MEDAN, SUMUTPOS.CO – Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah II sedang melaksanakan Program Revitalisasi Selendang Manduaro di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Hal ini sebagai upaya menghidupkan kembali salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) masyarakat etnik Pesisir yang selama lebih dari tiga dekade tidak lagi diproduksi.
Selendang Manduaro selama ini tetap digunakan dalam berbagai ritus daur hidup, mulai dari kelahiran, prosesi meminang, pernikahan, tujuh bulanan, hingga upacara kematian. Namun proses pembuatannya berhenti sejak awal 1990 an, sehingga masyarakat hanya mengandalkan selendang warisan dari generasi sebelumnya.
Program ini berangkat dari hasil Inventarisasi OPK yang dilaksanakan pada Agustus 2025 oleh tim BPK Wilayah II yang terdiri dari Dharma Kelana Putra, Widiyanto, Ahmed Fernanda Desky, dan Nurdin Ahmad Tanjung.
Inventarisasi tersebut menemukan, bahwa satu-satunya perajin yang masih menguasai teknik sulam Manduaro, yakni Muriati Situmeang dari Rumah Sulam Umak Haftsa, di Desa Pasar Sorkam, Tapteng. Namun, produksi selendang Manduaro tidak dapat dilanjutkan, karena bahan utamanya, yaitu benang kelingkan (dalam Bahasa setempat disebut kalengkang) dan jarum khusus sudah tidak tersedia di Indonesia sejak Tahun 1990 an.
Benang kelingkan merupakan benang logam halus yang dalam tradisi lain dikenal dengan berbagai nama, diantaranya clinquant (Prancis), badla (India), dan keringkam (Serawak). Meskipun bahan dan peralatannya tidak ada, namun pengetahuan tentang teknik penyulamannya masih tersimpan kuat dalam ingatan para perempuan etnis Pesisir.
Berdasarkan temuan tersebut, tim merekomendasikan agar Selendang Manduaro direvitalisasi melalui penyediaan kembali bahan dan peralatan khusus, pembaruan sarana seperti meja pemidangan, penataan ulang merek dan visual, serta penguatan teknik produksi melalui rangkaian pelatihan. Rekomendasi ini direalisasikan pada November 2025 melalui tiga agenda utama, yakni Inventarisasi Pengayaan Motif, Pelatihan Teknik Dasar Sulam Manduaro, serta Pameran Hasil Revitalisasi.
Tahap Inventarisasi Pengayaan Motif berlangsung pada 2-17 November 2025, dan nantinya akan menghasilkan buku motif berbasis pengetahuan pelaku tradisi, dokumentasi selendang lama, temuan lapangan, dan adaptasi motif dari nisan tradisional di Barus dan Sorkam.
Sebelumnya, pelatihan teknik dasar Sulam Manduaro juga telah diselenggarakan pada 12-14 November 2025, di Rumah Sulam Umak Haftsa, Desa Pasarsorkam, Kecamatan Sorkam Barat, Tapteng.
Pelatihan dilaksanakan secara intensif di Rumah Sulam Umak Haftsa selama tiga hari tersebut, dan setelah itu dilanjutkan dengan praktik mandiri di rumah masing-masing selama dua minggu.
Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan berdasarkan prinsip pemberdayaan masyarakat (community development), yang menempatkan masyarakat sebagai subjek utama pemelihara pengetahuan budaya. Perajin, tokoh adat, dan generasi muda terlibat aktif sejak tahap identifikasi kebutuhan hingga produksi karya. Sehingga proses revitalisasi tidak hanya menghidupkan kembali keterampilan menyulam Manduaro, tetapi juga memastikan keberlanjutannya melalui transfer pengetahuan antargenerasi.
Dalam kerangka itu, intervensi BPK Wilayah II bersifat resusitatif, yaitu mengembalikan nadi tradisi agar dapat berkembang kembali oleh masyarakat pendukungnya. Pembukaan seremonial pelatihan turut dihadiri berbagai pemangku kepentingan, antara lain tokoh adat dan tokoh masyarakat, Kepala Desa Pasarsorkam, Lurah Binasi, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pendidikan (Kabid Kebudayaan), serta perwakilan muspika setempat. Beberapa momen penting terjadi selama pelatihan.
Ketika BPK Wilayah II kembali membawa sampel benang kelingkan, para pelaku tradisi menyambutnya dengan haru. Benang logam berkilau tersebut membangkitkan memori masa ketika sulaman Manduaro masih hidup di tengah masyarakat.
“Sudah lama kami tak membuat ini. Begitu kulihat benangnya, kucari jarum mamakku tapi sudah hilang entah ke mana,” ujar salah seorang peserta, Muriati Situmeang, Senin (17/11).
Sementara itu, Takdir Piliang, suami dari perajin, Muriati Situmeang menuturkan, sejak ia menikah, belum pernah ia melihat istrinya menyulam menggunakan benang kelingkan tersebut. “Sejak aku nikah, belum pernah aku lihat dia menyulam pakai benang ini,” tuturnya dengan rasa haru.
Kemudian, sampel benang tersebut diuji pada kain sifon merah dan menjadi selendang Manduaro pertama yang dibuat kembali setelah lebih dari 30 tahun.
Program ini awalnya menargetkan 20 peserta, namun antusiasme masyarakat sangat tinggi sehingga lebih dari 30 penyulam bergabung, termasuk 16 peserta berusia di bawah 21 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa revitalisasi tidak hanya memulihkan keterampilan, tetapi juga membuka ruang regenerasi bagi kaum milenial dan Gen Z.
Rangkaian revitalisasi ditutup dengan pameran karya selendang Manduaro dan dokumentasi proses, yang menjadi medium diseminasi kepada publik serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai nilai budaya dan potensi pengembangannya.
Seluruh karya dan dokumentasi akan dibawa ke Kantor BPK Wilayah II sebagai bagian dari galeri budaya yang menampilkan OPK dan objek diduga Cagar Budaya di Sumatera Utara (Sumut).
Di tempat terpisah, Kepala BPK Wilayah II, Sukronedi mengaku optimistis dengan antusiasnya peserta menyulam menggunakan benang kelingkan untuk membuat Selendang Manduaro.
“Melalui kolaborasi, komitmen masyarakat, dan regenerasi yang mulai tumbuh, Selendang Manduaro dapat kembali hidup dan berkembang sebagai identitas budaya masyarakat Pesisir Tapteng,” kata Sukronedi. (dwi/azw)

