Tavip Supriyana, Ahli Seni Landscape
Seni kreatif terus berkembang dan bermanfaat untuk segala bidang. Tak terkecuali di bidang properti. Ahli seni landscape (seni pertamanan) berperan penting mengkreasikan terciptanya konsep taman yang indah dan asri di lingkungan rumah, hotel, perumahan, real estate, villa, kantor dan lainnya. Salah satunya Tavip Supriyana.
DONI HERMAWAN, Medan
Ia kini semakin dikenal di dunia properti dengan keahliannya mendekorasikan taman. Ia merupakan pemilik Malioboro Decoration Art di kawasan Polonia yang bergerak di bidang seni dekorasi landscape, dan juga pembuatan kolam minimalis, kolam renang, taman dan lukisan.
Dengan skillnya tersebut, bapak lima anak ini sudah menginjakkan kaki di Thailand, Malaysia dengan membuat landscape untuk rumah-rumah datuk di negeri jiran. Dari rumah asrinya di Jalan Garu II B, Gang Musholla No 10, Medan, Tavip mengurai perjalanannya.
Tavip Supriyana dahulunya seorang pelukis. Jangan cerita pendidikan tinggi karena ilmu-ilmu yang didapatkannya justru berasal dari pengalaman dan kreativitas yang terus diasahnya.
Ilmu yang didapatkannya dari tiga tahun menimba di SMK jurusan seni kriya di Jogja dari tahun 1985-1988. Selepas itu ia merantau mengajar kesenian di Padang, Sumatera Barat. Hanya setahun Taufik, panggilan akrabnya, hijrah ke Sumatera Utara dengan mendapatkan proyek pengerjaan taman dan air terjun di Kota Pinang, Labuhanbatu.
Sukses di situ, ia langsung mendapat proyek besar. Ia dipercaya mengerjakan landscape perumahan di Villa Jati Mas, Medan.
Kemudian, tahun 1990-an, bersama beberapa rekannya, Taufik mendirikan Malioboro di kawasan Polonia.
Untuk mengembangkan usahanya, ia membutuhkan batu alam. Namun harganya yang sangat mahal membuat Taufik berpikir mencari solusi untuk pengurangan biaya. Ia pun membuat batu alam tiruan sejak tahun 2006. Harganya bisa sampai setengah harga untuk membeli batu alam.
“Kalau kualitas tentu bagus batu alam. Tapi batu tiruan karena kami membuatnya dari semen, maka bisa dicat sesuai warna. Harganya juga setengah harga batu alam,” timpalnya.
Ternyata ia mendapat sambutan positif. Batu tiruan itu terus diminati sebagai pengganti batu alam. “Di Medan, rata-rata orang maunya batu alam, tapi mahal. Dan saya tawarkan batu tiruan, di mana bahannya dari semen, namun bisa dibuat seperti batu dibuat karya yang indah. Ternyata minatnya luar biasa dan tahun 2007 saya orbitkan batu tiruan, pemesanan terus meningkat,” bebernya.
Lantaran batu tiruan ini juga, dia terbang ke beberapa negara tetangga, sampai tujuh bulan. Karena banyak pesanan, tahun 2007, Taufik akhirnya menyerahkan sanggar usaha lainnya yang sempat dibangunnya di Pekanbaru kepada ponakannya. Ia pun kini fokus membangun usahanya di kawasan Polonia, Medan dengan sendiri.
Di Medan, tawaran terus bermunculan, misalnya pengerjaan lahan permainan air tengah kota.
“Saya kebanyakan memang mengerjaan perumahan pribadi, termasuk di kawasan Setia Budi yang merencanakan kolam renangnya. Kebanyakan pemesan adalah promosi dari mulut ke mulut yang sudah tahu karya saya dipakai di sebuah perumahan,” jelasnya.
Pria berusia 47 tahun ini, menjelaskan dalam satu proyek bisa diselesaikan dua sampai tiga mingggu dan itu juga tergantung dengan tingkat kesulitan.
“Dalam mengerjakan proyek, kita boleh menempatkan ego dalam seni. Tapi, tetap harus mengutamakan maunya konsumen. Karena mereka yang akan menempati rumah dan melihat karya kita setiap hari,” ungkapnya.
Tavip juga tak masalah, jika ada konsumen yang cerewet akan detail karyanya.
“Saya banyak berhubungan dengan ibu-ibu, ya selama kita masih bisa memberi masukan dan bisa saling komunikasi, saya rasa enggak masalah. Maunya banyak, asal bayaran lancar ya enggak apa-apa. Bagi saya banyak permintaan, merupakan tantangan,” ucapnya sambil tersenyum.
Dia mengakui bisnisnya ini akan tetap berkembang, mengingat banyak konsumen yang sudah sangat jeli dan pintar membaca pentingnya seni dalam perumahan.
“Untuk seni perumahan di Medan ini pangsa pasarnya bagus. Karena orang banyak lihat majalah dan internet, dibanding Surabaya dan Jakarta hampir sama. Untuk kemampuan daya beli, dan berkarya lebih enak di Medan, terutama konsumen banyak dari etnis Tionghoa. Pasarnya sudah imbang dengan di Jawa,” tuturnya.
Tavip menjelaskan persaingan usaha sejenis di Medan tidak akan mengganggu ranah penghasilannya. Dia percaya masing-masing seniman punya keahlian masing-masing. Terlebih, beberapa pembuat landscape di Medan merupakan anak didiknya yang sempat dibawanya dari Jogja. “Saya enggak begitu memikirkan itu. Mereka yang pernah saya didik, masih ingat saya. Kadang saat mereka dapat proyek besar dikasihnya ke saya, karena mereka enggak bisa,” pungkasnya. (*)