Dengan tetap berada pada benang merah bahwa identitas dalam game harus sangat Indonesia, istilah empu (pembuat senjata), abdi (pelayan), kebun, raja, dan banyak lainnya tetap dipertahankan. “Justru itu yang tidak boleh ditinggalkan. Visi kami untuk membuktikan bahwa ada game asli Indonesia dan negara kita mampu,” imbuhnya.
Berdirinya Qajoo Studio memang berawal dari hasrat batin Alex. Dia menekuni bidang teknik elektro, khususnya komputer, sejak masih SMA dan semakin menjadi-jadi saat kuliah di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, pada 1996. Dia sebenarnya menempuh pendidikan ekonomi manajemen.
Namun, dosen sekaligus petugas perpustakaan di teknik elektro memercayai Alex untuk membantu mengelola jaringan internet di sana. Gara-garanya, dia sering datang untuk belajar. Juga, terlihat memiliki potensi dan minat menekuni bidang itu.
Saat itu serat optik masih supermahal. Kecepatan internet masih 1 kilobit per second (kbps). Semakin lama, Alex terlihat bukan mahasiswa jurusan ekonomi. Dia lebih pas sebagai mahasiswa komputer. Dia pun sampai akhirnya tersadar bahwa sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa. “Akhirnya selesai juga sih jadi sarjana ekonomi,” kenangnya.
Berbekal ijazah sarjana ekonomi, Alex mendapat pekerjaan dan lagi-lagi tidak sesuai bidang studinya. Dia diterima di salah satu perusahaan internet cukup besar. “Sempat pindah lokasi kerja, namun tetap fokus di bidang teknologi informasi itu,” ujarnya.
Pada 2012 Alex mulai berkerja sendiri. Kebetulan dia bertemu dengan beberapa orang kreatif dan ahli di bidang itu. “Saya lihat ada pemuda di Jogjakarta, dia jago banget bidang internet. Tapi, ya begitu-begitu saja. Tidak tahu arahnya. Akhirnya saya ajak,” kata dia.
Pada awal berdiri, Qajoo Studio belum membuat game sendiri. Mereka mengerjakan order dari perusahaan game besar, terutama dari Jepang. Salah satunya, mengonversi beberapa game PlayStation (PS) 3 menjadi PS Vita. Pekerjaan itu menjadi tantangan besar karena mengharuskan studionya mengubah game berkapasitas besar menjadi kapasitas kecil tanpa mengurangi kualitas.
Namun, karena terikat perjanjian, Alex dilarang menyebut game apa saja yang pernah dikerjakan. “Jadi, produsen Jepang tidak buat di sana karena harganya mahal. Jadi, dilempar ke Singapura, baru ke kami. Jadi, banyak yang kayak kita, cuma tidak kelihatan saja,” ujar ayahanda Joshua, 9, dan Isaac, 2, itu.
Banyaknya orang Indonesia yang mendapat limpahan tugas dari produsen game asing itu pada satu sisi memang membanggakan. Tapi, di sisi lain, hal tersebut membuat Alex resah. Kemampuan menjadi tidak maksimal karena hanya menerima order dari orang lain.
Menurut dia, mengerjakan subproyek dari produsen besar itu memang memiliki risiko kecil karena tetap dibayar sesuai harga, baik dalam kondisi game itu laris maupun tidak. Sebaliknya, membuat game sendiri, selain melelahkan, berisiko uang investasi melayang jika game kurang digemari.
“Tapi, kita mau mengalir dan terima duit begitu saja atau mau mendaki gunung” Kalau mengalir, lama-lama ke laut dan mungkin terasa enak karena melaju ke arah lebih rendah. Kalau mendaki gunung kan susah,” ucapnya.
Mengerjakan game karya orang lain juga berarti membantu produsen asing itu memperkuat karya ciptanya dan apresiasi bermunculan untuk produsen tersebut. Dengan latar belakang itu, tekad Alex untuk membuat game sendiri semakin kuat. “Bukan untuk mendapat apresiasi, tapi kepuasan,” tegasnya.