
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Psikolog Irna Minauli menilai, kasus-kasus kekerasan yanh dilakukan oleh anak-anak yang masih di bawah 10 tahun tampaknya sudah semakin marak. Dirinya mengatakan bahwa beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh perilaku anak kelas V SD di Bukit Tinggi yang melakukan penganiayaan fisik pada temannya.
Namun, apa yang terjadi di kota Medan saat ini secara pribadi membuat dirinya syok dengan perbuatan sadis pelaku yang merupakan anak perempuan.
Hal ini membuktikan bahwa kekerasan bukanlah di monopoli oleh kaum laki-laki. Perempuan pun ternyata bisa melakukan tindakan keji, bahkan dalam usia yang masih belia. Banyak orang yang beranggapan bahwa perilaku-perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak suatu hal yang biasa atau dapat ditolerir.
“Kita lihat bagaimana tolerannya tanggapan dari orangtua atau masyarakat terhadap pelaku kekerasan di Bukit Tinggi kemarin. Menurut saya, seorang anak yg nakal, bersikap agresif sehingga melukai orang lain bukanlah perbuatan yang dapat diterima,” ungkapnya.
Irna mengungkapkan pada dasarnya seorang anak yang normal tidak akan pernah berani melakukan hal tersebut. Hanya anak-anak dengan memiliki kecenderungan gangguan perilaku (conduct disorder) saja yang berani melakukan tindak kejahatan tersebut. Mereka sepertinya dilahirkan untuk melukai orang lain. Mereka juga sering melanggar aturan dan norma-norma yang ditetapkan masyarakat.
Selain itu, mereka seperti tidak memiliki empati sehingga ketika melakukan kekerasan, mereka tidak merasa bersalah sedikit pun. Bagi Irna, inilah yang sangat berbahaya, ketika seseorang tidak lagi bisa merasakan kesakitan dan derita yang mungkin dialami oleh korbannya. Ironisnya, mereka bahkan seperti menikmati kesakitan dan penderitaan yang dialami korban.
Anak-anak dengan gangguan perilaku seperti ini jika tidak ditangani dengan baik, maka ketika mereka dewasa akan berkembang menjadi pribadi-pribadi dengan gangguan kepribadian antisosial (antisocial personality disorder) atau yang lebih dikenal dengan istilah psikopat.
“Tidak mustahil kelak mereka akan menjadi pembunuh berantai atau penipu-penipu ulung,”ungkapnya. Anak-anak dengan gangguan perilaku seperti yang terungkap pada beberapa kasus belakangan ini, cenderung berasal dari keluarga yang menerapkan kekerasan di dalam pengasuhannya. Lalu kemungkinan mereka memiliki pola disiplin yang kurang konsisten atau berasal dari keluarga yang disfungsional.
“Keluarga yang tidak berfungsi dengan baik ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari orangtua yang bercerai, peran ayah yang tidak seimbang, keluarga yang serba boleh, dan terlalu memanjakan anaknya,” ujar Irna.
Anak-anak dengan gangguan perilaku seperti pada banyak kasus saat ini, cenderung memiliki kecemburuan dan permusuhan yang besar terhadap anak-anak lain yang dianggapnya sebagai pesaing. Mereka cenderung mengintimidasi korban untuk menunjukkan superioritasnya. Ketika dilihatnya ada anak yang lebih pintar, lebih cantik atau lebih kaya dari dirinya, mereka cenderung akan menjadikan mereka sebagai bullying.
Namun Irna mengatakan, yang lebih parah dari perilaku bullying ini dan juga mendapatkan tindakan adalah perilaku dari anak-anak yang menyaksikan kejadiannya. Mereka seringkali bertindak bak ‘cheerleaders’ yang menyemangati rekan-rekannya untuk melakukan penyiksaan pada korban.
Seharusnya anak-anak yang menjadi pelaku dan penonton dari kekerasan ini juga mendapatkan tindakan dan pembinaan yang serius dari sekolah dan tenaga profesional seperti psikolog. Jika tidak ditangani dengan baik, dikhawatirkan perilaku anak tersebut akan terus berulang dan bahkan akan lebih keji lagi. Selain itu, korban juga perlu mendapatkan penanganan serius atas trauma yang dialaminya. Irna mengaku, bahwa dirinya sudah beberapa kali menangani kasus gangguan perilaku anak di Minauli Consulting Jl. DI Panjaitan No 180 Medan.
“Saya melihat pada video kekerasan yang di Bukit Tinggi kemarin, ada anak yg menyoraki “taruih, taruih” (terus, terus). Para bystander ini cenderung membiarkan dan bahkan mendukung dan membantu pelaku untuk menjalankan aksinya. Saya yakin kejadian seperti itu ada di banyak sekolah. Hanya saja belum terekspos. Saya yakin banyak sekolah-sekolah populer di Medan yang muridnya melakukan bullying,” ujarnya. (win/ind/deo)