25 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Saksi Ahli Bela Azzam

MEDAN- Guru Besar Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Tan Kamelo mengatakan persidangan atas Dirut PDAM Tirtanadi Azzam Rizal di Pengadilan Tipikor Medan merupakan persidangan salah ‘kamar’.

Seharusnya, perkara penagihan rekening air 2011 dan pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi bukan masuk ranah korupsi melainkan dapat diselesaikan secara korporasi melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

“Kalau RUPS menyatakan Dirut PDAM bersalah, maka dia harus membayar kerugian. Kalau dia menyalahi sebagai administrastor, maka dia harus dipecat oleh pemegang saham. Kalau dia membayar kerugian, harus masuk ranah perdata. Jangan diacak hukum pidana dengan perdata. Inilah dia selalu mengkriminalisasi perbuatan bisnis perdata menjadi pidana. Kalau begini hancurlah negara hukum ini. Dan fakultas hukum pun harusnya ditutup,” ujar Tan Kamelo saat dihadirkan menjadi saksi ahli meringankan terdakwa Azzam Rizal, Senin (20/1) di Pengadilan Tipikor Medan.

Menurut Tan Kamelo, kasus yang menjerat Azzam Rizal merupakan masalah kontrak antara PDAM Tirtanadi dengan Koperasi Karyawan yang dibawa ke ranah pidana korupsi. Seharusnya persidangan itu diuji terlebih dahulu dalam hukum perdata dalam hal ini hukum adminitrasi atau wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kontrak korporasi tersebut dengan pihak ketiga.

“Kalau suatu kontrak yang bermasalah itu bukan perbuatan melawan hukum akan tetapi wanprestasi. Dia bisa membuat kewenangan peraturan yang menunjuk. Dari wanprestasinya bila perjanjian itu terjadi kerugian, maka harus dibayar uang penganti kerugian. Padahal kasus ini harus diselesaikan secara korporasi. Apabila ada pinjam meminjam, pertanggungjawabannya itu adalah secara pribadi, bukan sebagai direktur atau direksinya. Tapi harus menjadi tanggungjawab pribadi oknum nya,” jelas Tan Kamelo.

Prof Tan Kamelo menjelaskan, dalam ajaran ilmu hukum keperdataan, Direksi memiliki hak kewenagan perjanjian-perjanjian dalam badan hukum perusahaan daerah. Perjanjian kerjasama merupakan satu asas yang dibenarkan, yang disepakti dengan kedua belah pihak. Perusahaan Daerah (PD), lanjutnya bisa membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak ketiga dan dibenarkan oleh hukum.

“Sepanjang ketentuan itu baik dan bisa membuat kontrak dengan siapapun. Apabila pihak tidak memenuhi, kalau suatu kontrak yang bermasalah itu bukan perbuatan melawan hukum akan tetapi wanprestasi. Terkait dengan perjanjian dengan Azzam selaku Direksi PDAM dan Koperasi, kalau ada PD melakukan kontrak melakukan dengan pihak lain. Harus diuji pelanggaran hukum dalam kontrak tersebut,” tegasnya.

Mengenai dakwaan jaksa yang menyatakan kasus Azzam Rizal merupakan dugaan korupsi yakni memperkaya diri sendiri yang telah meyalahi perda dengan membuat kontrak perjanjian dengan pihak koperasi, Tan Kamelo kembali menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat bukan berdasarkan perda hal itu sah sepanjang perbuatan Direksi dan masih ada pengawasan SK Gubernur yang belum dicabut.

“Perda yang di dalam dakwan JPU, perbuatan Direksi, perjanjian yang dibuat Direksi di luar ketentuan perda itu sah, sepanjang pengawasan SK Gubernur belum dicabut. Bila terjadi kerugian dalam kontrak tersebut, dan terjadi wanprestasi maka hal itu diuji dalam hukum perdata, bila ada putusan hakim, maka wajib membayar uang pengganti atas kerugian itu,” jelasnya lagi.

Majelis hakim yang dipimpin Joner Manik pun mempertanyakan bahwa dalam kontrak tersebut, JPU mendakwa Azzam Rizal telah merugikan keuangan negara.

Mengenai itu, Tan Kamelo menjawab bahwa dalam kasus ini harus terlebih dahulu melihat kapasitas kontrak. Lanjutnya, kontrak yang terjadi merupakan kapasitas berdasarkan koperasi. Tan Kamelo dengan tegas menyatakan hal itu harus diselesaikan dahulu hukum adminitrasi. Bila diputuskan harus membayar kerugian maka diwajibkan mengganti kerugian korporasi tersebut.

“Masalah ini secara jelas adalah masalah korporasi maka ini masuk dalam hukum korporasi dan dipertanggungjawabkan dalam korporasi yakni hukum perdata dengan membayar ganti kerugian. Sedang dugaan untuk memperkaya diri sendiri seperti dalam dakwaan JPU hal itu masih dalam lingkup korporasi maka hukum adminitrasi korporasi terduga harus mengganti dan dapat dikeluarkan dari direksi,” katanya.

Prof Tan Kamelo dalam kesaksiannya juga menyesalkan pihak berwenang dalam menangani perkara korporasi diminta untuk tidak selalu mengkaitkan kerugian dalam korporasi dengan kerugian negara.

“Masalah kontrak jangan dikriminalisasi dengan perkara lain dalam hukum. Perbuatan itu harus diuji berdasarkan hukum materinya, bila hukum perdata harus diuji pada sidang perdata, bila pidana harus pada sidang pidana,” ungkapnya.

Diketahui, JPU menjerat terdakwa Azzam Rizal dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Jaksa menyatakan Azzam Rizal telah melakukan korupsi dana penagihan rekening air tahun 2011 dan pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi. Perbuatan itu dilakukannya untuk memperkaya diri sendiri sebesar Rp5.004.637.000, dari kerugian negara senilai Rp5.277.714.368. Atau setidak-tidaknya memperkaya orang lain. (far/ije)

MEDAN- Guru Besar Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Tan Kamelo mengatakan persidangan atas Dirut PDAM Tirtanadi Azzam Rizal di Pengadilan Tipikor Medan merupakan persidangan salah ‘kamar’.

Seharusnya, perkara penagihan rekening air 2011 dan pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi bukan masuk ranah korupsi melainkan dapat diselesaikan secara korporasi melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

“Kalau RUPS menyatakan Dirut PDAM bersalah, maka dia harus membayar kerugian. Kalau dia menyalahi sebagai administrastor, maka dia harus dipecat oleh pemegang saham. Kalau dia membayar kerugian, harus masuk ranah perdata. Jangan diacak hukum pidana dengan perdata. Inilah dia selalu mengkriminalisasi perbuatan bisnis perdata menjadi pidana. Kalau begini hancurlah negara hukum ini. Dan fakultas hukum pun harusnya ditutup,” ujar Tan Kamelo saat dihadirkan menjadi saksi ahli meringankan terdakwa Azzam Rizal, Senin (20/1) di Pengadilan Tipikor Medan.

Menurut Tan Kamelo, kasus yang menjerat Azzam Rizal merupakan masalah kontrak antara PDAM Tirtanadi dengan Koperasi Karyawan yang dibawa ke ranah pidana korupsi. Seharusnya persidangan itu diuji terlebih dahulu dalam hukum perdata dalam hal ini hukum adminitrasi atau wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kontrak korporasi tersebut dengan pihak ketiga.

“Kalau suatu kontrak yang bermasalah itu bukan perbuatan melawan hukum akan tetapi wanprestasi. Dia bisa membuat kewenangan peraturan yang menunjuk. Dari wanprestasinya bila perjanjian itu terjadi kerugian, maka harus dibayar uang penganti kerugian. Padahal kasus ini harus diselesaikan secara korporasi. Apabila ada pinjam meminjam, pertanggungjawabannya itu adalah secara pribadi, bukan sebagai direktur atau direksinya. Tapi harus menjadi tanggungjawab pribadi oknum nya,” jelas Tan Kamelo.

Prof Tan Kamelo menjelaskan, dalam ajaran ilmu hukum keperdataan, Direksi memiliki hak kewenagan perjanjian-perjanjian dalam badan hukum perusahaan daerah. Perjanjian kerjasama merupakan satu asas yang dibenarkan, yang disepakti dengan kedua belah pihak. Perusahaan Daerah (PD), lanjutnya bisa membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak ketiga dan dibenarkan oleh hukum.

“Sepanjang ketentuan itu baik dan bisa membuat kontrak dengan siapapun. Apabila pihak tidak memenuhi, kalau suatu kontrak yang bermasalah itu bukan perbuatan melawan hukum akan tetapi wanprestasi. Terkait dengan perjanjian dengan Azzam selaku Direksi PDAM dan Koperasi, kalau ada PD melakukan kontrak melakukan dengan pihak lain. Harus diuji pelanggaran hukum dalam kontrak tersebut,” tegasnya.

Mengenai dakwaan jaksa yang menyatakan kasus Azzam Rizal merupakan dugaan korupsi yakni memperkaya diri sendiri yang telah meyalahi perda dengan membuat kontrak perjanjian dengan pihak koperasi, Tan Kamelo kembali menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat bukan berdasarkan perda hal itu sah sepanjang perbuatan Direksi dan masih ada pengawasan SK Gubernur yang belum dicabut.

“Perda yang di dalam dakwan JPU, perbuatan Direksi, perjanjian yang dibuat Direksi di luar ketentuan perda itu sah, sepanjang pengawasan SK Gubernur belum dicabut. Bila terjadi kerugian dalam kontrak tersebut, dan terjadi wanprestasi maka hal itu diuji dalam hukum perdata, bila ada putusan hakim, maka wajib membayar uang pengganti atas kerugian itu,” jelasnya lagi.

Majelis hakim yang dipimpin Joner Manik pun mempertanyakan bahwa dalam kontrak tersebut, JPU mendakwa Azzam Rizal telah merugikan keuangan negara.

Mengenai itu, Tan Kamelo menjawab bahwa dalam kasus ini harus terlebih dahulu melihat kapasitas kontrak. Lanjutnya, kontrak yang terjadi merupakan kapasitas berdasarkan koperasi. Tan Kamelo dengan tegas menyatakan hal itu harus diselesaikan dahulu hukum adminitrasi. Bila diputuskan harus membayar kerugian maka diwajibkan mengganti kerugian korporasi tersebut.

“Masalah ini secara jelas adalah masalah korporasi maka ini masuk dalam hukum korporasi dan dipertanggungjawabkan dalam korporasi yakni hukum perdata dengan membayar ganti kerugian. Sedang dugaan untuk memperkaya diri sendiri seperti dalam dakwaan JPU hal itu masih dalam lingkup korporasi maka hukum adminitrasi korporasi terduga harus mengganti dan dapat dikeluarkan dari direksi,” katanya.

Prof Tan Kamelo dalam kesaksiannya juga menyesalkan pihak berwenang dalam menangani perkara korporasi diminta untuk tidak selalu mengkaitkan kerugian dalam korporasi dengan kerugian negara.

“Masalah kontrak jangan dikriminalisasi dengan perkara lain dalam hukum. Perbuatan itu harus diuji berdasarkan hukum materinya, bila hukum perdata harus diuji pada sidang perdata, bila pidana harus pada sidang pidana,” ungkapnya.

Diketahui, JPU menjerat terdakwa Azzam Rizal dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Jaksa menyatakan Azzam Rizal telah melakukan korupsi dana penagihan rekening air tahun 2011 dan pengeluaran kas koperasi karyawan di PDAM Tirtanadi. Perbuatan itu dilakukannya untuk memperkaya diri sendiri sebesar Rp5.004.637.000, dari kerugian negara senilai Rp5.277.714.368. Atau setidak-tidaknya memperkaya orang lain. (far/ije)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/