25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Guru Nakal Tak Bisa Dipolisikan

Disidang Dulu di Dewan Kehormatan

Para guru bakal mendapatkan kado istimewa saat perayaan ke-67 Hari Guru Nasional (HGN) pada 25 November mendatang atau lima hari lagi. Di antara yang paling menonjol adalah keputusan bersama Kapolri dengan PGRI bahwa guru nakal tidak bisa langsung dipolisikan.

PELAJARAN:  Seorang guru menerangkan pelajaran kepada siswa  SMK Negeri 7 Medan, Senin (19/11).//ANDRI GINTING/SUMUT POS
PELAJARAN: Seorang guru menerangkan pelajaran kepada siswa di SMK Negeri 7 Medan, Senin (19/11).//ANDRI GINTING/SUMUT POS

Perilaku “istimewa” bagi para guru ini bakal menghapus kasus-kasus kriminalisasi guru yang akhir-akhir ini marak. Pengurus Besar (PB) PGRI selama ini mencatat banyak guru dilaporkan ke polisi hanya karena perkara sepele. Misalnya menjewer atau menabok siswanya yang nakal. Bahkan menegur siswa dengan nada sedikit kencang juga bisa berujung laporan ke polisi. Nah, hal itulah yang harus ‘ditertibkan’. Dengan kata lain, menertibkan guru nakal harus disidang dulu di Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

Terkait rencana tersebut, sikap anggota DPRD Medan terbelah: ada yang setuju dan ada pula yang menolak. Anggota DPRD Kota Medan yang menerima perjanjian ini menilai hukuman untuk memberikan efek jera sebagai motivasi bagi pelajar agar lebih giat.

“Sebetulnya dijewer ini perlu, namun guru harus memiliki batasan untuk melakukan hal itu, jangan membuat cedera atas kontak fisik ringan ini,” ucap Yahya Payung Lubis Anggota Komisi B DPRD Kota Medan, pekan lalu.

Selain itu, seorang guru juga harus bisa mengontrol emosi sehingga menimbulkan penganiyaan terhadap murid tersebut.”Jangan sampai fatallah menimbulkan dampak besar yang dialami oleh siswa tersebut,” ungkapnya.

Politisi dari Partai Demokrat Kota Medan ini mencerita saat dirinya duduk di bangku sekolah, dia sering mengalami hukum fisik ringan.”Saya sewaktu sekolah sering mengalami hukuman, namun itu menjadi motivasi saya untuk menuntut ilmu karena ilmu sangat berharga bagi saya, “cetusnya.
Intinya dalam perjanjian Polri dan PGRI nantinya, jangan membuat murid menjadi trauma. “Kontak fisik ringan dilakukan untuk mendidik bukan untuk melempiaskan kekesalan seorang terhadap siswanya,” ujarnya.

Begitu juga, terhadap guru, ketika terjadi kontak fisik ringan, orangtua siswa jangan langsung melakukan KHUpidana kepada guru. “Jangan langsung membuat laporan ke polisi,” sebutnya.

Hal yang sama juga disampaikan Julaiman Damanik, Anggota Fraksi Medan Bersatu (F-MB). Dia menyoroti hak istimewa guru tadi sah-sah saja. “Tapi bentuk kewajaran dan memiliki batasan-batasan yang dilakukan oleh guru,” ujarnya.

Lanjutnya, jangan sampai membuat jera atau membuat psikologis siswa yang mengalami hukum ini jadi takut untuk kembali ke sekolah.

Sementara itu, Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Medan Salman Alfarisi mengatakan seharusnya dalam memberikan hukuman di dunia pendidikan tidak harus menggunakan hukuman fisik. Ada cara lain, bisa dilakukan dalam memberikan hukuman dengan memberikan tugas sekolah yang lebih banyak, kemudian dihukum untuk membersihkan ruang kelas. “Dunia pendidik seharusnya menghidari kontak fisik didalamnya, baik itu ringan maupun berat,” katanya.
Sambungnya, dengan adanya perjanjian Polri dan PGRI, bisa membuat seorang guru terlindungi hingga bisa menjadi ‘bebas’ dalam menghukum muridnya. “Menjadi kekhawatiran, ketika perjanjian itu berlaku, guru akan melakukan sanksi fisik yang berlebihan. Untuk itu, setiap sekolah harus memiliki konsep yang jelas dalam sanksi hukuman kepada siswa, jangan menjadi dampak bagi siswa yang menimbulkan ketakutan siswa untuk meimbah ilmu di sekolah.

Guru Mau seperti Dokter dan Wartawan

Sebelumnya, Ketua Umum PB PGRI Sulistyo di Jakarta akhir bulan lalu menuturkan, keputusan bersama atau MoU pihaknya dengan jajaran kepolisian sudah masuk tahap finalisasi. Sulistyo menuturkan hak “istimewa” guru ini merupakan konsekuensi diberlakukannya kode etik guru pada 1 Januari tahun depan. Kode etik ini nantinya harus dijalankan semua guru yang tergabung dalam organisasi profesi guru. Sampai saat ini, organisasi profesi guru yang ada di Indonesia masih PGRI saja.

Menurut pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Jawa Tengah itu, perlakuan aturan khusus untuk pelanggaran profesi tertentu juga sudah diterapkan untuk profesi-profesi lain. Seperti dokter dan wartawan.

Sulistyo menjelaskan setelah kode etik ini diterbitkan seluruh pelanggaran profesi guru akan diproses oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Dia menyebutkan bahwa saat ini DKGI sudah dibentuk di tingkat pusat, provinsi, bahkan seluruh kabupaten dan kota.

Pada teknis pelaksanaannya nanti, jika ada perselisihan antara masyarakat dengan guru terkait kode etik profesi guru, maka harus dilaporkan ke DKGI kabupaten atau kota. Selanjutnya DKGI ini menjalankan proses penegakan kode etik hingga tahap persidangan. “SOP (standard operational procedure) persidangannya sudah kita siapkan,” tutur Sulistyo.

Hasil dari persidangan ini bisa berujung pada pemberian sanksi administrasi, kepegawaian, dan hukum pidana. Di masing-masing sanksi tadi ada kategori ringan, sedang, hingga berat.

Nah, jika putusan sidang di DKGI ini menjatuhkan vonis sanksi hukum pidana, baru diserahkan ke pihak kepolisian. Guru juga memiliki hak banding atas putusan ini. Banding dilayangkan ke DKGI tingkat provinsi hingga DKGI pusat. Ketika ada guru yang diproses polisi, juga masih berhak mendapatkan bantuan hukum dari PGRI.

Perlakuan spesial bagi guru tadi memiliki pengecualian. Jika kesalahan yang dibuat guru bukan dalam konteks profesi guru, seperti narkoba, pembunuhan, hingga teroris, polisi bisa langsung memperoses tanpa melewati DKGI.

Meskipun begitu, Sulistyo mengatakan proses BAP-nya wajib dilakukan di gadeng guru milik PGRI. Upaya ini penting untuk menjaga mental guru supaya tidak stress. Bagi Sulistyo, guru yang stress bisa berdampak fatal bagi siswa. “Kalau stress-nya ringan bisa saja dia malah bernyanyi-nyanyi ketika mengajar matematika. Tapi kalah stress-nya sudah berat, lain lagi,” papar Sulsityo.

Dengan adanya DKGI dan lembaga bantuan hukum untuk guru, Sulistyo mengakui jika biaya operasional PGRI bakal meningkat. Untuk itu memang benar ada rencana menaikkan iuran anggota PGRI. “Kami tetap berusaha mandiri (tidak meminta APBN atau APBD, Red).”

Opsi yang muncul saat ini iuran rutin anggota PGRI mulai tahun depan sebesar Rp10 ribu per orang per bulan untuk guru yang sudah sertifikasi. Sedangkan bagi guru yang belum bersertifikasi, iuran ditetapkan Rp5.000 per orang per bulan. Jika skema ini berjalan, PB PGRI yang berkedudukan di Jakarta bisa mengantongi hasil iuran Rp3 miliar lebih per tahun. (gus/wan/jpnn)

Contoh Kasus Guru yang Dipolisikan

  1. Di Medan Labuhan: Seorang guru komputer berinisial Sus  di SD Pelita Kasih di Jalan Platina Raya Kelurahan Titipapan Kecamatan Medan Labuhan menendang dan mencekik muridnya yang bermain dalam kelas. Muridnya bernama Imanuel Saragih (9) dan masih duduk dibangku kelas tiga. Sus dilaporkan ke Mapolres Pelabuhan Belawan. Peristiwa ini terjadi pada Selasa, 23 Oktober 2012
  2. Di Langkat: Oknum guru olahraga berinisal S di SDN 050757 Alur Dua Kecamatan Sei Lepan Langkat menganiya muridnya M Fadli (7) hingga babak belur: luka sobek di paha kiri, perut terasa nyeri, dan gigi nyaris rontok.Akibat peristiwa itu, S diadukan ke Mapolsek Pangkalan Brandan. Peristiwa ini terjadi pada Selasa, 14 April 2012.
  3. Di Binjai: Seorang guru Sekolah Dasar (SD) Negeri 024872, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan, berinisial JG (25), melempar muridnya Nazariah Lubis (8), menggunakan penghapus kayu. Kemarahan guru gara-gara si murid  tak membawa buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Sang guru lalu dilaporkan ke Polres Binjai. Peristiwa ini terjadi pada Rabu 22 Febuari 2012.

Data Olahan Sumut Pos

Disidang Dulu di Dewan Kehormatan

Para guru bakal mendapatkan kado istimewa saat perayaan ke-67 Hari Guru Nasional (HGN) pada 25 November mendatang atau lima hari lagi. Di antara yang paling menonjol adalah keputusan bersama Kapolri dengan PGRI bahwa guru nakal tidak bisa langsung dipolisikan.

PELAJARAN:  Seorang guru menerangkan pelajaran kepada siswa  SMK Negeri 7 Medan, Senin (19/11).//ANDRI GINTING/SUMUT POS
PELAJARAN: Seorang guru menerangkan pelajaran kepada siswa di SMK Negeri 7 Medan, Senin (19/11).//ANDRI GINTING/SUMUT POS

Perilaku “istimewa” bagi para guru ini bakal menghapus kasus-kasus kriminalisasi guru yang akhir-akhir ini marak. Pengurus Besar (PB) PGRI selama ini mencatat banyak guru dilaporkan ke polisi hanya karena perkara sepele. Misalnya menjewer atau menabok siswanya yang nakal. Bahkan menegur siswa dengan nada sedikit kencang juga bisa berujung laporan ke polisi. Nah, hal itulah yang harus ‘ditertibkan’. Dengan kata lain, menertibkan guru nakal harus disidang dulu di Dewan Kehormatan Guru Indonesia.

Terkait rencana tersebut, sikap anggota DPRD Medan terbelah: ada yang setuju dan ada pula yang menolak. Anggota DPRD Kota Medan yang menerima perjanjian ini menilai hukuman untuk memberikan efek jera sebagai motivasi bagi pelajar agar lebih giat.

“Sebetulnya dijewer ini perlu, namun guru harus memiliki batasan untuk melakukan hal itu, jangan membuat cedera atas kontak fisik ringan ini,” ucap Yahya Payung Lubis Anggota Komisi B DPRD Kota Medan, pekan lalu.

Selain itu, seorang guru juga harus bisa mengontrol emosi sehingga menimbulkan penganiyaan terhadap murid tersebut.”Jangan sampai fatallah menimbulkan dampak besar yang dialami oleh siswa tersebut,” ungkapnya.

Politisi dari Partai Demokrat Kota Medan ini mencerita saat dirinya duduk di bangku sekolah, dia sering mengalami hukum fisik ringan.”Saya sewaktu sekolah sering mengalami hukuman, namun itu menjadi motivasi saya untuk menuntut ilmu karena ilmu sangat berharga bagi saya, “cetusnya.
Intinya dalam perjanjian Polri dan PGRI nantinya, jangan membuat murid menjadi trauma. “Kontak fisik ringan dilakukan untuk mendidik bukan untuk melempiaskan kekesalan seorang terhadap siswanya,” ujarnya.

Begitu juga, terhadap guru, ketika terjadi kontak fisik ringan, orangtua siswa jangan langsung melakukan KHUpidana kepada guru. “Jangan langsung membuat laporan ke polisi,” sebutnya.

Hal yang sama juga disampaikan Julaiman Damanik, Anggota Fraksi Medan Bersatu (F-MB). Dia menyoroti hak istimewa guru tadi sah-sah saja. “Tapi bentuk kewajaran dan memiliki batasan-batasan yang dilakukan oleh guru,” ujarnya.

Lanjutnya, jangan sampai membuat jera atau membuat psikologis siswa yang mengalami hukum ini jadi takut untuk kembali ke sekolah.

Sementara itu, Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Medan Salman Alfarisi mengatakan seharusnya dalam memberikan hukuman di dunia pendidikan tidak harus menggunakan hukuman fisik. Ada cara lain, bisa dilakukan dalam memberikan hukuman dengan memberikan tugas sekolah yang lebih banyak, kemudian dihukum untuk membersihkan ruang kelas. “Dunia pendidik seharusnya menghidari kontak fisik didalamnya, baik itu ringan maupun berat,” katanya.
Sambungnya, dengan adanya perjanjian Polri dan PGRI, bisa membuat seorang guru terlindungi hingga bisa menjadi ‘bebas’ dalam menghukum muridnya. “Menjadi kekhawatiran, ketika perjanjian itu berlaku, guru akan melakukan sanksi fisik yang berlebihan. Untuk itu, setiap sekolah harus memiliki konsep yang jelas dalam sanksi hukuman kepada siswa, jangan menjadi dampak bagi siswa yang menimbulkan ketakutan siswa untuk meimbah ilmu di sekolah.

Guru Mau seperti Dokter dan Wartawan

Sebelumnya, Ketua Umum PB PGRI Sulistyo di Jakarta akhir bulan lalu menuturkan, keputusan bersama atau MoU pihaknya dengan jajaran kepolisian sudah masuk tahap finalisasi. Sulistyo menuturkan hak “istimewa” guru ini merupakan konsekuensi diberlakukannya kode etik guru pada 1 Januari tahun depan. Kode etik ini nantinya harus dijalankan semua guru yang tergabung dalam organisasi profesi guru. Sampai saat ini, organisasi profesi guru yang ada di Indonesia masih PGRI saja.

Menurut pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Jawa Tengah itu, perlakuan aturan khusus untuk pelanggaran profesi tertentu juga sudah diterapkan untuk profesi-profesi lain. Seperti dokter dan wartawan.

Sulistyo menjelaskan setelah kode etik ini diterbitkan seluruh pelanggaran profesi guru akan diproses oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI). Dia menyebutkan bahwa saat ini DKGI sudah dibentuk di tingkat pusat, provinsi, bahkan seluruh kabupaten dan kota.

Pada teknis pelaksanaannya nanti, jika ada perselisihan antara masyarakat dengan guru terkait kode etik profesi guru, maka harus dilaporkan ke DKGI kabupaten atau kota. Selanjutnya DKGI ini menjalankan proses penegakan kode etik hingga tahap persidangan. “SOP (standard operational procedure) persidangannya sudah kita siapkan,” tutur Sulistyo.

Hasil dari persidangan ini bisa berujung pada pemberian sanksi administrasi, kepegawaian, dan hukum pidana. Di masing-masing sanksi tadi ada kategori ringan, sedang, hingga berat.

Nah, jika putusan sidang di DKGI ini menjatuhkan vonis sanksi hukum pidana, baru diserahkan ke pihak kepolisian. Guru juga memiliki hak banding atas putusan ini. Banding dilayangkan ke DKGI tingkat provinsi hingga DKGI pusat. Ketika ada guru yang diproses polisi, juga masih berhak mendapatkan bantuan hukum dari PGRI.

Perlakuan spesial bagi guru tadi memiliki pengecualian. Jika kesalahan yang dibuat guru bukan dalam konteks profesi guru, seperti narkoba, pembunuhan, hingga teroris, polisi bisa langsung memperoses tanpa melewati DKGI.

Meskipun begitu, Sulistyo mengatakan proses BAP-nya wajib dilakukan di gadeng guru milik PGRI. Upaya ini penting untuk menjaga mental guru supaya tidak stress. Bagi Sulistyo, guru yang stress bisa berdampak fatal bagi siswa. “Kalau stress-nya ringan bisa saja dia malah bernyanyi-nyanyi ketika mengajar matematika. Tapi kalah stress-nya sudah berat, lain lagi,” papar Sulsityo.

Dengan adanya DKGI dan lembaga bantuan hukum untuk guru, Sulistyo mengakui jika biaya operasional PGRI bakal meningkat. Untuk itu memang benar ada rencana menaikkan iuran anggota PGRI. “Kami tetap berusaha mandiri (tidak meminta APBN atau APBD, Red).”

Opsi yang muncul saat ini iuran rutin anggota PGRI mulai tahun depan sebesar Rp10 ribu per orang per bulan untuk guru yang sudah sertifikasi. Sedangkan bagi guru yang belum bersertifikasi, iuran ditetapkan Rp5.000 per orang per bulan. Jika skema ini berjalan, PB PGRI yang berkedudukan di Jakarta bisa mengantongi hasil iuran Rp3 miliar lebih per tahun. (gus/wan/jpnn)

Contoh Kasus Guru yang Dipolisikan

  1. Di Medan Labuhan: Seorang guru komputer berinisial Sus  di SD Pelita Kasih di Jalan Platina Raya Kelurahan Titipapan Kecamatan Medan Labuhan menendang dan mencekik muridnya yang bermain dalam kelas. Muridnya bernama Imanuel Saragih (9) dan masih duduk dibangku kelas tiga. Sus dilaporkan ke Mapolres Pelabuhan Belawan. Peristiwa ini terjadi pada Selasa, 23 Oktober 2012
  2. Di Langkat: Oknum guru olahraga berinisal S di SDN 050757 Alur Dua Kecamatan Sei Lepan Langkat menganiya muridnya M Fadli (7) hingga babak belur: luka sobek di paha kiri, perut terasa nyeri, dan gigi nyaris rontok.Akibat peristiwa itu, S diadukan ke Mapolsek Pangkalan Brandan. Peristiwa ini terjadi pada Selasa, 14 April 2012.
  3. Di Binjai: Seorang guru Sekolah Dasar (SD) Negeri 024872, Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan, berinisial JG (25), melempar muridnya Nazariah Lubis (8), menggunakan penghapus kayu. Kemarahan guru gara-gara si murid  tak membawa buku mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Sang guru lalu dilaporkan ke Polres Binjai. Peristiwa ini terjadi pada Rabu 22 Febuari 2012.

Data Olahan Sumut Pos

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/