31 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Mengemis karena Mau, Bukan Sekadar tak Mampu

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (4/Habis)

Sumut Pos kembali menelusuri kegiatan Famili 100 (warga pengemis) yang tinggal di Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur). Kali ini Sumut Pos mencoba mengikuti jejak mereka saat mencari nafkah di jalan raya Kota Medan.

Waktu menunjukkan pukul 08.15 WIB saat Sumut Pos tiba di dekat Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur). Misi utama, menguntit aktivitas mereka. Meski warga di situ sudah mengenal Sumut Pos bahkan ingin memukuli Sumut Pos, tapi itu tak membuat Sumut Pos menyerah Untuk menunggu mereka (warga Vetpur yang mengemis), Sumut Pos memilih duduk di salah satu warung dengan ditemani segelas teh manis panas. Dengan harap-harap cemas dan menunggu hampir dua jam, akhirnya yang ditunggu pun muncul.

Sekira pukul 09.57 WIB, sebuah angkutan umum (angkot) trayek 42 jurusan Pancing-Rumah Sakit (RS) H Adam Malik Medan, berhenti di depan kompleks Vetpur. Lalu, segerombolan bocah (remaja tanggung) dan anak-anak yang tampaknya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) naik menumpang angkot tersebut.

Tahu kalau para penumpang angkot itu adalah warga Vetpur yang berprofesi sebagai pengemis, Sumut Pos langsung bergegas memacu sepeda motor untuk menguntit dari belakang.

Saat angkot melintas di depan Lapangan Merdeka, tepatnya di Jalan Perniagaan, turunlah tiga bocah penumpang angkot itu. Satu bocah perempuan, dua bocah laki-laki. Bocah satunya mengenakan baju berwarna kuning dengan celana pendek berwarna biru serta memakai topi lobe hitam. Bocah laki-laki satunya lagi, berbaju biru bercelana biru dan juga memakai lobe hitam.

Sedangkan bocah perempuan mengenakan kerudung berwarna biru, berbaju merah jambu, dan celana berwarna kecoklatan. Hanya satu persamaan dari ketiganya, mereka sama-sama  memakai tas hitam dan memegang surat sumbangan berwarna kuning.

Sumut Pos terus mengamati gerak ketiga bocah yang akan beraksi mengemis ini. Ketiga bocah ini lalu berjalan dengan wajah riang gembira, sambil bercanda dan saling berkejaran. Ya, layaknya bocah yang tanpa beban. Tak lama berselang, ketiga bocah ini berjalan memasuki kawasan perbelanjaan di Pajak Ikan lama.

Mereka lalu memasuki gang-gang kecil, dari satu gang ke gang lain. Mereka menengadahkan tangannya sambil menyodorkan surat sumbangan berwarna kuning tadi. Beberapa ibu ada yang menaruh rasa iba lalu memberikan uang seribu kepada ketiga bocah tadi.

Ada sekitar 20 menit mereka mencari nafkah di gang tadi. Tiga anak itu lalu duduk di salah satu toko yang masih tutup. Ketiganya lalu bermain lagi, saling bercanda sembari istirahat. Hanya beberapa saat saja ketiga bocah itu istirahat duduk di situ, selanjutnya mereka bergerak lagi dan berjalan sambil menengadahkan tangannya.

Di perampatan Jalan Perniagaan Medan, ketiga bocah tadi lantas bertemu teman mereka yang tentu saja warga Kompleks Vetpur. Mereka berkumpul. Jumlah mereka bertambah menjadi lima orang. Kelimanya lalu duduk sejenak di perempatan jalan, berdekatan dengan penjual sate.
Sumut Pos yang sedari tadi menguntit mereka, lalu menghampiri dan menyapa mereka. “Abang siapa? Ada apa Bang,” tanya salah satu bocah.

Mereka adalah, M (11), A (12), A (15) , F (14), dan R (14).  Kelimanya masih bersaudara. M (11), A (12), A (15) , F (14) adalah saudara kandung. F (14) dan R (14) juga abang beradik. “Tinggal kami sama Bang di Veteran di Pancing, kami berlima saudara. Kami bertiga abang adik dan saudara dua lagi ini abang adik juga,” ujar A (12).

Ternyata mereka mengemis sudah lama, sudah lebih dari setahun. “Tiap hari kami masing-masing dapat Rp20 ribu dan bisa juga lebih,” kata M (11).

Menurut mereka, mengemis bukan karena dipaksa orangtua, namun semata-mata untuk biaya sekolah dan sekadar dapat uang jajan. “Kami ngemis buat uang sekolah, Bang,” tambahnya.
Mereka sendiri bersekolah di salah satu sekolah Islam yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. “Kami ngemis  di Pajak Ikan ini sudah lama Bang,” kata mereka lagi.

Mereka juga mengaku kalau orangtua mereka juga mencari nafkah dengan mengemis. Tapi ada juga di antara orangtua mereka yang bekerja sebagai tukang cuci (ibu mereka) dan buruh bangunan (ayah). Mereka juga mengaku kalau di kompleks tempat tinggal mereka rata-rata mencari nafkah dengan mengemis atau meminta sumbangan. Namun, tentu saja rute atau tempatnya berlainan, menyebar di beberapa ruas jalan di kota metropolitan ini.
Perbincangan itu tidak lama. Mereka langsung pergi tanpa memberikan informasi yang lain.

Namun dari perbincangan itu tersirat kalau mereka menjadi pengemis karena mau dan bukan karena keterpaksaan. Ya, seperti yang dikatakan Dra Irna Minauli MSi psikolog sekaligus Direktur Biro Psikologi Persona Medan, beberapa orang memiliki apa yang disebut sebagai mentalitas orang miskin. Artinya, mereka merasa dirinya sebagai orang yang tidak lagi mampu. “Sehingga hanya meminta-minta atau melakukan usaha-usaha yang cepat menghasilkan uang bagi dirinya,” ujarnya.

Menurutnya, ketika seseorang merasa bahwa apa yang dilakukannya membawa hasil dengan mudah dan menyenangkan, maka mereka akan mengulangi perbuatannya. “Pada contohnya kasus di atas, mereka merasa bahwa dengan cara seperti itu, mereka dapat memperoleh penghasilan dengan cara ‘menipu’. Maka, mereka akan sulit mengubah perilaku tersebut dan juga mereka ingin mendapatkan hasil dengan segera,” katanya.

Lalu, berapakah jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) dan anak jalanan (Anjal) yang telah dijaring Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Medan? Seperti dikatakan Kepala Bidang Pelayanan (Kabid) Sosial dan Tenaga kerja Kota Medan Zailun, Dinsosnaker Kota Medan telah menjaring gepeng, Anjal, anak punk dan Pekerja seks komersial (Psk) untuk triwulan I sampai III atau untuk bulan Januari hingga September 2012 dengan total 205 orang. Gepeng terjaring terbanyak mencapai 103 orang.

Kata Zailun lagi, dalam penjaringan yang dilakukan pihak Dinsosnaker Kota Medan pada bulan September, paling banyak gepeng mencapai 103 orang, selanjutnya pada Anjal sebanyak 42 orang, anak punk sebanyak 26 orang dan PSK sebanyak 32 orang. “Gepeng, anjal dan anak punk yang terjaring akan diberi binaan untuk dikirim di panti yang berada  di Kota Binjai untuk dibuat pelatihan kepada mereka. Sedangkan untuk Psk yang terjaring akan dibawa ke UPT Pelayanan Sosial Wanita Tuna Susila dan Tuna Laras di Berastagi untuk dilakukan pembinaan di tempat tersebut,” ucapnya.

Zailun mengakui, sampai sekarang Dinsosnaker kota Medan belum mempunyai tempat binaan  atau panti rehabilitasi dan akhirnya pihaknya bekerjasama dengan pelayanan tersebut. “Sampai sekarang kita belum mempunyai tempat panti rehabilitas kita berharap kedepannya akan ada,” katanya. (*)

Sebelumnya: Lebih Baik Abang Pulang, Nanti Abang Dipukuli …

Menelusuri ‘Markas’ Para Pengemis di Medan (4/Habis)

Sumut Pos kembali menelusuri kegiatan Famili 100 (warga pengemis) yang tinggal di Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur). Kali ini Sumut Pos mencoba mengikuti jejak mereka saat mencari nafkah di jalan raya Kota Medan.

Waktu menunjukkan pukul 08.15 WIB saat Sumut Pos tiba di dekat Kompleks Veteran Purnawirawan (Vetpur). Misi utama, menguntit aktivitas mereka. Meski warga di situ sudah mengenal Sumut Pos bahkan ingin memukuli Sumut Pos, tapi itu tak membuat Sumut Pos menyerah Untuk menunggu mereka (warga Vetpur yang mengemis), Sumut Pos memilih duduk di salah satu warung dengan ditemani segelas teh manis panas. Dengan harap-harap cemas dan menunggu hampir dua jam, akhirnya yang ditunggu pun muncul.

Sekira pukul 09.57 WIB, sebuah angkutan umum (angkot) trayek 42 jurusan Pancing-Rumah Sakit (RS) H Adam Malik Medan, berhenti di depan kompleks Vetpur. Lalu, segerombolan bocah (remaja tanggung) dan anak-anak yang tampaknya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) naik menumpang angkot tersebut.

Tahu kalau para penumpang angkot itu adalah warga Vetpur yang berprofesi sebagai pengemis, Sumut Pos langsung bergegas memacu sepeda motor untuk menguntit dari belakang.

Saat angkot melintas di depan Lapangan Merdeka, tepatnya di Jalan Perniagaan, turunlah tiga bocah penumpang angkot itu. Satu bocah perempuan, dua bocah laki-laki. Bocah satunya mengenakan baju berwarna kuning dengan celana pendek berwarna biru serta memakai topi lobe hitam. Bocah laki-laki satunya lagi, berbaju biru bercelana biru dan juga memakai lobe hitam.

Sedangkan bocah perempuan mengenakan kerudung berwarna biru, berbaju merah jambu, dan celana berwarna kecoklatan. Hanya satu persamaan dari ketiganya, mereka sama-sama  memakai tas hitam dan memegang surat sumbangan berwarna kuning.

Sumut Pos terus mengamati gerak ketiga bocah yang akan beraksi mengemis ini. Ketiga bocah ini lalu berjalan dengan wajah riang gembira, sambil bercanda dan saling berkejaran. Ya, layaknya bocah yang tanpa beban. Tak lama berselang, ketiga bocah ini berjalan memasuki kawasan perbelanjaan di Pajak Ikan lama.

Mereka lalu memasuki gang-gang kecil, dari satu gang ke gang lain. Mereka menengadahkan tangannya sambil menyodorkan surat sumbangan berwarna kuning tadi. Beberapa ibu ada yang menaruh rasa iba lalu memberikan uang seribu kepada ketiga bocah tadi.

Ada sekitar 20 menit mereka mencari nafkah di gang tadi. Tiga anak itu lalu duduk di salah satu toko yang masih tutup. Ketiganya lalu bermain lagi, saling bercanda sembari istirahat. Hanya beberapa saat saja ketiga bocah itu istirahat duduk di situ, selanjutnya mereka bergerak lagi dan berjalan sambil menengadahkan tangannya.

Di perampatan Jalan Perniagaan Medan, ketiga bocah tadi lantas bertemu teman mereka yang tentu saja warga Kompleks Vetpur. Mereka berkumpul. Jumlah mereka bertambah menjadi lima orang. Kelimanya lalu duduk sejenak di perempatan jalan, berdekatan dengan penjual sate.
Sumut Pos yang sedari tadi menguntit mereka, lalu menghampiri dan menyapa mereka. “Abang siapa? Ada apa Bang,” tanya salah satu bocah.

Mereka adalah, M (11), A (12), A (15) , F (14), dan R (14).  Kelimanya masih bersaudara. M (11), A (12), A (15) , F (14) adalah saudara kandung. F (14) dan R (14) juga abang beradik. “Tinggal kami sama Bang di Veteran di Pancing, kami berlima saudara. Kami bertiga abang adik dan saudara dua lagi ini abang adik juga,” ujar A (12).

Ternyata mereka mengemis sudah lama, sudah lebih dari setahun. “Tiap hari kami masing-masing dapat Rp20 ribu dan bisa juga lebih,” kata M (11).

Menurut mereka, mengemis bukan karena dipaksa orangtua, namun semata-mata untuk biaya sekolah dan sekadar dapat uang jajan. “Kami ngemis buat uang sekolah, Bang,” tambahnya.
Mereka sendiri bersekolah di salah satu sekolah Islam yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. “Kami ngemis  di Pajak Ikan ini sudah lama Bang,” kata mereka lagi.

Mereka juga mengaku kalau orangtua mereka juga mencari nafkah dengan mengemis. Tapi ada juga di antara orangtua mereka yang bekerja sebagai tukang cuci (ibu mereka) dan buruh bangunan (ayah). Mereka juga mengaku kalau di kompleks tempat tinggal mereka rata-rata mencari nafkah dengan mengemis atau meminta sumbangan. Namun, tentu saja rute atau tempatnya berlainan, menyebar di beberapa ruas jalan di kota metropolitan ini.
Perbincangan itu tidak lama. Mereka langsung pergi tanpa memberikan informasi yang lain.

Namun dari perbincangan itu tersirat kalau mereka menjadi pengemis karena mau dan bukan karena keterpaksaan. Ya, seperti yang dikatakan Dra Irna Minauli MSi psikolog sekaligus Direktur Biro Psikologi Persona Medan, beberapa orang memiliki apa yang disebut sebagai mentalitas orang miskin. Artinya, mereka merasa dirinya sebagai orang yang tidak lagi mampu. “Sehingga hanya meminta-minta atau melakukan usaha-usaha yang cepat menghasilkan uang bagi dirinya,” ujarnya.

Menurutnya, ketika seseorang merasa bahwa apa yang dilakukannya membawa hasil dengan mudah dan menyenangkan, maka mereka akan mengulangi perbuatannya. “Pada contohnya kasus di atas, mereka merasa bahwa dengan cara seperti itu, mereka dapat memperoleh penghasilan dengan cara ‘menipu’. Maka, mereka akan sulit mengubah perilaku tersebut dan juga mereka ingin mendapatkan hasil dengan segera,” katanya.

Lalu, berapakah jumlah gelandangan dan pengemis (gepeng) dan anak jalanan (Anjal) yang telah dijaring Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kota Medan? Seperti dikatakan Kepala Bidang Pelayanan (Kabid) Sosial dan Tenaga kerja Kota Medan Zailun, Dinsosnaker Kota Medan telah menjaring gepeng, Anjal, anak punk dan Pekerja seks komersial (Psk) untuk triwulan I sampai III atau untuk bulan Januari hingga September 2012 dengan total 205 orang. Gepeng terjaring terbanyak mencapai 103 orang.

Kata Zailun lagi, dalam penjaringan yang dilakukan pihak Dinsosnaker Kota Medan pada bulan September, paling banyak gepeng mencapai 103 orang, selanjutnya pada Anjal sebanyak 42 orang, anak punk sebanyak 26 orang dan PSK sebanyak 32 orang. “Gepeng, anjal dan anak punk yang terjaring akan diberi binaan untuk dikirim di panti yang berada  di Kota Binjai untuk dibuat pelatihan kepada mereka. Sedangkan untuk Psk yang terjaring akan dibawa ke UPT Pelayanan Sosial Wanita Tuna Susila dan Tuna Laras di Berastagi untuk dilakukan pembinaan di tempat tersebut,” ucapnya.

Zailun mengakui, sampai sekarang Dinsosnaker kota Medan belum mempunyai tempat binaan  atau panti rehabilitasi dan akhirnya pihaknya bekerjasama dengan pelayanan tersebut. “Sampai sekarang kita belum mempunyai tempat panti rehabilitas kita berharap kedepannya akan ada,” katanya. (*)

Sebelumnya: Lebih Baik Abang Pulang, Nanti Abang Dipukuli …

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/