25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Tukang Gigi Abaikan Peraturan Menteri

MEDAN-Penertiban profesi tukang gigi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tertanggal 5 September 2011 lahirkan polemik. Bahkan, beberapa tukang gigi menolak keras peraturan tersebut.

Satu di antara tukang gigi yang mengungkapkan kekecewaan terhadap peraturan tersebut adalah Anto. “Tentu saja saya nggak setuju. Saya juga belum tahu soal peraturan itu. Kalau peraturan itu memang ditetapkan nantinya, saya nggak peduli,” ujar Anto yang beroperasi di Jalan Karya Wisata ini, Selasa (17/1).

Menurutnya, pekerjaan tukang gigi merupakan keterampilan dan tidak mengganggu kesehatan. “Sudah lama saya jadi tukang gigi. Ada sekitar 8 tahun dan belajar dari orangtua. Dari pekerjaan ini, pendapatan yang saya peroleh per bulannya lumayanlah untuk kebutuhan rumah tangga. Kalau kita nggak diizinkan lagi beroperasi, memangnya pemerintah ada memberi solusi buat kita seperti menyediakan lapangan pekerjaan?” ucapnya lagi.
Dari pekerjaan tersebut, per bulannya Anto bisa menghasilkan Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. “Tempat saya hanya memasang gigi. Jadi untuk mencabut atau perawatan gigi bukan sama saya. Kalau gigi palsunya, kita pesan dari pabrik. Memang pasien yang datang rata-rata golongan menengah ke bawah,” ucapnya.

Untuk tarif pasang gigi, lanjut Anto, sangat terjangkau. “Biasanya Rp50 ribu sampai Rp 70 ribu sekali pasang. Memang saya nggak punya izin, tapi kita kerja tanggung jawab kok. Kadang, kalau memasangnya nggak enak, kita dimarahi pelanggan. Setahu saya, banyak tukang gigi yang nggak ada izinnya. Tapi sejauh ini nggak masalah. Berobat ke dokter gigi itukan mahal, apalagi untuk pasang gigi. Makanya banyak yang datang ke tempat kita,” jelasnya.
Senada, Ali yang juga bekerja sebagai tukang gigi di Jalan Padangbulan juga menolak peraturan tersebut. “Memang pemerintah tahu nya membuat peraturan saja. Tapi yang dirugikan masyarakat kecil. Kalau kita nggak boleh beroperasi lagi, lantas kita makan apa? Nggak ada itu Permenkes, nggak peduli saya,” ujar Ali yang sudah 10 tahun bekerja sebagai tukang gigi.

Keterampilan memasang gigi, katanya, merupakan turun temurun dari orangtuanya. “Saya belajar dari ayah saya yang sudah 40 tahun menjadi tukang gigi. Dari pekerjaan ini, penghasilan lumayan bisa dapat Rp1 juta. Kadang dalam dua hari pasien kita nggak ada. Tergantung rezeki jugalah. Jadi tempat saya cuma untuk pasang gigi tiruan aja,” urainya.

Seperti diberitkan, dengan ditetapkannya Permenkes RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tertanggal 5 September 2011, maka pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukan kewenangan tukang gigi.

Salah satu isi Permenkes itu menyebutkan bagi yang telah melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sampai berlakunya peraturan tersebut atau habis masa berlaku, izinnya tidak dapat diperpanjang lagi. Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Medan Drg Iskandar Muda Siregar mengharapkan Dinas kesehatan (Dinkes) Kota Medan melakukan penertiban praktik tukang gigi. Tidak hanya praktik tukang gigi, pihaknya mensinyalir adanya perawat gigi yang melakukan praktik tukang gigi, walaupun domainnya terbatas dibawah supervisi dokter.

Iskandar menyebutkan sikap PDGI hanya berfungsi untuk pembenahan dan pengawasan angggotanya. “Dokter gigi dan dokter lainnya diwajibkan dengan persyaratan yang ketat mulai dari uji kompetensi, harus memiliki surat tanda registrasi dan mengikuti ujian klinis. Sementara tukang gigi ini bisa bebas membuka praktek dimana saja tanpa melalui uji kompetensi,” ungkapnya.

Terpisah, Kadis Kesehatan Kota Medan dr Edwin  Effendi MSc  mengatakan pihaknya masih melakukan sosialisasi secara bertahap dan memerlukan waktu. Begitupun, sejak adanya Permenkes RI Nomor 1076 Tahun 2003 tanggal 24 Juli tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional dan klasifikasi jenis pengobatan tradisional, praktik tukang gigi tidak lagi masuk dalam klasifikasi pengobatan tradisonal.

“Jadi sejak itu tidak ada lagi perpanjangan izin praktik tukang gigi. Sebelum keluarnya Permenkes itu, ada sekitar 40 an praktik tukang gigi di Medan, sekarang ini tidak terdata lagi. Kita secepatnya membuat surat edaran dan mensosialisasikan Permenkes nomor 1871 tersebut. Kita hanya mengimbau masyarakat untuk tidak ke tukang gigi, tapi tidak bisa melarang masyarakat berobat ke mana,” bebernya. (mag-11)

Terkait:

Weleh, Profesi Tukang Gigi Dicabut

MEDAN-Penertiban profesi tukang gigi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tertanggal 5 September 2011 lahirkan polemik. Bahkan, beberapa tukang gigi menolak keras peraturan tersebut.

Satu di antara tukang gigi yang mengungkapkan kekecewaan terhadap peraturan tersebut adalah Anto. “Tentu saja saya nggak setuju. Saya juga belum tahu soal peraturan itu. Kalau peraturan itu memang ditetapkan nantinya, saya nggak peduli,” ujar Anto yang beroperasi di Jalan Karya Wisata ini, Selasa (17/1).

Menurutnya, pekerjaan tukang gigi merupakan keterampilan dan tidak mengganggu kesehatan. “Sudah lama saya jadi tukang gigi. Ada sekitar 8 tahun dan belajar dari orangtua. Dari pekerjaan ini, pendapatan yang saya peroleh per bulannya lumayanlah untuk kebutuhan rumah tangga. Kalau kita nggak diizinkan lagi beroperasi, memangnya pemerintah ada memberi solusi buat kita seperti menyediakan lapangan pekerjaan?” ucapnya lagi.
Dari pekerjaan tersebut, per bulannya Anto bisa menghasilkan Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. “Tempat saya hanya memasang gigi. Jadi untuk mencabut atau perawatan gigi bukan sama saya. Kalau gigi palsunya, kita pesan dari pabrik. Memang pasien yang datang rata-rata golongan menengah ke bawah,” ucapnya.

Untuk tarif pasang gigi, lanjut Anto, sangat terjangkau. “Biasanya Rp50 ribu sampai Rp 70 ribu sekali pasang. Memang saya nggak punya izin, tapi kita kerja tanggung jawab kok. Kadang, kalau memasangnya nggak enak, kita dimarahi pelanggan. Setahu saya, banyak tukang gigi yang nggak ada izinnya. Tapi sejauh ini nggak masalah. Berobat ke dokter gigi itukan mahal, apalagi untuk pasang gigi. Makanya banyak yang datang ke tempat kita,” jelasnya.
Senada, Ali yang juga bekerja sebagai tukang gigi di Jalan Padangbulan juga menolak peraturan tersebut. “Memang pemerintah tahu nya membuat peraturan saja. Tapi yang dirugikan masyarakat kecil. Kalau kita nggak boleh beroperasi lagi, lantas kita makan apa? Nggak ada itu Permenkes, nggak peduli saya,” ujar Ali yang sudah 10 tahun bekerja sebagai tukang gigi.

Keterampilan memasang gigi, katanya, merupakan turun temurun dari orangtuanya. “Saya belajar dari ayah saya yang sudah 40 tahun menjadi tukang gigi. Dari pekerjaan ini, penghasilan lumayan bisa dapat Rp1 juta. Kadang dalam dua hari pasien kita nggak ada. Tergantung rezeki jugalah. Jadi tempat saya cuma untuk pasang gigi tiruan aja,” urainya.

Seperti diberitkan, dengan ditetapkannya Permenkes RI Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tertanggal 5 September 2011, maka pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukan kewenangan tukang gigi.

Salah satu isi Permenkes itu menyebutkan bagi yang telah melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang gigi masih dapat menjalankan pekerjaannya sampai berlakunya peraturan tersebut atau habis masa berlaku, izinnya tidak dapat diperpanjang lagi. Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.

Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Cabang Medan Drg Iskandar Muda Siregar mengharapkan Dinas kesehatan (Dinkes) Kota Medan melakukan penertiban praktik tukang gigi. Tidak hanya praktik tukang gigi, pihaknya mensinyalir adanya perawat gigi yang melakukan praktik tukang gigi, walaupun domainnya terbatas dibawah supervisi dokter.

Iskandar menyebutkan sikap PDGI hanya berfungsi untuk pembenahan dan pengawasan angggotanya. “Dokter gigi dan dokter lainnya diwajibkan dengan persyaratan yang ketat mulai dari uji kompetensi, harus memiliki surat tanda registrasi dan mengikuti ujian klinis. Sementara tukang gigi ini bisa bebas membuka praktek dimana saja tanpa melalui uji kompetensi,” ungkapnya.

Terpisah, Kadis Kesehatan Kota Medan dr Edwin  Effendi MSc  mengatakan pihaknya masih melakukan sosialisasi secara bertahap dan memerlukan waktu. Begitupun, sejak adanya Permenkes RI Nomor 1076 Tahun 2003 tanggal 24 Juli tentang penyelenggaraan pengobatan tradisional dan klasifikasi jenis pengobatan tradisional, praktik tukang gigi tidak lagi masuk dalam klasifikasi pengobatan tradisonal.

“Jadi sejak itu tidak ada lagi perpanjangan izin praktik tukang gigi. Sebelum keluarnya Permenkes itu, ada sekitar 40 an praktik tukang gigi di Medan, sekarang ini tidak terdata lagi. Kita secepatnya membuat surat edaran dan mensosialisasikan Permenkes nomor 1871 tersebut. Kita hanya mengimbau masyarakat untuk tidak ke tukang gigi, tapi tidak bisa melarang masyarakat berobat ke mana,” bebernya. (mag-11)

Terkait:

Weleh, Profesi Tukang Gigi Dicabut

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/