25 C
Medan
Saturday, September 21, 2024

Penunggak BPJS Kesehatan Terancam Sanksi Layanan Publik, Ombudsman Sumut: Terlalu Mengada-ada

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyoroti usulan sanksi yang akan diberikan oleh pemerintah kepada setiap peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang menunggak iuran. Sanksi tersebut, berupa tidak bisa memperoleh layanan publik, seperti tidak bisa mengurus IMB, paspor, SIM, STNK, hingga sertifikat tanahn

Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Utara (Sumut), Abyadi Siregar mengatakan, sanksi yang akan diberlakukan ini tentunya sangat tidak benar. Sebab, setiap warga negara memiliki hak konstitusional sesuai Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009, berupa hak atas semua layanan publik.

“Saya rasa sanksi itu terlalu mengada-ada. Apa payung hukumnya, sampai tidak boleh mendapatkan pelayanan publik? Soalnya, itu kan hak konstitusional masyarakat,” tutur Abyadi, Senin (14/10) lalu.

Menurut Abyadi, apabila sanksi layanan publik ini diterapkan, maka apalagi ketenangan yang bisa didapatkan masyarakat sebagai warga negara. Jangan sampai ada masyarakat yang berpikir untuk menyesali dirinya telah menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Jangan karena tidak membayar BPJS Kesehatan sampai berefek pada tidak mendapatkan hak itu. Jadi, kenapa dimonopoli? Padahal layanannya bukannya bagus. Sebab, begitu banyak orang yang kecewa dengan layanan BPJS Kesehatan,” tegasnya.

Dia mengaku, selama ini juga cukup banyak laporan yang masuk ke Ombudsman, atas pelayan BPJS Kesehatan, baik itu pasien sudah disuruh pulang meski belum sembuh, hingga sulitnya mendapatkan ruangan, dan panjangnya waktu antrean operasi. “Ini kan persoalan serius. Tapi, kadang masalah BPJS Kesehatan hanya ditimpakan kepada masyarakat. Harusnya BPJS Kesehatan juga introspeksi diri, karena banyak kelemahan manajemen,” jelas Abyadi.

Disinggung mengenai masalah defisit, Abyadi mengaku, Ombudsman memang tidak mempersoalkan adanya rencana kenaikan iuran. Hanya saja, kebijakan kenaikan itu harus dapat dipertimbangkan secara proporsional. “Kami paham tentang defisit. Makanya silakan saja naik (tarif iuran), tapi proporsional. Namun jangan begini dibuat (ada sanksi layanan publik). Kalau enggak bayar, ya tidak perlu dilayani, jangan dipaksa,” ujarnya kesal.

Dia juga menyatakan, jika nantinya tetap diterapkan sanksi pelayanan publik tersebut, dikhawatirkan malah akan menambah persoalan baru yang akan menimbulkan respon tidak baik dari masyarakat secara luas. Selain itu, kebijakan ini dapat menimbulkan perlawanan masyarakat kepada BPJS Kesehatan, karena dianggap begitu menyusahkan di tengah layanannya yang tidak baik. “Saya pikir ini tidak tepat, dan harus ditinjau kembali. Tapi karena ini isu nasional, maka saya pikir akan menjadi kebijakan Ombudsman pusat, untuk menyikapinya. Begitu juga di tingkat lokal, kami akan memberi warna dalam menyikapi ini, dalam perspektif layanan publik,” kata Abyadi.

Terpisah, Kepala Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Medan, Rahman Cahyo mengaku, sampai sejauh ini belum ada aturan pelaksana mengenai sanksi layanan publik bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran. Sanksi yang ada, menurutnya, hanya berupa penonaktifan kartu dan denda pelayanan kesehatan, jika mengakses layanan rawat inap setelah kartu aktif kembali. “Masih itu sanksinya, kalau sanksi layanan publik seperti tidak bisa membuat SIM itu, belum ada peraturan pelaksananya,” bebernya.

Dia mengatakan, rencana sanksi layanan publik tersebut memang sudah ada tertuang dalam PP Nomor 86 Tahun 2013. “Jadi, sudah lama. Mungkin peraturan yang lama itu yang mau dibuatkan peraturan pelaksananya,” pungkas Cahyo. (ris/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyoroti usulan sanksi yang akan diberikan oleh pemerintah kepada setiap peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang menunggak iuran. Sanksi tersebut, berupa tidak bisa memperoleh layanan publik, seperti tidak bisa mengurus IMB, paspor, SIM, STNK, hingga sertifikat tanahn

Kepala Perwakilan Ombudsman Sumatera Utara (Sumut), Abyadi Siregar mengatakan, sanksi yang akan diberlakukan ini tentunya sangat tidak benar. Sebab, setiap warga negara memiliki hak konstitusional sesuai Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009, berupa hak atas semua layanan publik.

“Saya rasa sanksi itu terlalu mengada-ada. Apa payung hukumnya, sampai tidak boleh mendapatkan pelayanan publik? Soalnya, itu kan hak konstitusional masyarakat,” tutur Abyadi, Senin (14/10) lalu.

Menurut Abyadi, apabila sanksi layanan publik ini diterapkan, maka apalagi ketenangan yang bisa didapatkan masyarakat sebagai warga negara. Jangan sampai ada masyarakat yang berpikir untuk menyesali dirinya telah menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Jangan karena tidak membayar BPJS Kesehatan sampai berefek pada tidak mendapatkan hak itu. Jadi, kenapa dimonopoli? Padahal layanannya bukannya bagus. Sebab, begitu banyak orang yang kecewa dengan layanan BPJS Kesehatan,” tegasnya.

Dia mengaku, selama ini juga cukup banyak laporan yang masuk ke Ombudsman, atas pelayan BPJS Kesehatan, baik itu pasien sudah disuruh pulang meski belum sembuh, hingga sulitnya mendapatkan ruangan, dan panjangnya waktu antrean operasi. “Ini kan persoalan serius. Tapi, kadang masalah BPJS Kesehatan hanya ditimpakan kepada masyarakat. Harusnya BPJS Kesehatan juga introspeksi diri, karena banyak kelemahan manajemen,” jelas Abyadi.

Disinggung mengenai masalah defisit, Abyadi mengaku, Ombudsman memang tidak mempersoalkan adanya rencana kenaikan iuran. Hanya saja, kebijakan kenaikan itu harus dapat dipertimbangkan secara proporsional. “Kami paham tentang defisit. Makanya silakan saja naik (tarif iuran), tapi proporsional. Namun jangan begini dibuat (ada sanksi layanan publik). Kalau enggak bayar, ya tidak perlu dilayani, jangan dipaksa,” ujarnya kesal.

Dia juga menyatakan, jika nantinya tetap diterapkan sanksi pelayanan publik tersebut, dikhawatirkan malah akan menambah persoalan baru yang akan menimbulkan respon tidak baik dari masyarakat secara luas. Selain itu, kebijakan ini dapat menimbulkan perlawanan masyarakat kepada BPJS Kesehatan, karena dianggap begitu menyusahkan di tengah layanannya yang tidak baik. “Saya pikir ini tidak tepat, dan harus ditinjau kembali. Tapi karena ini isu nasional, maka saya pikir akan menjadi kebijakan Ombudsman pusat, untuk menyikapinya. Begitu juga di tingkat lokal, kami akan memberi warna dalam menyikapi ini, dalam perspektif layanan publik,” kata Abyadi.

Terpisah, Kepala Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Medan, Rahman Cahyo mengaku, sampai sejauh ini belum ada aturan pelaksana mengenai sanksi layanan publik bagi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran. Sanksi yang ada, menurutnya, hanya berupa penonaktifan kartu dan denda pelayanan kesehatan, jika mengakses layanan rawat inap setelah kartu aktif kembali. “Masih itu sanksinya, kalau sanksi layanan publik seperti tidak bisa membuat SIM itu, belum ada peraturan pelaksananya,” bebernya.

Dia mengatakan, rencana sanksi layanan publik tersebut memang sudah ada tertuang dalam PP Nomor 86 Tahun 2013. “Jadi, sudah lama. Mungkin peraturan yang lama itu yang mau dibuatkan peraturan pelaksananya,” pungkas Cahyo. (ris/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/