Alex pun mengajak rekan-rekannya di Qajoo Studio untuk berkumpul dan membulatkan tekad itu. Kebetulan, Rieky Wijaya, Ariel, Anggoro Dewanto, Amru Rosyada, Bintang Catur, Yessica, dan Priskila yang tergabung dalam tim itu sepakat. Mereka punya visi yang sama, terutama untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu. “Kebetulan kebanyakan belum nikah, jadi bisa diajak gila (kerja),” candanya.
Alex sebagai pendiri sekaligus investor di tim itu mengajak anggotanya menjadi dewasa, yakni proyeknya tidak main-main. Sampai-sampai, dia menghadirkan trainer untuk melatih tim lantaran belum terlalu paham pola kerja programmer.
Beberapa di antara mereka memang pernah bekerja di perusahaan produsen game besar yang berbasis di Eropa. Tapi, posisi itu rela ditinggalkan demi memulai generasi game ala Indonesia. “Ini kami sangat serius. Menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Maka, tim kami dilarang untuk kerja sampingan. Itu (larangan) keras,” ungkapnya.
Terlebih, Qajoo Studio, menurut dia, mengusung semangat untuk membuat sesuatu yang berguna, terutama untuk Indonesia.
Game online Kurusetra sebenarnya bukan karya pertama. Sebelumnya ada Ceri (Cerita Anak Indonesia) yang berisi animasi berlatar belakang kisah khas Indonesia seperti Lutung Kasarung dan Purbasari, Tupai dan Ikan Gabus, Bawang Putih dan Bawang Merah, serta Kancil dan Buaya.
Sama dengan Kurusetra, Ceri dipasarkan secara online melalui smartphone, terutama berbasis iOS milik Apple. “Ceri itu ibarat sekolah buat kami. Bagaimana submit ke Google, daftar ke Apple, bagaimana kontak mereka, bagaimana rilis di mereka. Sebab, di awal kami tidak punya referensi, jadi harus belajar sendiri,” tuturnya.
Yang mengejutkan bagi Alex, ternyata berurusan dengan pihak sebesar Apple sangat mudah. Sangat kooperatif. “Malam-malam saja mereka telepon ke kami, ngasih tahu apa saja yang kurang, cari di mana data-data kekurangannya. Mereka tidak membiarkan kami lontang-lantung,” ucapnya, lantas tersenyum.
Birokrasi mudah dan komunikatif seperti Apple itulah yang semestinya dicontoh birokrasi di Indonesia. Sebab, itu akan menguntungkan instansi seluruh pihak yang terlibat. “Kami submit ke Apple itu sekitar tiga bulan. Sebab, masih ada kekurangan beberapa dokumen dan itu diselesaikan sambil berjalan,” tuturnya.
Sementara ini game Kurusetra baru bisa diunduh para pengguna gadget berbasis iOS. Namun, saat ini Qajoo Studio sedang memproses launching Kurusetra di Android. “Harus disadari, masyarakat kita yang punya smartphone mayoritas pengguna Android,” katanya.
Secara hitung-hitungan bisnis, dalam beberapa bulan, investasi yang dikucurkan untuk game Kurusetra akan kembali ke saku Alex. Dengan syarat, penggunanya sudah mencapai sejuta orang. Dengan diluncurkannya versi Android bulan depan, target sejuta itu bukan hal sulit. “Semoga saja. Kalau cepat untung, kan keuntungannya bisa cepat kami gunakan lagi untuk membuat game lainnya,” ujarnya.
Alex enggan menyebut nominal investasi yang telah dikeluarkan untuk Kurusetra. Yang pasti, kata dia, jumlahnya mencapai miliaran rupiah. “Ada perusahaan Finlandia yang punya revenue USD 30 juta per bulan dari game mirip punya kami. Sekarang kami jadi saingan mereka. Orang bilang kami jiplak mereka. Padahal tidak,” tegasnya. (*/c10/end)