27 C
Medan
Monday, October 21, 2024
spot_img

Penyelesaian Konflik Tanah di Sumut, Ombudsman Sarankan Pendekatan Politik

PERTEMUAN:Rombongan Komisi II DPR RI melakukan pertemuan  dengan pimpinan BPN se Sumut, bersama Komisioner Ombudsman RI dan Ombudsman Sumut dalam rangka kunjungan kerja. ke Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam. Dalam pertemuan tersebut membahas persoalan tanah di Sumut.
PERTEMUAN:Rombongan Komisi II DPR RI melakukan pertemuan dengan pimpinan BPN se Sumut, bersama Komisioner Ombudsman RI dan Ombudsman Sumut dalam rangka kunjungan kerja. ke Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam. Dalam pertemuan tersebut membahas persoalan tanah di Sumut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala menyarankan, agar dalam menyelesaikan konflik-konflik pertanahan terutama di Sumatera Utara, pemerintah jangan hanya melakukan pendekatan hukum. Tapi, dalam situasi tertentu, pemerintah harus menggunakan pendekatan politik.

“Kalau penyelesaian konflik tanah seperti di Sumut ini dilakukan dengan pendekatan hukum, maka tidak akan pernah selesai. Karena akan banyak persoalan yang muncul. Bahkan akan timbul persoalan baru,” kata Adrianus dalam pertemuan Komisi II DPR RI dengan jajarann

Badan Pertanahan Nasional (BPN) se Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam.

Menurut dia, menuntaskan konflik tanah dengan cara politik akan lebih solutif dan lebih membuka jalan untuk proses penyelesaian dibanding pendekatan hukum. Sebab semua stakeholder memberi persetujuan untuk menuntaskan konflik tanah tersebut.

“Jadi menurut saya win-win solution untuk menuntaskan konflik tanah ini lebih baik menggunakan pendekatan politik daripada pendekatan hukum. Karena kalau menggunakan pendekatan hukum, masing-masing pihak akan mengklaim sebagai pihak yang benar.

Pemerintah misalnya, akan mengatakan masyarakat telah melanggar aturan perundang- undangan. Tapi di sisi lain, masyarakat juga akan bertahan dengan berbagai macam alasan yang mereka anggap benar. Kalau sudah begini, maka tidak akan ada penyelesaian,” ungkapnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan itu, Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono mengaku, bahwa Sumut adalah salah satu daerah yang kasus tanahnya cukup banyak. Namun menurutnya, ada dua kasus tanah di Sumut yang kalau bisa diselesaikan, berarti 80 persen kasus tanah di Sumut berarti dianggap sudah selesai.

Keduanya adalah kasus tanah eks HGU PTPN-II dan kasus tanah antara ribuan masyarakat dengan TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. “Bila dua kasus ini bisa diselesaikan, maka 80 persen kasus tanah di Sumut dapat dianggap selesai,” katanya.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar ketika ditemui di ruang kerjanya menilai, selama ini pemerintah masih cenderung menggunakan pendekatan hukum dalam menyelesaikan konflik tanah di Sumut. Itu sebabnya, sehingga sampai saat ini, kasus-kasus tanah di Sumut belum juga terselesaikan. Termasuk soal kasus tanah eks HGU PTPN-II dan kasus tanah Kelurahan Sari Rejo. “Nah, kalau pemerintah tetap ngotot dengan pendekatan hukum, maka kedua kasus ini akan sulit diselesaikan,” katanya.

Karena itu, pendekatan politik memang menjadi pilihan yang perlu dipertimbangkan pemerintah bila ingin menuntaskan penyelesaian kasus kasus tanah di Sumut. Menurut Abyadi lagi, dalam pendekatan politik, maka yang perlu dipertimbangkan nanti adalah sepeti kondisi eksisting masyarakat.

Kasus tanah Sari Rejo misalnya, keberadaan lahan yang sudah menjadi kawasan pemukiman yang padat dan kompak yang dihuni puluhan ribu masyarakat, harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Begitu juga dalam menyelesaikan lahan eks HGU PTPN, kondisi masyarakat yang telah puluhan tahun menguasai lahan, harus jadi pertimbangan penting. “Ini tidak boleh diabaikan bila pemerintah memang ingin menyelesaikan konflik tanah dalam mewujudkan program reformasi agraria yang mementingkan masyarakat,” katanya.

Dalam penyelesaian konflik tanah dengan pendekatan politik, sambung dia, maka semua stakholder dipertemukan. Soal lahan eks HGU PTPN misalnya, dihadirkan Menteri BUMN, Menkeu dan pemerintah daerah. Begitu juga dalam kasus tanah Sari Rejo, hadirkan pihak Kementerian Pertahanan, Menkeu, dan pemerintah daerah. “Nah, semua pihak harus memiliki political will untuk menyelesaikan konflik tanah. Bila ini dilakukan, maka kasus ini akan selesai,” pungkasnya. (prn/ila)

PERTEMUAN:Rombongan Komisi II DPR RI melakukan pertemuan  dengan pimpinan BPN se Sumut, bersama Komisioner Ombudsman RI dan Ombudsman Sumut dalam rangka kunjungan kerja. ke Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam. Dalam pertemuan tersebut membahas persoalan tanah di Sumut.
PERTEMUAN:Rombongan Komisi II DPR RI melakukan pertemuan dengan pimpinan BPN se Sumut, bersama Komisioner Ombudsman RI dan Ombudsman Sumut dalam rangka kunjungan kerja. ke Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam. Dalam pertemuan tersebut membahas persoalan tanah di Sumut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala menyarankan, agar dalam menyelesaikan konflik-konflik pertanahan terutama di Sumatera Utara, pemerintah jangan hanya melakukan pendekatan hukum. Tapi, dalam situasi tertentu, pemerintah harus menggunakan pendekatan politik.

“Kalau penyelesaian konflik tanah seperti di Sumut ini dilakukan dengan pendekatan hukum, maka tidak akan pernah selesai. Karena akan banyak persoalan yang muncul. Bahkan akan timbul persoalan baru,” kata Adrianus dalam pertemuan Komisi II DPR RI dengan jajarann

Badan Pertanahan Nasional (BPN) se Sumut, di Kantor BPN Sumut, Jl. Brigjend Katamso Medan, Rabu (18/12) malam.

Menurut dia, menuntaskan konflik tanah dengan cara politik akan lebih solutif dan lebih membuka jalan untuk proses penyelesaian dibanding pendekatan hukum. Sebab semua stakeholder memberi persetujuan untuk menuntaskan konflik tanah tersebut.

“Jadi menurut saya win-win solution untuk menuntaskan konflik tanah ini lebih baik menggunakan pendekatan politik daripada pendekatan hukum. Karena kalau menggunakan pendekatan hukum, masing-masing pihak akan mengklaim sebagai pihak yang benar.

Pemerintah misalnya, akan mengatakan masyarakat telah melanggar aturan perundang- undangan. Tapi di sisi lain, masyarakat juga akan bertahan dengan berbagai macam alasan yang mereka anggap benar. Kalau sudah begini, maka tidak akan ada penyelesaian,” ungkapnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan itu, Kakanwil BPN Sumut Bambang Priono mengaku, bahwa Sumut adalah salah satu daerah yang kasus tanahnya cukup banyak. Namun menurutnya, ada dua kasus tanah di Sumut yang kalau bisa diselesaikan, berarti 80 persen kasus tanah di Sumut berarti dianggap sudah selesai.

Keduanya adalah kasus tanah eks HGU PTPN-II dan kasus tanah antara ribuan masyarakat dengan TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia. “Bila dua kasus ini bisa diselesaikan, maka 80 persen kasus tanah di Sumut dapat dianggap selesai,” katanya.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar ketika ditemui di ruang kerjanya menilai, selama ini pemerintah masih cenderung menggunakan pendekatan hukum dalam menyelesaikan konflik tanah di Sumut. Itu sebabnya, sehingga sampai saat ini, kasus-kasus tanah di Sumut belum juga terselesaikan. Termasuk soal kasus tanah eks HGU PTPN-II dan kasus tanah Kelurahan Sari Rejo. “Nah, kalau pemerintah tetap ngotot dengan pendekatan hukum, maka kedua kasus ini akan sulit diselesaikan,” katanya.

Karena itu, pendekatan politik memang menjadi pilihan yang perlu dipertimbangkan pemerintah bila ingin menuntaskan penyelesaian kasus kasus tanah di Sumut. Menurut Abyadi lagi, dalam pendekatan politik, maka yang perlu dipertimbangkan nanti adalah sepeti kondisi eksisting masyarakat.

Kasus tanah Sari Rejo misalnya, keberadaan lahan yang sudah menjadi kawasan pemukiman yang padat dan kompak yang dihuni puluhan ribu masyarakat, harus menjadi pertimbangan yang sangat penting. Begitu juga dalam menyelesaikan lahan eks HGU PTPN, kondisi masyarakat yang telah puluhan tahun menguasai lahan, harus jadi pertimbangan penting. “Ini tidak boleh diabaikan bila pemerintah memang ingin menyelesaikan konflik tanah dalam mewujudkan program reformasi agraria yang mementingkan masyarakat,” katanya.

Dalam penyelesaian konflik tanah dengan pendekatan politik, sambung dia, maka semua stakholder dipertemukan. Soal lahan eks HGU PTPN misalnya, dihadirkan Menteri BUMN, Menkeu dan pemerintah daerah. Begitu juga dalam kasus tanah Sari Rejo, hadirkan pihak Kementerian Pertahanan, Menkeu, dan pemerintah daerah. “Nah, semua pihak harus memiliki political will untuk menyelesaikan konflik tanah. Bila ini dilakukan, maka kasus ini akan selesai,” pungkasnya. (prn/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru