26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tampilkan Budaya Aceh, Melayu dan Batak

Pluralisme di Balik Peringatan 104 Tahun Mangkatnya Raja Sisingamangaraja XII

Semangat persaudaraan yang dibawa Raja Sisingamangaraja XII membuatnya menjadi pahlawan yang dekat dengan banyak suku. Semangat pluralisme tersebut lantas mewarnai peringatan mangkatnya Raja Sisingamangaraja XII.

INDRA JULI, Medan

Kematian hanya terjadi dalam bentuk fisik. Karena kenangan selama mengarungi kehidupan di dunia ini menjadi kehidupan kedua seseorang. Semangat dan pesan yang bisa membuat kehidupan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Setidaknya hal itu yang ditangkap dari “Peringatan 104 Tahun Gugurnyan

Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII” oleh Forum Sisingamangaraja di Monumen Sisingamangaraja XVII Jalan Sisingamangaraja Medan, Jumat (17/6). Beberapa kegiatan yang digelar hingga malam hari itu pun menarik perhatian berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya Kota Medan dan Sumatera Utara, juga dari provinsi Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) yang turut meramaikan perhelatan kedua ini.

“Kita mau mengajak masyarakat untuk mengingat kembali sejarah. Bagaimana Sisingamangaraja XII menjunjung tinggi semangat pluralisme dalam perjuangannya. Hal yang belakangan ini tidak lagi ditemui di tengah-tengah masyarakat yang lebih suka menyelesaikan segalanya dengan cara-cara kekerasan,” ucap Ketua Forum Sisingamangaraja Raja Tonggo Tua kepada Sumut Pos.

Sejak pagi hari, monumen yang terletak di depan Stadion Teladan Medan ini sudah menjadi perhatian. Empat patung Si Gale-Gale dengan balutan kain hitam dan merah dipasang menuju pintu masuk monumen. Di dalamnya terlihat tenda yang menaungi puluhan kursi menghadap panggung mini di bawah patung pahlawan nasional itu. Sementara di sisi kanan monumen berdiri satu panggung berukuran besar yang menutup jalan. Petugas pun terlihat sigap mengalihkan lalu-lintas menghindari kemacatan yang dapat terjadi.

Memasuki pukul 10.00 WIB, lokasi mulai diramaikan dengan panitia yang mengenakan kaos merah cerah bergambar aksara Batak, simbol sang Raja di bagian depan diikuti rombongan undangan yang datang dari berbagai lapisan. Dari anggota masyarakat, seniman, legislatif, hingga eksekutif. Berbaris untuk mengikuti pembukaan peringatan gugurnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 silam. Diawali dengan penghormatan dilanjutkan hening cipta dan Hymne Parbaringin.

Hymne Parbaringin merupakan doa-doa yang ditujukan untuk memuja Sisingamangaraja sebagai dewa orang Batak yang juga sebagai Raja Iman. Sesuai dengan tujuan kegiatan, oleh sastrawan Batak Thompson HS, Hymne Parbaringin tadi pun diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dengan harapan seluruh audiens dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Pengunjung lantas dibuat bertanya-tanya sehubungan dengan penampilan pertama pada kegiatan itu. Bagaimana tidak, peringatan tadi dimulai dengan penampilan Seni Budaya Magic Aceh (SBMA), kelompok kesenian dari tanah rencong dengan Seudati Inong, Tari Saman, Debus, dan Rapai. Bahkan Ketua SBMA, Yoga menegaskan bahwa kedatangan mereka justru mewakili Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD.

“Kita bangga bisa turut berpartisipasi pada kegiatan ini mengingat hubungan sejarah dan misi untuk mengangkat nilai-nilai budaya,” ucap Yoga. Hal itu dipertegas H Zulfikar Noor yang juga pengurus Aceh Sepakat, komunitas masyarakat Aceh di Kota Medan. “Di Aceh, generasi kemarin masih kerap mendengar cerita dari orang-orang tua bagaimana Sisingamangaraja XII berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh dalam melawan kolonial. Makanya ada beberapa kuburan panglima perang Aceh di daerah Parlilitan dan Humbang Hasundutan,” beber H Zulfikar Noor yang turut mengajak dua putrinya pada peringatan Hari Sisingamangaraja tersebut.

Tidak hanya kesenian dari NAD, kegiatan yang dilanjutkan pukul 16.00 WIB juga menampilkan kesenian tradisional dari berbagai daerah di Sumut. Diawali dengan musik ilustrasi dari musisi tradisional Batak Toba pimpinan Marsius Sitohang dengan menghadirkan mantan pemain Opera Batak, Mery Boru Silalahi. Permainan musik dan tiupan seruling pun menarik perhatian masyarakat untuk menghentikan kendaraannya.

Dari panggung ritus tadi, perhatian audiens berpindah ke panggung besar dimana digelar tari Zapin Kasih Budi dari daerah Melayu. Diikuti rari ritual dari Karo, pertunjukan dari Angkola Mandailing, dilanjutkan dengan penampilan seniman Aceh. Memasuki puncak kegiatan, Raja Tonggo Sinambela tampil dengan orasi budaya dalam refleksi perjuangan Raja Sisingamangaraja XII dan Pertunjukan reflektif spirit perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.

Turut pula meramaikan kegiatan remaja Kota Medan yang tergabung dalam satu kelompok kesenian dengan mempersembahkan tarian madley multi etnis. Dari Melayu, Batak, dan Mandailing. “Cukup positif ya. Di satu sisi mengingatkan kita generasi muda akan nilai sejarah dari Raja Sisingamangaraja XVII. Akan sangat baik kegiatan ini dilaksanakan setiap tahun sehingga semangat perjuangan sang raja melalui pluralisme tidak hilang dan dapat diteruskan di masa yang akan dating,” ucap siswa SMA Amir Hamzah Medan, Dira yang juga keturunan India/Sunda.
“Kegiatan ini memang kita buat sedemikian rupa dengan daerah-daerah yang berhubungan dalam perjalanan perjuangan Raja Sisingamangaraja XII dalam melawan penjajahan. Kita harapkan generasi muda kembali mengingat bahwa sahala Opung tetap mengayomi orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya. Karena Sisingamangaraja tidak hanya milik orang Batak,” tegas pria yang merupakan cicit dari Raja Sisingamangaraja XII ini.

Peringatan 104 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII ini merupakan kali kedua dimana sebelumnya digelar 2007 lalu. Pelaksanaan kedua ini dimulai, Kamis (16/6) dengan menggelar seminar di Universitas Negeri Medan (Unimed). Kegiatan yang diramaikan ratusan peserta itu menghadirkan Raja Tonggo Sinambela, Thompson HS, dan sejarawan Ikhwan Pusis Medan yang memaparkan delapan hal kontroversi pada kematian Raja Sisingamangaraja XII.

Terlepas dari misteri kematiannya, kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang bergelar Patuan Bosar Opung Pulau Batu ini adalah peringatan akan kenyataan yang terjadi belakangan ini. Dimana seringnya aksi kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan dampak hilangnya semangat menjunjung tinggi pluralisme dan mengutamakan kesepakatan sebelum sebuah keputusan dibuat. (*)

Pluralisme di Balik Peringatan 104 Tahun Mangkatnya Raja Sisingamangaraja XII

Semangat persaudaraan yang dibawa Raja Sisingamangaraja XII membuatnya menjadi pahlawan yang dekat dengan banyak suku. Semangat pluralisme tersebut lantas mewarnai peringatan mangkatnya Raja Sisingamangaraja XII.

INDRA JULI, Medan

Kematian hanya terjadi dalam bentuk fisik. Karena kenangan selama mengarungi kehidupan di dunia ini menjadi kehidupan kedua seseorang. Semangat dan pesan yang bisa membuat kehidupan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Setidaknya hal itu yang ditangkap dari “Peringatan 104 Tahun Gugurnyan

Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII” oleh Forum Sisingamangaraja di Monumen Sisingamangaraja XVII Jalan Sisingamangaraja Medan, Jumat (17/6). Beberapa kegiatan yang digelar hingga malam hari itu pun menarik perhatian berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya Kota Medan dan Sumatera Utara, juga dari provinsi Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) yang turut meramaikan perhelatan kedua ini.

“Kita mau mengajak masyarakat untuk mengingat kembali sejarah. Bagaimana Sisingamangaraja XII menjunjung tinggi semangat pluralisme dalam perjuangannya. Hal yang belakangan ini tidak lagi ditemui di tengah-tengah masyarakat yang lebih suka menyelesaikan segalanya dengan cara-cara kekerasan,” ucap Ketua Forum Sisingamangaraja Raja Tonggo Tua kepada Sumut Pos.

Sejak pagi hari, monumen yang terletak di depan Stadion Teladan Medan ini sudah menjadi perhatian. Empat patung Si Gale-Gale dengan balutan kain hitam dan merah dipasang menuju pintu masuk monumen. Di dalamnya terlihat tenda yang menaungi puluhan kursi menghadap panggung mini di bawah patung pahlawan nasional itu. Sementara di sisi kanan monumen berdiri satu panggung berukuran besar yang menutup jalan. Petugas pun terlihat sigap mengalihkan lalu-lintas menghindari kemacatan yang dapat terjadi.

Memasuki pukul 10.00 WIB, lokasi mulai diramaikan dengan panitia yang mengenakan kaos merah cerah bergambar aksara Batak, simbol sang Raja di bagian depan diikuti rombongan undangan yang datang dari berbagai lapisan. Dari anggota masyarakat, seniman, legislatif, hingga eksekutif. Berbaris untuk mengikuti pembukaan peringatan gugurnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 silam. Diawali dengan penghormatan dilanjutkan hening cipta dan Hymne Parbaringin.

Hymne Parbaringin merupakan doa-doa yang ditujukan untuk memuja Sisingamangaraja sebagai dewa orang Batak yang juga sebagai Raja Iman. Sesuai dengan tujuan kegiatan, oleh sastrawan Batak Thompson HS, Hymne Parbaringin tadi pun diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dengan harapan seluruh audiens dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Pengunjung lantas dibuat bertanya-tanya sehubungan dengan penampilan pertama pada kegiatan itu. Bagaimana tidak, peringatan tadi dimulai dengan penampilan Seni Budaya Magic Aceh (SBMA), kelompok kesenian dari tanah rencong dengan Seudati Inong, Tari Saman, Debus, dan Rapai. Bahkan Ketua SBMA, Yoga menegaskan bahwa kedatangan mereka justru mewakili Pemerintah Provinsi (Pemprov) NAD.

“Kita bangga bisa turut berpartisipasi pada kegiatan ini mengingat hubungan sejarah dan misi untuk mengangkat nilai-nilai budaya,” ucap Yoga. Hal itu dipertegas H Zulfikar Noor yang juga pengurus Aceh Sepakat, komunitas masyarakat Aceh di Kota Medan. “Di Aceh, generasi kemarin masih kerap mendengar cerita dari orang-orang tua bagaimana Sisingamangaraja XII berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh dalam melawan kolonial. Makanya ada beberapa kuburan panglima perang Aceh di daerah Parlilitan dan Humbang Hasundutan,” beber H Zulfikar Noor yang turut mengajak dua putrinya pada peringatan Hari Sisingamangaraja tersebut.

Tidak hanya kesenian dari NAD, kegiatan yang dilanjutkan pukul 16.00 WIB juga menampilkan kesenian tradisional dari berbagai daerah di Sumut. Diawali dengan musik ilustrasi dari musisi tradisional Batak Toba pimpinan Marsius Sitohang dengan menghadirkan mantan pemain Opera Batak, Mery Boru Silalahi. Permainan musik dan tiupan seruling pun menarik perhatian masyarakat untuk menghentikan kendaraannya.

Dari panggung ritus tadi, perhatian audiens berpindah ke panggung besar dimana digelar tari Zapin Kasih Budi dari daerah Melayu. Diikuti rari ritual dari Karo, pertunjukan dari Angkola Mandailing, dilanjutkan dengan penampilan seniman Aceh. Memasuki puncak kegiatan, Raja Tonggo Sinambela tampil dengan orasi budaya dalam refleksi perjuangan Raja Sisingamangaraja XII dan Pertunjukan reflektif spirit perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.

Turut pula meramaikan kegiatan remaja Kota Medan yang tergabung dalam satu kelompok kesenian dengan mempersembahkan tarian madley multi etnis. Dari Melayu, Batak, dan Mandailing. “Cukup positif ya. Di satu sisi mengingatkan kita generasi muda akan nilai sejarah dari Raja Sisingamangaraja XVII. Akan sangat baik kegiatan ini dilaksanakan setiap tahun sehingga semangat perjuangan sang raja melalui pluralisme tidak hilang dan dapat diteruskan di masa yang akan dating,” ucap siswa SMA Amir Hamzah Medan, Dira yang juga keturunan India/Sunda.
“Kegiatan ini memang kita buat sedemikian rupa dengan daerah-daerah yang berhubungan dalam perjalanan perjuangan Raja Sisingamangaraja XII dalam melawan penjajahan. Kita harapkan generasi muda kembali mengingat bahwa sahala Opung tetap mengayomi orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya. Karena Sisingamangaraja tidak hanya milik orang Batak,” tegas pria yang merupakan cicit dari Raja Sisingamangaraja XII ini.

Peringatan 104 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII ini merupakan kali kedua dimana sebelumnya digelar 2007 lalu. Pelaksanaan kedua ini dimulai, Kamis (16/6) dengan menggelar seminar di Universitas Negeri Medan (Unimed). Kegiatan yang diramaikan ratusan peserta itu menghadirkan Raja Tonggo Sinambela, Thompson HS, dan sejarawan Ikhwan Pusis Medan yang memaparkan delapan hal kontroversi pada kematian Raja Sisingamangaraja XII.

Terlepas dari misteri kematiannya, kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang bergelar Patuan Bosar Opung Pulau Batu ini adalah peringatan akan kenyataan yang terjadi belakangan ini. Dimana seringnya aksi kekerasan dalam menyelesaikan masalah merupakan dampak hilangnya semangat menjunjung tinggi pluralisme dan mengutamakan kesepakatan sebelum sebuah keputusan dibuat. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/