MEDAN, SUMUTPOS.CO – Polemik tuduhan self plagiarisme dari Rektorat Universitas Sumatera Utara (USU) terhadap Rektor terpilih USU periode 2021-2026, Dr Muryanto Amin, terus menuai pro kontra. Sekretaris Majelis Wakil Amanat (MWA) USU, Prof. Guslihan Dasatjipta, kembali menegaskan bahwa perbuatan self plagiarisme secara akademik sama sekali tidak diperbolehkan.
“Plagiarisme itu barang haram di universitas. Harus bersih. Apakah (self plagiarisme) itu betul apa tidak, kita periksalah. Yang memeriksa tentu Rektor (Prof. Runtung Sitepu), siapa lagi? Kalau perlu, semua diperiksa, dicek dan ditelusuri,” ungkap Guslihan kepada wartawan, Selasa (19/1).
Menurut Guslihan, USU juga menelusuri kasus plagiarisme yang sama seperti laporan terhadap Rektor USU, Prof. Runtung Sitepu, dan pihak-pihak yang lain. Tujuannya, agar ada keadilan dan tidak pandang bulu.
Guslihan mengungkapkan, self plagiarisme akan berdampak negatif di publik dan kualitas pendidikan USU. Untuk itu, harus segera diselesaikan dengan baik melalui keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.
“Yang namanya menjiplak, siapapun tidak boleh melakukan. Meski punya diri sendiri. Contoh aku punya lagu, kukasih satu record sini. Pindah ke record lain, aku dapat uang ‘kan? Jika kupindahkan lagi, boleh itu? Kena tangkap hak ciptalah. Sama dengan ini (self plagiarisme), kalau ada copyright dan kita kirim ke sebuah instansi, berarti milik dialah. Kita dapat KUM, insentif penelitian. Kubuat yang lain, aku dapat lagi. Itu menurutku,” jelas Guslihan.
Disinggung apakah MWA ada niat menyelesaikan masalah ini, Guslihan mengatakan, biarlah Kemendikbud yang memutuskan. Bagi dirinya, lebih baik USU jelek dipandang saat ini, tapi kemudian hari sudah kembali normal dengan prestasi yang diraih.
“Mana lebih baik, bagus di awal tapi jelek sepanjang tahun atau sebaliknya? Artinya, plagiarisme harus dibersihkan. Saya tidak bicara orang lo. Tapi plagiarisme harus dibersihkan itu. Buktikan dulu ini tidak plagiarisme. Kalau Kemendikbud menyatakan ini tidak plagiat, oke. Jadinya, clear. Kita tunggu, apa keputusannya. Kita jalan,” ungkap Guslihan.
Guslihan menyebutkan, MWA USU bertugas melantik Rektor terpilih. Tidak bisa memutuskan kasus yang dialami Muryanto. “Pelantikannya tanggal 28 Januari 2021. Penetapan boleh kapan aja, sebulan lalu bisa. Tapi aku bekerja kalau aku sudah dilantik. Surat Keputusan itu berlaku kalau sudah dilantik. Pelantikan haknya MWA. Kalau tentang plagiarisme, kita tunggu keputusannya. Sudah lengkap disampaikan (SK Rektor) ke Kemendikbud disampaikan melalui TIKI,” pungkasnya.
Hukum Positif Tidak Mengenal Self Plagiarisme
Berbada dengan MWA, Guru besar Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS menegaskan hukum positif di Indonesia tidak mengenal self-plagiarism atau autoplagiarism. Pernyataan ini diungkapkan Tan Kamello menyikapi kasus kontroversial Rektor USU Terpilih Muryanto Amin yang dituduh melakukan sel-fplagiarism.
“Jika dibaca Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010, tidak satu kata pun dijumpai istilah self-plagiarism atau autoplagiarisme,” ungkap Kamello kepada wartawan, kemarin.
Menurut pakar hukum di Sumatera Utara ini, istilah tersebut hanya dikemukakan oleh para penulis asing dan tidak pernah dimasukkan dalam rumusan pasal. “Kalau seorang plagiator diduga dan mau dijatuhi hukuman berdasarkan hukum positif, maka perbuatan yang dilakukan plagiator harus memenuhi unsur-unsur yuridis dalam pasal tersebut,” jelasnya.
Oleh karenanya, kata Tan Kamello yang juga anggota Dewan Guru Besar (DGB) USU ini, Tim Penelusuran yang dibentuk Rektor USU untuk menangani perkara dugaan plagiat Muryanto Amin, tidak dapat membuktikan perbuatan plagiat yang dilakukan oleh Rektor Terpilih tersebut.
“Selain itu pasal yang diterapkan untuk kasus ini tidak bisa dibuktikan, melainkan hanya melakukan dugaan saja. Ketua Tim juga sudah membuat kesimpulan yang berulang-ulang tentang adanya dugaan perbuatan plagiat, dengan tidak memahami secara benar arti plagiat yang dimaksudkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010. Dalam peraturan tersebut secara jelas dan eksplisit disebutkan, plagiat adalah mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain. Jadi bukan karya ilmiah sendiri,” beber Tan Kamello.
Sebagai salahseorang anggota Dewan Guru Besar USU, Tan Kamello mengaku sudah membaca dan menyimak hasil penelusuran dugaan plagiat pada kasus Muryanto. Penemuan tim penelusuran itu akan menimbulkan masalah hukum baru. Sebab berdasarkan catatannya, Tim Penelusuran menggunakan frase dugaan adanya plagiarisme dengan kategori self-plagiarism atau autoplagiarism dengan menggunakan aplikasi Turnitin dan Checker X.
“Pertanyaannya , siapakah yang mengesahkan alat uji aplikasi tersebut? Apakah pihak Senat, Rektor, Dewan Guru Besar, Wali Amanat, sehingga menjadi validable dan reliable?” tanyanya.
Berdasakan alat uji aplikasi tersebut, kata dia, Tim Penelusuran berpendapat diduga telah terjadi perbuatan plagiat yang melanggar etika keilmuan dan integritas moral. “Di sini Tim Penelusuran tidak dapat membedakan ruang norma hukum dan ruang norma etika dan moral. Norma hukum yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.17 Tahun 2010 saja tidak dilanggar, mengapa dapat dikatakan melanggar etika keilmuan dan integritas moral,” lanjutnya.
Oleh sebab itu, untuk menentukan indikator yuridis dalam memutuskan seseorang plagiat atau tidak, maka alat ukurnya harus terlebih dahulu disahkan dalam forum kelembagaan yang sah. “Apakah aplikasi Turnitin dan Checker X sudah diputuskan sebagai norma hukum pada peraturan internal USU sebagai alat uji yang sah. Menurut sepengetahuan saya belum ada. Sehingga sangatlah tidak patut (onbehoorlijkheid) untuk diterima pandangan Tim Penelusuran tersebut,” ungkap Kamello.
Terakhir, Tan Kamello menegaskan Dewan Guru Besar bekerja dalam kerangka pikir sistem etik, bukan terjebak dalam kerangka pikir hukum. Kerangka berpikir hukum, maka acuannya adalah norma hukum dan asas hukum. Kerangka pikir etik lebih tinggi posisi kedudukannya dari hukum .
“Kalau Tim Penelusuran menduga adanya self-plagiarism dari Dr.Muryanto Amin, maka dugaan hukum itu sudah salah. Sehingga tidak tepat untuk mengatakan telah terjadi pelanggar etika keilmuan,” tandasnya. (gus)