27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Pengadaan Obat HIV/AIDS Diminta Transparan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemilihan penyedia obat Antiretroviral (ARV) untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui jalur e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) diminta agar transparan dan akuntabel. Hal itu lantaran saat ini sedang berlangsung negosiasi obat ARV jenis TLD (Tenofovir, Lamivudine, Dolutegravir).

Ilustrasi.

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana menyampaikan, proses pengadaan obat-obatan tahun 2021-2022 dengan menggunakan dana pemerintah ini diharapkan bisa menghasilkan harga obat yang paling rasional.

“Fokus kami saat ini mengawasi agar obat ARV jenis kombinasi dosis tetap TLE (Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz) dan TLD (Tenofovir, Lamivudine, Dolutegravir) bisa terdaftar di e-katalog terbaru ini dengan harga yang paling rasional,” ujar Aditya dalam keterangan resminya, Rabu (18/11).

Dikatakan dia, dua jenis obat ARV kombinasi dosis tetap tersebut menjadi tulang punggung keberhasilan program penanggulangan AIDS di Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 80 ribu ODHA yang mengonsumsi obat ARV dengan jenis kombinasi ini.

Seperti diketahui, sejak tahun 2016, rejimen obat ARV jenis TLE yang dibeli menggunakan dana APBN harganya mencapai Rp405.000. Kemudian pada pengadaan tahun 2020, harganya turun menjadi Rp204.000.

Menurutnya, hal ini tentu menjadi berita yang menggembirakan karena dengan turunnya harga, maka alokasi anggaran yang tersedia dapat mencakup lebih banyak ODHA untuk diberikan pengobatan. Meski sisi lain, informasi tersebut masih menimbulkan pertanyaan lain. “Mengapa selama ini harga yang digunakan begitu mahal, bahkan setelah harganya turun pun tetap berbeda jauh dari harga di pasaran internasional? Per Oktober 2020, harganya hanya 6 dolar Amerika per botol atau setara dengan Rp84.966,” beber Aditya.

Oleh karena itu, pihaknya meminta seluruh negosiasi yang berhubungan dengan pengadaan obat ARV lebih transparan, sehingga masyarakat dapat memantau dan turut memastikan kelancaran prosesnya. “Dengan demikian, tidak terjadi lagi negosiasi harga obat ARV yang terlalu tinggi seperti yang terjadi selama ini,” ucapnya.

Ia menuturkan, obat ini memiliki tingkat toksisitas rendah dan tingkat keampuhan yang lebih tinggi. Selain itu, TLD juga lebih murah dengan harga internasional US$ 5,55 atau Rp77.885 (kurs Rp14.161), sehingga diharapkan harga yang dinegosiasikan tetap berada pada batasan yang rasional.

“ARV kombinasi dosis tetap berjenis TLE dan TLD tersebut merupakan tulang punggung pengobatan bagi lebih dari 80 ribu pasien HIV. Sudah seharusnya pemerintah memperhatikan efektivitas, efikasi pengobatan, dan harga yang terjangkau sehingga dapat mencakup lebih banyak pasien,” cetusnya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI pada Triwulan II Tahun 2020, menunjukkan dari perkiraan jumlah ODHA di Indonesia yang mencapai 543.000 orang, baru ditemukan 398.784 orang. Dari jumlah itu, hanya 135.403 orang yang mendapatkan pengobatan atau baru mencakup sekitar 34 persen dari target 90 persen yang seharusnya sudah tercapai pada akhir tahun 2020.

“Pengobatan ARV dibutuhkan bukan hanya untuk menyelamatkan nyawa pasien tapi juga dapat membantu mencegah angka penularan baru. Dengan rutin mengonsumsi ARV, jumlah virus dalam tubuh ODHA menjadi tidak terdeteksi dan tidak lagi berpotensi menularkan pada orang lainnya,” pungkas Aditya. (ris/ila)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemilihan penyedia obat Antiretroviral (ARV) untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui jalur e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) diminta agar transparan dan akuntabel. Hal itu lantaran saat ini sedang berlangsung negosiasi obat ARV jenis TLD (Tenofovir, Lamivudine, Dolutegravir).

Ilustrasi.

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana menyampaikan, proses pengadaan obat-obatan tahun 2021-2022 dengan menggunakan dana pemerintah ini diharapkan bisa menghasilkan harga obat yang paling rasional.

“Fokus kami saat ini mengawasi agar obat ARV jenis kombinasi dosis tetap TLE (Tenofovir, Lamivudine, Efavirenz) dan TLD (Tenofovir, Lamivudine, Dolutegravir) bisa terdaftar di e-katalog terbaru ini dengan harga yang paling rasional,” ujar Aditya dalam keterangan resminya, Rabu (18/11).

Dikatakan dia, dua jenis obat ARV kombinasi dosis tetap tersebut menjadi tulang punggung keberhasilan program penanggulangan AIDS di Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 80 ribu ODHA yang mengonsumsi obat ARV dengan jenis kombinasi ini.

Seperti diketahui, sejak tahun 2016, rejimen obat ARV jenis TLE yang dibeli menggunakan dana APBN harganya mencapai Rp405.000. Kemudian pada pengadaan tahun 2020, harganya turun menjadi Rp204.000.

Menurutnya, hal ini tentu menjadi berita yang menggembirakan karena dengan turunnya harga, maka alokasi anggaran yang tersedia dapat mencakup lebih banyak ODHA untuk diberikan pengobatan. Meski sisi lain, informasi tersebut masih menimbulkan pertanyaan lain. “Mengapa selama ini harga yang digunakan begitu mahal, bahkan setelah harganya turun pun tetap berbeda jauh dari harga di pasaran internasional? Per Oktober 2020, harganya hanya 6 dolar Amerika per botol atau setara dengan Rp84.966,” beber Aditya.

Oleh karena itu, pihaknya meminta seluruh negosiasi yang berhubungan dengan pengadaan obat ARV lebih transparan, sehingga masyarakat dapat memantau dan turut memastikan kelancaran prosesnya. “Dengan demikian, tidak terjadi lagi negosiasi harga obat ARV yang terlalu tinggi seperti yang terjadi selama ini,” ucapnya.

Ia menuturkan, obat ini memiliki tingkat toksisitas rendah dan tingkat keampuhan yang lebih tinggi. Selain itu, TLD juga lebih murah dengan harga internasional US$ 5,55 atau Rp77.885 (kurs Rp14.161), sehingga diharapkan harga yang dinegosiasikan tetap berada pada batasan yang rasional.

“ARV kombinasi dosis tetap berjenis TLE dan TLD tersebut merupakan tulang punggung pengobatan bagi lebih dari 80 ribu pasien HIV. Sudah seharusnya pemerintah memperhatikan efektivitas, efikasi pengobatan, dan harga yang terjangkau sehingga dapat mencakup lebih banyak pasien,” cetusnya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI pada Triwulan II Tahun 2020, menunjukkan dari perkiraan jumlah ODHA di Indonesia yang mencapai 543.000 orang, baru ditemukan 398.784 orang. Dari jumlah itu, hanya 135.403 orang yang mendapatkan pengobatan atau baru mencakup sekitar 34 persen dari target 90 persen yang seharusnya sudah tercapai pada akhir tahun 2020.

“Pengobatan ARV dibutuhkan bukan hanya untuk menyelamatkan nyawa pasien tapi juga dapat membantu mencegah angka penularan baru. Dengan rutin mengonsumsi ARV, jumlah virus dalam tubuh ODHA menjadi tidak terdeteksi dan tidak lagi berpotensi menularkan pada orang lainnya,” pungkas Aditya. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/