29 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Awal 2014 Komisi Kejaksaan ke Sumut

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen, kaget saat mendengar informasi banyaknya kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), mandek bahkan diduga telah dipetieskan.

Apalagi saat disebut sejumlah kasus yang mandek antara lain, dugaan korupsi penyimpangan pengalihan tanah kosong jadi lahan pertanian yang dilakukan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan. Kemudian dugaan korupsi pembangunan rumah dinas kantor bupati dan jamborai serta pembebasan tanah di Nias Selatan (Nisel)n
yang berasal dari APBD 2007-2010. Dan dugaan korupsi penggunaan dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Operasional di Sekwan (Sekretaris DPRD) Sumut pada masa bakti Tahun 2004-2009 yang diduga merugikan negara Rp4 miliar.

“Saya kira dugaan ini merupakan informasi yang sangat baik. Komisi Kejaksaan akan menindaklanjutinya. Untuk mencari tahu apakah benar kasus-kasus tersebut dipetieskan. Saya akan menindaklanjutinya sebagai bagian dari pengawasan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Senin (16/12).

Menurut Halius, langkah tersebut dilakukan karena dalam melaksanakan peran pengawasan, Komisi Kejaksaan tidak hanya bergerak jika ada pengaduan dari masyarakat. Namun langkah penyelidikan dapat dilakukan jika mengetahui dan mendengar informasi sebagaimana pemberitaan media massa.

Saat ditanya kapan Komisi Kejaksaan akan menindaklanjuti informasi tersebut, Halius memastikan dalam waktu dekat. Bahkan kemungkinan sudah akan dilakukan pada awal Januari 2014 dengan turun langsung ke Sumatera Utara.

“Kita akan tinjau ke sana awal Januari 2014. Kita bisa langsung ke Kejati Sumut dengan tentunya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Jadi tidak tertutup kemungkinan kita akan turun langsung ke Sumut,” ujarnya.

Langkah tersebut dibutuhkan, karena hingga saat ini ternyata masih ada saja aparat hukum terutama pejabat kejaksaan yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Paling tidak terlihat dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu (14/12) lalu, yang menangkap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Subri (SUB).

“Kalau disebut penangkapan kemarin barometer banyaknya oknum jaksa bermasalah hukum, saya kira masih sulit. Karena (penangkapan oknum Kajari Praya), satu dari antara ribuan pejabat kejaksaan yang ada. Cuma memang penangkapan kemarin itu menjadi sebuah indikasi, perlunya kejaksaaan untuk berbenah diri,” katanya.

Menurut Halius, seluruh elemen kejaksaan mulai dari Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Negeri yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, perlu menjadikan penangkapan tersebut sebagai motivasi untuk berbenah diri. Karena sekecil apapun pelanggaran hukum apalagi itu dilakukan aparat hukum, sangat mencederai institusi kejaksaan.

“Jadi harusnya penangkapan kemarin itu perlu ditanggapi secara bijak oleh semua elemen penegak hukum, agar ke depan proses hukum yang berjalan benar-benar sesuai dengan harapan semua lapisan masyarakat. Karena tanpa adanya penegakan hukum yang maksimal, tidak mungkin keadilan dapat ditegakkan,” katanya.

Buying Time Jadi Tren
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum USU, Prof Dr Syafruddin Kalo SH MHum meminta penyidik segera menyelesaikan banyaknya kasus yang diduga mengendap. Dia menegaskan, bila suatu perkara dugaan korupsi telah cukup bukti, maka tidak ada alasan untuk memendam kasus itu.

“Kalau berkas perkara itu sudah lengkap, tidak ada alasan untuk tidak melimpahkannya. Tapi ada hal-hal yang menghambat pemberkasan, misalnya kurang cukup bukti. Jadi itu semua tergantung bukti yang diperoleh, kalau keterangan saksi-saksi sudah cukup, ya harus dilimpahkan ke Pengadilan, itu formal nya,” katanya.

Dia juga meminta agar Kejagung menindak penyidik Kejatisu bila terbukti sengaja memperlama penyelesaian kasus korupsi. Kejagung, katanya, harus menegur Kajatisu. Karena banyak nya kasus yang tidak diselesaikan hingga tuntas bahkan diduga sengaja di endapkan. “Kalau memang benar di endapkan kasus itu, seharusnya Kajati selaku pimpinan harus menegur anggotanya. Bila perlu Kejagung harus turun tangan dan bertindak, karena itukan induk komando,” tegasnya.

Terpisah, Direktur FITRA Sumut Rurita Ningrum juga berkomentar tak kalah pedas terhadap lambatnya penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan penyidik Kejatisu. Terlibatnya oknum penegak hukum terutama jaksa dalam praktik suap, menurutnya bukanlah hal baru. Bahkan modus yang dilakukan juga sudah semakin canggih dengan pola buying time.

“Buying time seolah-olah menjadi trend yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Sumut khusunya Kejatisu. Dimana penyidik sengaja memperlama penyelesaian kasus untuk mengambil keuntungan dari calon tersangka atau para tersangka yang telah ditetapkan. Bahkan indikasi menabung kasus ini sudah tampak dilakukan penyidik. Dimana akhir tahun, kasus diantar hingga ke tahun depan, seolah-olah banyak kasus yang ditangani oleh Kejatisu,” katanya.

Pihaknya menyatakan sudah hampir tidak mempercayai penegakan hukum di Sumut terutama bila kasus itu ditangani Kejaksaan. Apalagi selama ini, Ruri menilai, Kejatisu sengaja mengulur-ulur waktu dengan menjadikan tersangka sebagai mesin ATM untuk mencari keuntungan. “Kejati sering lamban menangani kasus. Bahkan untuk kasus besar misalnya bansos hanya menjerat staf-staf bawahan saja. Mereka sengaja menjual beli kan kasus korupsi itu. Dimana tersangka dijadikan mesin ATM. Artinya penyidik menabung kasus dengan memanfaatkan tersangka untuk meminta uang,” tudingnya. (gir/far/rbb)

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen, kaget saat mendengar informasi banyaknya kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), mandek bahkan diduga telah dipetieskan.

Apalagi saat disebut sejumlah kasus yang mandek antara lain, dugaan korupsi penyimpangan pengalihan tanah kosong jadi lahan pertanian yang dilakukan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Medan. Kemudian dugaan korupsi pembangunan rumah dinas kantor bupati dan jamborai serta pembebasan tanah di Nias Selatan (Nisel)n
yang berasal dari APBD 2007-2010. Dan dugaan korupsi penggunaan dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Operasional di Sekwan (Sekretaris DPRD) Sumut pada masa bakti Tahun 2004-2009 yang diduga merugikan negara Rp4 miliar.

“Saya kira dugaan ini merupakan informasi yang sangat baik. Komisi Kejaksaan akan menindaklanjutinya. Untuk mencari tahu apakah benar kasus-kasus tersebut dipetieskan. Saya akan menindaklanjutinya sebagai bagian dari pengawasan,” ujarnya kepada koran ini di Jakarta, Senin (16/12).

Menurut Halius, langkah tersebut dilakukan karena dalam melaksanakan peran pengawasan, Komisi Kejaksaan tidak hanya bergerak jika ada pengaduan dari masyarakat. Namun langkah penyelidikan dapat dilakukan jika mengetahui dan mendengar informasi sebagaimana pemberitaan media massa.

Saat ditanya kapan Komisi Kejaksaan akan menindaklanjuti informasi tersebut, Halius memastikan dalam waktu dekat. Bahkan kemungkinan sudah akan dilakukan pada awal Januari 2014 dengan turun langsung ke Sumatera Utara.

“Kita akan tinjau ke sana awal Januari 2014. Kita bisa langsung ke Kejati Sumut dengan tentunya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). Jadi tidak tertutup kemungkinan kita akan turun langsung ke Sumut,” ujarnya.

Langkah tersebut dibutuhkan, karena hingga saat ini ternyata masih ada saja aparat hukum terutama pejabat kejaksaan yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Paling tidak terlihat dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu (14/12) lalu, yang menangkap Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Subri (SUB).

“Kalau disebut penangkapan kemarin barometer banyaknya oknum jaksa bermasalah hukum, saya kira masih sulit. Karena (penangkapan oknum Kajari Praya), satu dari antara ribuan pejabat kejaksaan yang ada. Cuma memang penangkapan kemarin itu menjadi sebuah indikasi, perlunya kejaksaaan untuk berbenah diri,” katanya.

Menurut Halius, seluruh elemen kejaksaan mulai dari Kejaksaan Agung hingga Kejaksaan Negeri yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, perlu menjadikan penangkapan tersebut sebagai motivasi untuk berbenah diri. Karena sekecil apapun pelanggaran hukum apalagi itu dilakukan aparat hukum, sangat mencederai institusi kejaksaan.

“Jadi harusnya penangkapan kemarin itu perlu ditanggapi secara bijak oleh semua elemen penegak hukum, agar ke depan proses hukum yang berjalan benar-benar sesuai dengan harapan semua lapisan masyarakat. Karena tanpa adanya penegakan hukum yang maksimal, tidak mungkin keadilan dapat ditegakkan,” katanya.

Buying Time Jadi Tren
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Hukum USU, Prof Dr Syafruddin Kalo SH MHum meminta penyidik segera menyelesaikan banyaknya kasus yang diduga mengendap. Dia menegaskan, bila suatu perkara dugaan korupsi telah cukup bukti, maka tidak ada alasan untuk memendam kasus itu.

“Kalau berkas perkara itu sudah lengkap, tidak ada alasan untuk tidak melimpahkannya. Tapi ada hal-hal yang menghambat pemberkasan, misalnya kurang cukup bukti. Jadi itu semua tergantung bukti yang diperoleh, kalau keterangan saksi-saksi sudah cukup, ya harus dilimpahkan ke Pengadilan, itu formal nya,” katanya.

Dia juga meminta agar Kejagung menindak penyidik Kejatisu bila terbukti sengaja memperlama penyelesaian kasus korupsi. Kejagung, katanya, harus menegur Kajatisu. Karena banyak nya kasus yang tidak diselesaikan hingga tuntas bahkan diduga sengaja di endapkan. “Kalau memang benar di endapkan kasus itu, seharusnya Kajati selaku pimpinan harus menegur anggotanya. Bila perlu Kejagung harus turun tangan dan bertindak, karena itukan induk komando,” tegasnya.

Terpisah, Direktur FITRA Sumut Rurita Ningrum juga berkomentar tak kalah pedas terhadap lambatnya penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan penyidik Kejatisu. Terlibatnya oknum penegak hukum terutama jaksa dalam praktik suap, menurutnya bukanlah hal baru. Bahkan modus yang dilakukan juga sudah semakin canggih dengan pola buying time.

“Buying time seolah-olah menjadi trend yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Sumut khusunya Kejatisu. Dimana penyidik sengaja memperlama penyelesaian kasus untuk mengambil keuntungan dari calon tersangka atau para tersangka yang telah ditetapkan. Bahkan indikasi menabung kasus ini sudah tampak dilakukan penyidik. Dimana akhir tahun, kasus diantar hingga ke tahun depan, seolah-olah banyak kasus yang ditangani oleh Kejatisu,” katanya.

Pihaknya menyatakan sudah hampir tidak mempercayai penegakan hukum di Sumut terutama bila kasus itu ditangani Kejaksaan. Apalagi selama ini, Ruri menilai, Kejatisu sengaja mengulur-ulur waktu dengan menjadikan tersangka sebagai mesin ATM untuk mencari keuntungan. “Kejati sering lamban menangani kasus. Bahkan untuk kasus besar misalnya bansos hanya menjerat staf-staf bawahan saja. Mereka sengaja menjual beli kan kasus korupsi itu. Dimana tersangka dijadikan mesin ATM. Artinya penyidik menabung kasus dengan memanfaatkan tersangka untuk meminta uang,” tudingnya. (gir/far/rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/