30 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Olympia Plaza, Beroperasi meski Enam Lantai Kosong

Pusat Perbelanjaan Era 1980-an di Medan, Apa Kabar? (1)

Kehadiran beberapa mal atau plaza di Kota Medan beberapa tahun belakangan ini menambah banyak pilihan bagi warga. Baik yang ingin belanja atau sekadar menikmati hiburan yang ada di mal atau plaza tersebut. Tapi, bagaimana kondisi plaza era 1980-an yang sempat menjadi tempat favorit warga Medan?

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Sebut saja Olympia Plaza di Jalan MT Haryono Medan. Pada masa itu, Olympia Plaza menjadi surga berbelanja warga Medan hingga warga luar daerah. Tak salah bila Olympia dianggap cikal bakal awal Kota Medan menuju metropolitan.

Ini ditandai dengan bagunannya dirancang modern sebagai plaza metropolitan. Bangunan Olympia dibangun 9 lantai. Nah, mulai dari lantai 1 hingga lantai 3 difungsikan sebagai kios jualanan untuk produk fashion. Sedangkan lantai 4 difungsikan sebagai swalayan. Lantai 5, sebagai arena bermain, mulai dari video game, becak-becakan, kuda goyang, dan lain sebagainya. Lantai 6, dikondisikan sebagai bioskop. Sementara, lantai 7 hingga 8 difungsikan sebagai tempat hiburan; mulai dari kafe hingga diskotik.

Bukan hanya itu, bangunan ini juga dilengkapi dengan eslalator untuk mencapai tiap lantai. Bayangkan, dengan fasilitas selengkap itu, bukankah Olympia adalah surga bagi warga Medan di era 1980-an? Karena itu, tempat bila siang hari, di lantai 5 sesak pengunjung remaja, khususnya anak sekolah yang main video game. Kalau malam harinya, warga metropolis menikmati hiburan diskotik di lantai 8. Saat weekend, banyak pengujung menikmati hiburan film bioskop di lantai 6.

Tetapi itu dulu, pada masa kejayaan sang bangunan yang resmi dibuka pada tahun 1984. Berbeda sekali bila dibanding kondisinya saat ini. Bangunan yang berdiri di daerah strategis atau bersebelahan dengan Medan Mall, sudah tergerus zaman. Secara perlahan namun pasti, operasional di plaza pertama Kota Medan ini meredup. Bahkan, beberapa lantai yang menjadi pusat hiburan di plaza ini tidak berfungsi sama sekali.

“Untuk saat ini, yang beroperasi di plaza ini hanya lantai 1 hingga 3, lantai 3 pun hanya sedikit, sebagian besar sebagai gudang bagi para pedagang. Jadi total yang buka hanya sikit. Sedangkan untuk lantai empat hingga 9 sudah tutup total, gelap gulita,” ujar Suharno, seorang petugas keamanan yang bekerja di plaza itu.

Melihat dari awal, tidak akan terpikirkan kalau bangunan ini masih beroperasi dengan baik. Bila dilihat dari luar, kesan amburadul akan terlintas di benak. Lihatlah, becak dayung dan becak bermotor parkir seenaknya. Angkot bertumpuk mengantre untuk mendapatkan penumpang. Parkir sepeda motor dan mobil yang terletak di depan bangunan. Lalu, pedagang kaki lima yang membuka lapak (dagangan) di trotoar bangunan.

Kesan itu akan hilang saat menginjak lantai 1. Di lantai ini, dinding gedung terlihat masih bagus, bahkan lantainya juga terlihat bersih. Seperti layaknya pasar, lantai ini diisi dengan toko yang disekat-sekat. Seperti toko di Petisah,  Pasar Rame, dan pasar lainnya. Pada umumnya, yang berjualan di toko ini adalah pedagang lama, yang telah berjualan puluhan tahun atau sejak plaza ini beroperasi. Karena, sistem yang berlaku adalah toko sebagai hak milik, bukan sewa atau pinjam dengan jangka waktu tertentu. “Saya sudah memiliki toko di sini sekitar 32 tahun, sejak tahun 1980, saat pemasaran sudah saya beli. Di sini, toko dimiliki secara pribadi, kita tidak sewa apalagi pinjam,” ujar seorang pedagang pakaian di Olympia Plaza, Kadri Wong (71).

Dia mengisahkan, saat pertama kali membeli toko dengan harga sekitar Rp20 jutaan dan itu dibayar kredit dengan jangka waktu tertentu. “Tapi saya lupa berapa lama kreditnya. Setelah mulai sepi, saya beli lagi, jadi di sini banyak yang punya toko, minimal 2 setiap orang punya,” ujar Kadri yang mengaku memiliki 4 toko di Olympia Plaza.

Setiap harinya, plaza ini beroperasi setiap hari mulai pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB. Tetapi tidak semua toko menutup sesuai jadwal, sebagian ada yang tutup hingga malam, atau sekitar pukul 20.00 atau 21.00 Wib, apalagi toko yang berada di sisi lantai 1 bagian luar. “Kalau Lebaran atau hari raya besar, kita bisa buka sampai pukul 9 malam, mobil ekspedisi juga tidak berhenti masuk,” tambah Kadri.

Lebih dari 100 pedagang membuka kios dagangannya di lantai 1 dan 2, yang mayoritas adalah produk fashion secara grosir, minimal 3 produk untuk setiap pembelian. Untuk semua produk di sini, mayoritas ‘diimpor’ secara langsung dari Tanah Abang Jakarta, bahkan ada sebagian yang dari Bandung. Untuk pembelinya, sebagian besar pedagang fashion dari Pasar Petisah, Pasar Rame, dan pasar tradisional lainnya. “Bahkan dari Tebing, Siantar, Sidimpuan. Banyak lah semua belanja di sini kok,” lanjut Kadri.

Kadri mengaku dari usahanya dia berhasil mengumpulkan Rp20 juta per bulan. Sementara pengeluaran yang dibebankan kepadanya sebagai pedagang di plaza tersebut senilai Rp1 juta sebulan. “Sudah masuk uang maintenance (perawatan gedung), listrik, dan air,” ungkap Kadri. “Sedangkan untuk lampu dan kipas angin disediakan oleh masing-masing toko,” tambahnya. Pihak gedung, hanya memfasilitasi lampu umum di tiap lantai dan eskalator.

Masa kejayaan plaza ini mulai pudar sekitar 15 tahun yang lalu atau sekitar pertengahan 1990-an. Hal ini disebabkan oleh berhenti beroperasinya swalayan yang berada di lantai 4. Apalagi, setelah berdiri Medan Mal. Efeknya, lantai 5 pun tergerus. “Awalnya yang berkurang mainan anak-anak, sedangkan untuk video game masih ada peminatnya seperti tukang becak, supir angkot yang main, bukan anak-anak lagi,” ujar salah satu pegawai gedung, Wina.

Setelah lantai 5 berhenti, maka fase selanjut adalah berhenti operasionalnya bioskop (lantai 6). “Bioskopnya sempat punya nama di sini, tapi mati karena dirazia, soalnya film yang diputar film Indonesia yang ada esek-eseknya,” ujar tukang becak yang telah beroperasi di kawasan ini lebih dari 20 tahun, A Manik (51).

Berbeda nasib dengan yang lantai yang lain, lantai 7 dan 8 sempat bertahan lama. Bahkan diskotiknya sempat berganti nama dan yang terakhir adalah M2000. Konon, dunia malam yang disediakan merupakan fasilitas kelas A. Berjalannya waktu dan banjirnya tempat hiburan dunia malam dikota Medan, akhirnya terkena imbasnya. Sekitar tahun 2003, diskotik ini pun tutup. (bersambung)

Pusat Perbelanjaan Era 1980-an di Medan, Apa Kabar? (1)

Kehadiran beberapa mal atau plaza di Kota Medan beberapa tahun belakangan ini menambah banyak pilihan bagi warga. Baik yang ingin belanja atau sekadar menikmati hiburan yang ada di mal atau plaza tersebut. Tapi, bagaimana kondisi plaza era 1980-an yang sempat menjadi tempat favorit warga Medan?

Juli Ramadhani Rambe, Medan

Sebut saja Olympia Plaza di Jalan MT Haryono Medan. Pada masa itu, Olympia Plaza menjadi surga berbelanja warga Medan hingga warga luar daerah. Tak salah bila Olympia dianggap cikal bakal awal Kota Medan menuju metropolitan.

Ini ditandai dengan bagunannya dirancang modern sebagai plaza metropolitan. Bangunan Olympia dibangun 9 lantai. Nah, mulai dari lantai 1 hingga lantai 3 difungsikan sebagai kios jualanan untuk produk fashion. Sedangkan lantai 4 difungsikan sebagai swalayan. Lantai 5, sebagai arena bermain, mulai dari video game, becak-becakan, kuda goyang, dan lain sebagainya. Lantai 6, dikondisikan sebagai bioskop. Sementara, lantai 7 hingga 8 difungsikan sebagai tempat hiburan; mulai dari kafe hingga diskotik.

Bukan hanya itu, bangunan ini juga dilengkapi dengan eslalator untuk mencapai tiap lantai. Bayangkan, dengan fasilitas selengkap itu, bukankah Olympia adalah surga bagi warga Medan di era 1980-an? Karena itu, tempat bila siang hari, di lantai 5 sesak pengunjung remaja, khususnya anak sekolah yang main video game. Kalau malam harinya, warga metropolis menikmati hiburan diskotik di lantai 8. Saat weekend, banyak pengujung menikmati hiburan film bioskop di lantai 6.

Tetapi itu dulu, pada masa kejayaan sang bangunan yang resmi dibuka pada tahun 1984. Berbeda sekali bila dibanding kondisinya saat ini. Bangunan yang berdiri di daerah strategis atau bersebelahan dengan Medan Mall, sudah tergerus zaman. Secara perlahan namun pasti, operasional di plaza pertama Kota Medan ini meredup. Bahkan, beberapa lantai yang menjadi pusat hiburan di plaza ini tidak berfungsi sama sekali.

“Untuk saat ini, yang beroperasi di plaza ini hanya lantai 1 hingga 3, lantai 3 pun hanya sedikit, sebagian besar sebagai gudang bagi para pedagang. Jadi total yang buka hanya sikit. Sedangkan untuk lantai empat hingga 9 sudah tutup total, gelap gulita,” ujar Suharno, seorang petugas keamanan yang bekerja di plaza itu.

Melihat dari awal, tidak akan terpikirkan kalau bangunan ini masih beroperasi dengan baik. Bila dilihat dari luar, kesan amburadul akan terlintas di benak. Lihatlah, becak dayung dan becak bermotor parkir seenaknya. Angkot bertumpuk mengantre untuk mendapatkan penumpang. Parkir sepeda motor dan mobil yang terletak di depan bangunan. Lalu, pedagang kaki lima yang membuka lapak (dagangan) di trotoar bangunan.

Kesan itu akan hilang saat menginjak lantai 1. Di lantai ini, dinding gedung terlihat masih bagus, bahkan lantainya juga terlihat bersih. Seperti layaknya pasar, lantai ini diisi dengan toko yang disekat-sekat. Seperti toko di Petisah,  Pasar Rame, dan pasar lainnya. Pada umumnya, yang berjualan di toko ini adalah pedagang lama, yang telah berjualan puluhan tahun atau sejak plaza ini beroperasi. Karena, sistem yang berlaku adalah toko sebagai hak milik, bukan sewa atau pinjam dengan jangka waktu tertentu. “Saya sudah memiliki toko di sini sekitar 32 tahun, sejak tahun 1980, saat pemasaran sudah saya beli. Di sini, toko dimiliki secara pribadi, kita tidak sewa apalagi pinjam,” ujar seorang pedagang pakaian di Olympia Plaza, Kadri Wong (71).

Dia mengisahkan, saat pertama kali membeli toko dengan harga sekitar Rp20 jutaan dan itu dibayar kredit dengan jangka waktu tertentu. “Tapi saya lupa berapa lama kreditnya. Setelah mulai sepi, saya beli lagi, jadi di sini banyak yang punya toko, minimal 2 setiap orang punya,” ujar Kadri yang mengaku memiliki 4 toko di Olympia Plaza.

Setiap harinya, plaza ini beroperasi setiap hari mulai pukul 08.00 WIB hingga 18.00 WIB. Tetapi tidak semua toko menutup sesuai jadwal, sebagian ada yang tutup hingga malam, atau sekitar pukul 20.00 atau 21.00 Wib, apalagi toko yang berada di sisi lantai 1 bagian luar. “Kalau Lebaran atau hari raya besar, kita bisa buka sampai pukul 9 malam, mobil ekspedisi juga tidak berhenti masuk,” tambah Kadri.

Lebih dari 100 pedagang membuka kios dagangannya di lantai 1 dan 2, yang mayoritas adalah produk fashion secara grosir, minimal 3 produk untuk setiap pembelian. Untuk semua produk di sini, mayoritas ‘diimpor’ secara langsung dari Tanah Abang Jakarta, bahkan ada sebagian yang dari Bandung. Untuk pembelinya, sebagian besar pedagang fashion dari Pasar Petisah, Pasar Rame, dan pasar tradisional lainnya. “Bahkan dari Tebing, Siantar, Sidimpuan. Banyak lah semua belanja di sini kok,” lanjut Kadri.

Kadri mengaku dari usahanya dia berhasil mengumpulkan Rp20 juta per bulan. Sementara pengeluaran yang dibebankan kepadanya sebagai pedagang di plaza tersebut senilai Rp1 juta sebulan. “Sudah masuk uang maintenance (perawatan gedung), listrik, dan air,” ungkap Kadri. “Sedangkan untuk lampu dan kipas angin disediakan oleh masing-masing toko,” tambahnya. Pihak gedung, hanya memfasilitasi lampu umum di tiap lantai dan eskalator.

Masa kejayaan plaza ini mulai pudar sekitar 15 tahun yang lalu atau sekitar pertengahan 1990-an. Hal ini disebabkan oleh berhenti beroperasinya swalayan yang berada di lantai 4. Apalagi, setelah berdiri Medan Mal. Efeknya, lantai 5 pun tergerus. “Awalnya yang berkurang mainan anak-anak, sedangkan untuk video game masih ada peminatnya seperti tukang becak, supir angkot yang main, bukan anak-anak lagi,” ujar salah satu pegawai gedung, Wina.

Setelah lantai 5 berhenti, maka fase selanjut adalah berhenti operasionalnya bioskop (lantai 6). “Bioskopnya sempat punya nama di sini, tapi mati karena dirazia, soalnya film yang diputar film Indonesia yang ada esek-eseknya,” ujar tukang becak yang telah beroperasi di kawasan ini lebih dari 20 tahun, A Manik (51).

Berbeda nasib dengan yang lantai yang lain, lantai 7 dan 8 sempat bertahan lama. Bahkan diskotiknya sempat berganti nama dan yang terakhir adalah M2000. Konon, dunia malam yang disediakan merupakan fasilitas kelas A. Berjalannya waktu dan banjirnya tempat hiburan dunia malam dikota Medan, akhirnya terkena imbasnya. Sekitar tahun 2003, diskotik ini pun tutup. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/