Nama Ascan Breuer dan Victor Jaschke mungkin masih terdengar asing di Tanah Air. Namun, di Austria, dua sineas yang berteman sejak 2007 ini mulai bersinar pasca dirilisnya 3 film dokumenter yang menggambarkan realita Indonesia.
AHMAD REZA KHOMAINI, Wina
PARADISE Later, Jakarta Disorder, dan Riding My Tiger. Tiga film dokumenter karya Ascan Breuer dan Victor Jaschke tersebut mengisahkan seputar kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya wilayah ibu kota.
Ketiga film tersebut, digarap mulai 2007 hingga awal 2011. Paradise Later merupakan film pendek yang menggambarkan kondisi sungai Ciliwung di Jakarta. Film ini masuk festival film akbar di Jerman, Berlinale 2010. Sementara Riding My Tiger yang mengisahkan tentang tanah leluhur ibunda Ascan Breuer meraih tinta emas di festival film Nyon, Swiss.
“Ibu saya asli Indonesia dari Purwokerto. Film ini memang tentang tanah kelahiran ibu saya. Di Swiss, film ini masuk sebagai nominasi Best Film and Most Innovative,” ungkap pria kelahiran Hamburg, Jerman, 15 Juli 1975 dalam suatu wawancara dengan INDOPOS (Grup Sumut Pos) di Wina, Austria.
Film Jakarta Disorder yang mulai dirilis awal Mei lalu di ibu kota Austria juga tak kalah menariknya. Film yang menggambarkan kondisi rakyat miskin di ibu kota dan perjuangan mereka melawan rencana penggusuran yang diorganisasi oleh Urban Poor Consortium (UPC). Film berdurasi 87 menit ini memotret kehidupan warga di sudut-sudut kumuh Jakarta, khususnya di wilayah Jakarta Utara dan Timur seperti di Muara Baru, Penjaringan, dan Warakas.
“Sebagian besar adegan di film ini kami ambil waktu era Gubernur Fauzi Wibowo. Kami sangat dekat dengan warga kampung di wilayah Jakarta. Di bagian akhir film juga ada momen kampanye Joko Widodo saat menjadi calon gubernur DKI,” ungkap Victor Jaschke yang menjadi juru gambar dari film yang telah diputar di Wina dan Graz ini.
Dari pembuatan tiga film tersebut, baik Ascan maupun Victor, sama-sama mengaku jatuh cinta dengan Indonesia. Pengalaman menarik dikisahkan Victor saat kali pertama menginjakkan kaki di ibu kota negeri ini, Jakarta. Menurut pria kelahiran Villach, Austria, 29 Juli 1966 ini, dirinya sempat tidak betah dengan kondisi perkotaan Jakarta yang begitu semrawut.
“Saya pusing sekali melihat macet di sana sini. Jauh sekali perbedaannya dengan ibu kota di negara-negara Eropa. Baru 3 minggu tinggal di Jakarta, saya minta pulang ke Ascan karena tidak tahan,” ucap Victor.
Berbeda dengan Victor, Ascan mengaku enjoy dengan wajah kota Jakarta. “Kalau saya kan di Eropa tinggalnya di kampung. Saya justru senang bisa tinggal di kota metropolitan sebesar Jakarta. Jadi saya tidak punya masalah sama sekali dengan kondisi kota Jakarta,” ujarnya.
Victor mengaku betah tinggal di Jakarta setelah dirinya mulai berkenalan dengan warga di perkampungan wilayah Jakarta Utara dan Timur. Menurutnya, warga kampung di ibu kota sangat terbuka dan friendly terhadap orang asing. “Saya merasa bagian dari mereka (warga kampung). Saya banyak belajar dari mereka. Banyak warga kalangan menengah ke atas bilang ke saya kalau warga kampung itu berbahaya, nyatanya saya aman-aman saja,” ungkap Victor.
Pernah suatu ketika saat pengambilan gambar di sebuah kampung di Jakarta Utara, Victor dan Ascan kehilangan microphone yang menjadi salah satu alat penting dalam perlengkapan dokumentasi mereka. Selang beberapa saat, barang tersebut kembali ke tangan mereka oleh warga sekitar. “Katanya warga kampung itu kriminal dan berbahaya tidak terbukti. Barang kami malah ditemukan dan dikembalikan warga. Mereka justru punya pemikiran luas dan kekeluargaan kuat,” kenang kedua sineas ini.
Kedekatan Victor dengan warga kampung di ibu kota juga memudahkan dirinya dalam memelajari bahasa Indonesia. Saat wawancara, Victor menjawab semua pertanyaan INDOPOS dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar. “Saya belajar bahasa Indonesia dari teman-teman di kampung. Saya senang sekali memiliki banyak teman di kampung-kampung di Jakarta. Mereka mengajarkan saya bahasa Indonesia, saya juga suka mengajarkan mereka bahasa Inggris,” ucap Victor.
Setelah sukses menggarap tiga film dokumenter di ibu kota, Victor mengaku tertarik dengan gemerlap pemilihan presiden di Indonesia. Victor mengaku ingin mengabadikan momen pesta demokrasi di Indonesia ini dalam sebuah film pendek.
“Pilpres kali ini sangat penting tidak hanya untuk Indonesia. Tapi menurut saya juga penting untuk dunia politik internasional. Saya ingin sekali mengambil gambar momen-momen kampanye hingga hasil penghitungan suara pemilihan presiden kali ini,” ujar Victor yang menetap di perkampungan wilayah Manggarai, Jakarta Selatan ini.
Dijelaskan Victor, teman-temannya di wilayah Manggarai banyak yang mendukung calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto. Sementara teman-teman yang dikenalnya dari film Jakarta Disorder di wilayah Muara Baru tak sedikit yang menjadi relawan capres nomor urut 2, Joko Widodo. Victor ingin dukungan kedua kubu yang berbeda ini didokumentasikan dan bisa menjadi pembelajaran politik untuk penonton di Indonesia dan Eropa. (tom)