamatan jiwa. “Kepanikan juga harus dihindari, sebab kepanikan akan mengakibatkan hal fatal bagi kami para juru foto,” tutupnya. (rbb)

 

Tak jarang sejumlah pewarta foto mengalami tekanan saat melakukan liputan. Terbukti saat terjadi letusan besar dari Gunung Sinabung. Tetap saja ada fotografer panik saat menyaksikan debu vulkanik membubung ke langit hingga mencapai 3.000 meter ke atas. Pewarta foto juga sering dipenuhi debu vulkanik saat melakukan peliputan di desa-desa. Tidak hanya itu, mereka juga seakan melakukan kompetisi saat mengabadikan momen erupsi. Parahnya, ada sejumlah fotografer yang kehabisan baterai kamera atau memori kamera penuh sehingga melewatkan momen menarik.

Sebagian besar fotografer mengurangi jam istirahatnya demi menunggu momen lava pijar pada malam hari. Hal itu membuat sang fotografer harus merelakan diri untuk selalu tegak semalam suntuk di hadapan kamera yang terpasang di tripot (penyangga kamera) untuk mengabadikan turunnya guguran lava itu.

Belum lagi esok harinya, mereka harus meliput dampak dari erupsi malam dan mengintai segala sisi agraria yang terserang debu. Kesemuanya itu dilakukan semata-mata untuk memberitahukan kepada publik tentang kondisi terkini desa-desa yang berada di kaki Gunung Sinabung. Semangat para pemburu gambar itu tidak terhenti meskipun medan yang akan ditempuh berdampak parah dan terkadang berisiko tinggi.

Soal risiko, pewarta foto harus terus mengasah insting dan memiliki perhitungan realistis saat mengabadikan momen. Sejarah mencatat, Sinabung pada ‘musim erupsi’ Januari-Februari 2014 lalu telah memakan 11 korban. Dua di antaranya malah para pemburu gambar, Rizal Syahputra dan Thomas S Milala.

Itulah sebab, perhitungan dan insting seorang pemburu gambar memang benar-benar diuji menghadapi amuk Sinabung yang sulit diprediksi. Arah angin, tingkat letusan, hingga medan yang rawan menjadi catatan penting bagi seorang fotografer. “Bukanlah hal yang mudah untuk mengabadikan momen di Sinabung ini, karena bencana merupakan daerah yang rawan dan berbahaya. Maka dari itu, semuanya harus penuh pertimbangan, tidak bisa sembarangan,” ujar Kadri Boy Tarigan salah satu fotografer media nasional.

Kadri tak menampik, rasa panik juga dirasakan para fotografer. Apalagi ketika erupsi Sinabung sedang hebat dan posisi mereka berada tak jauh dari gunung tersebut. Sementara, erupsi tersebut adalah momen yang harus mereka abadikan setelah sekian lama penantian. Mau tak mau rasa panik harus ditekan dan segala perhitungan harus dipikirkan demi keselamatan jiwa. “Kepanikan juga harus dihindari, sebab kepanikan akan mengakibatkan hal fatal bagi kami para juru foto,” tutupnya. (rbb)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/