26 C
Medan
Tuesday, March 11, 2025

Miris Hanya Capai Rp22,3 M

Dorong Bentuk Perwal

Wakil Ketua Pansus, Godfried Efendi Lubis menyatakan terkait masalah reklame sejatinya harus ada tanggung jawab Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Sebab, sejauh ini yang menerbitkan izin reklame ada tiga instansi, antara lain Dinas Perkim-PR, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP).

Oleh karena itu, penerbitan izin ini harus dikerucutkan hanya satu instansi saja. “Perlu ada peraturan wali kota (perwal) yang mengatur tentang masalah ini. Karena, kalau tidak siapa yang bertanggung jawab akan sulit,” ujarnya.

Menurut Godfried, memang BPPRD hanya menerima setoran saja. Namun terimbas dari ketidakberesan penerbitan izin. “Kita mau mengejar target pendapatan, namun dimana letak kesalahannya tidak tahu. Makanya, kita dorong supaya dibentuk perwal agar ada keseragaman. Jangan pula gara-gara tidak ada aturan yang jelas siapa lembaga penerbit izin reklame, maka pendapatan Pemko Medan menjadi kecil,” kata dia.

Lantaran tidak ada aturan yang jelas, kata Godfried, pengusaha reklame menjadi bermain. Artinya, ada peluang atau celah yang menjadi persoalan perlu diatasi segera.”Kalau seperti ini kondisinya terus, diyakini target pendapatan reklame tidak akan tercapai. Realisasi yang hanya mencapai Rp22 miliar lebih sungguh sangat mengecewakan. Padahal, pada tahun 2015 realisasi pajak reklame bisa mencapai target. Kok semakin lama semakin menurun pencapaiannya, ini sangat aneh dan patut dipertanyakan ada apa,” cetusnya.

Godfried menuturkan, penerapan kebijakan reklame bisa meniru dengan Pemko Surabaya. Lokasi-lokasi yang menjadi tempat reklame ditentukan oleh pemerintah, bukan pengusaha.

Misalnya, di simpang Jalan Halat-Jalan Sisingamangaraja berapa tiang reklame yang cocok berdiri atau dipasang.

Lalu, ukurannya juga harus ditentukan bukan seenaknya saja. Kemudian, dari segi konstruksi reklame juga harus diatur sehingga terjamin dari hal-hal yang tak diinginkan seperti tumbang menimpa kendaraan.

“Titik tiang reklame Pemko yang menentukan dan juga membangunnya. Selanjutnya, disewakan kepada pengusaha, bukan seperti kondisi yang sekarang terjadi. Maka dari itu, kami curiga kenapa bisa berdiri dan mengindikasikan menyetor kepada oknum. Sebab, perusahaan-perusahaan besar berani memasang materi iklannya sementara reklame yang berdiri ilegal. Dengan kata lain, perusahaan tahu memasang di tempat terlarang,” beber Godfried.

Godfried menambahkan, sudah dari segi kualitas estetika amburadul, ditambah lagi sisi kuantitas yang semakin merosot. “Saya khawatir BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyoroti dan melakukan temuan adanya dugaan penyelewengan. Bila hal ini terjadi, maka siap-siapa menanggung akibatnya,” pungkasnya. (ris/ila)

Dorong Bentuk Perwal

Wakil Ketua Pansus, Godfried Efendi Lubis menyatakan terkait masalah reklame sejatinya harus ada tanggung jawab Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Sebab, sejauh ini yang menerbitkan izin reklame ada tiga instansi, antara lain Dinas Perkim-PR, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP).

Oleh karena itu, penerbitan izin ini harus dikerucutkan hanya satu instansi saja. “Perlu ada peraturan wali kota (perwal) yang mengatur tentang masalah ini. Karena, kalau tidak siapa yang bertanggung jawab akan sulit,” ujarnya.

Menurut Godfried, memang BPPRD hanya menerima setoran saja. Namun terimbas dari ketidakberesan penerbitan izin. “Kita mau mengejar target pendapatan, namun dimana letak kesalahannya tidak tahu. Makanya, kita dorong supaya dibentuk perwal agar ada keseragaman. Jangan pula gara-gara tidak ada aturan yang jelas siapa lembaga penerbit izin reklame, maka pendapatan Pemko Medan menjadi kecil,” kata dia.

Lantaran tidak ada aturan yang jelas, kata Godfried, pengusaha reklame menjadi bermain. Artinya, ada peluang atau celah yang menjadi persoalan perlu diatasi segera.”Kalau seperti ini kondisinya terus, diyakini target pendapatan reklame tidak akan tercapai. Realisasi yang hanya mencapai Rp22 miliar lebih sungguh sangat mengecewakan. Padahal, pada tahun 2015 realisasi pajak reklame bisa mencapai target. Kok semakin lama semakin menurun pencapaiannya, ini sangat aneh dan patut dipertanyakan ada apa,” cetusnya.

Godfried menuturkan, penerapan kebijakan reklame bisa meniru dengan Pemko Surabaya. Lokasi-lokasi yang menjadi tempat reklame ditentukan oleh pemerintah, bukan pengusaha.

Misalnya, di simpang Jalan Halat-Jalan Sisingamangaraja berapa tiang reklame yang cocok berdiri atau dipasang.

Lalu, ukurannya juga harus ditentukan bukan seenaknya saja. Kemudian, dari segi konstruksi reklame juga harus diatur sehingga terjamin dari hal-hal yang tak diinginkan seperti tumbang menimpa kendaraan.

“Titik tiang reklame Pemko yang menentukan dan juga membangunnya. Selanjutnya, disewakan kepada pengusaha, bukan seperti kondisi yang sekarang terjadi. Maka dari itu, kami curiga kenapa bisa berdiri dan mengindikasikan menyetor kepada oknum. Sebab, perusahaan-perusahaan besar berani memasang materi iklannya sementara reklame yang berdiri ilegal. Dengan kata lain, perusahaan tahu memasang di tempat terlarang,” beber Godfried.

Godfried menambahkan, sudah dari segi kualitas estetika amburadul, ditambah lagi sisi kuantitas yang semakin merosot. “Saya khawatir BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyoroti dan melakukan temuan adanya dugaan penyelewengan. Bila hal ini terjadi, maka siap-siapa menanggung akibatnya,” pungkasnya. (ris/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru