MEDAN, SUMUTPOS.CO – Himpitan ekonomi seringkali dijadikan alasan orangtua memaksa anak-anak, khususnya berusia di bawah 18 tahun untuk ikut mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Mulai dari bekerja serabutan hingga berjualan. Jika itu terjadi, maka orangtua bisa dipidana atau diproses hukum.
Ini tercantum dalam Perda Kota Medan Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Korban Perdagangan Orang. Perda ini pun disosialisasikan Anggota DPRD Medan Irsal Fikri kepada ratusan warga yang didominasi ibu-ibu, di Jalan Warna/Brigjen Katamso, Kelurahan Sukaraja, Medan Maimun, kemarin (19/3).
“Orangtua yang memaksa anaknya di bawah usia 18 tahun untuk bekerja atau berjualan demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga, sudah termasuk kategori perdagangan orang. Makanya, orangtua jangan menyuruh anaknya melakukan hal itu karena sudah termasuk eksploitasi anak,” ungkapnya.
Menurut Irsal, orangtua yang memaksa anak-anaknya mencari uang berarti sudah mengambil keuntungan dari hasil menjual tenaga kerja anak itu sendiri. Sebab seyogyanya anak-anakn
haknya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar. Sedangkan mencari nafkah atau uang adalah tugas dari orangtua.
“Anak-anak itu merupakan tanggung jawab orangtuanya, jangan dipaksa mereka mencari nafkah dengan bekerja atau berjualan. Orangtua lah yang harus bertanggung jawab untuk memenuhi segala kebutuhan si anak. Bukan sebaliknya, dan pemahaman seperti ini yang benar-benar harus dipahami orangtua,” tegas anggota dewan dari Komisi B DPRD Medan ini.
Diutarakan Irsal, keluarga adalah benteng terkuat dari segala bentuk kerusakan moral yang ada di lingkungan sekitar. Kepedulian satu sama lain di dalam sebuah keluarga, mampu mencegah anggota keluarga menjadi korban perdagangan orang.
Medan, lanjutnya, salah satu pintu masuk perdagangan orang dari berbagai daerah. Seperti Kota Tanjung Balai dan Provinsi Aceh, dianggap sebagai wilayah paling banyak menyuplai tenaga kerja informal untuk dikirim ke luar negeri.
Bukan cuma itu, sejumlah kabupaten/kota di Sumut tak lepas dari target para agen perdagangan orang. Makanya, DPRD dan Pemko Medan saling bekerja sama untuk merancang dan membuat Perda Nomor 3 Tahun 2017 ini, dengan tujuan melindungi masyarakatnya dari praktik perdagangan orang.
Kata dia, perempuan cenderung menjadi korban perdagangan orang. Alasannya, karena perempuan mudah dibujuk dengan iming-iming pendapatan besar yang bisa merubah kehidupan keluarganya.
“Kondisi ekonomi kita memang sekarang sedang sulit. Banyak masyarakat yang gelap mata karena desakan ekonomi, apalagi sulit mencari pekerjaan. Makanya, demi memenuhi kebutuhan hidup rela menjadi tenaga kerja hingga keluar negeri. Atau, bahkan nekat menghalalkan segala cara seperti memperdagangkan orang. Ingat, apabila terbukti maka tidak tanggung-tanggung, hukumannya di atas 3 tahun penjara,” bebernya.
Irsal mengimbau, kalau ada ajakan dan bujukan dari orang-orang yang katanya mampu mempekerjakan anak atau keluarga keluar negeri, tolong dilihat Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Dikroscek terlebih dahulu perusahaannya apakah jelas atau tidak? Jangan sampai menjadi korban perdagangan orang.
“Kalau kejadiannya di Medan mungkin masih bisa dicari, tapi kalau sempat sudah dikirim keluar negeri bagaimana? Sudah banyak PJTKI yang bodong dan bahkan izin perusahaannya sudah habis masa berlaku. Adakah jaminan hidup dan pekerjaan yang layak di luar negeri,” kata dia.
Ia menambahkan, Perda Nomor 3/2017 ini dibuat semata-mata bertujuan untuk mencegah sejak dini. Oleh karenanya, sosialisasi perda ini menjadi penting dari sebuah benteng orangtua terhadap anak-anaknya agar tidak mudah percaya terhadap orang-orang yang memberikan iming-iming pekerjaan dengan gaji besar atau bekerja di luar negeri.
“Trafficking bisa dicegah apabila orangtua sangat mengetahui kondisi aktivitas anaknya. Kita enggak tahu anak zaman milineal, tahu-tahu tidak pulang tiga hari ternyata sudah dijual orang untuk dipekerjakan,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Perda Kota Medan 3/2017 merupakan amanah Undang Undang 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pemerintah daerah diwajibkan membuat kebijakan program, kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan penanganan masalah perdagangan orang.
Perda yang terdiri dari 26 bab dan 22 pasal itu mengatur upaya pencegahan, pembinaan, pengawasan, hak dan kewajiban masyarakat, serta sanksi administratif hingga ketentuan pidana.
Contoh, pasal 21 mengatur setiap orang dengan korporasi yang melakukan dan turut melakukan, membantu melakukan, mencoba melakukan dan/atau mempermudah terjadinya perdagangan orang dikenakan sanksi pidana yang mengacu kepada Undang Undang 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Sementara, Psikolog Irna Minauli mengatakan, kasus tindak pidana perdagangan orang khususnya prostitusi di kalangan pelajar menjadi tolak ukur bentuk kenakalan remaja yang meningkat. “Kenakalan remaja kalau dulu paling mencuri, berkelahi. Tapi sekarang sudah pada tahap memanipulasi temannya untuk kepentingan diri sendiri. Sifat ini tidak disertai empati, mereka mencari keuntungan untuk diri sendiri,” ujarnya.
Kata Irna, para pelaku yang sesama remaja biasanya merekrut korban yang tidak terlalu berprestasi di kelas, tidak menikmati pelajaran, lebih suka dengan kegiatan yang memberikan kesenangan, bergaya hidup hedonis dan sangat memerhatikan penampilan. Siswa dengan kriteria tersebut lebih berpotensi untuk ditarik menjadi korban perdagangan manusia yang bersifat prostitusi.
“Mereka pasti rela menjual diri untuk mendapatkan tambahan uang saku yang besar. Orangtua harus lebih waspada ketika anaknya mempunyai barang-barang yang nilainya tidak sesuai dengan uang jajan yang diberikan,” tuturnya.
Untuk itu, sambung dia, orangtua harus mendidik anak agar menerima hidup apa adanya. Orangtua tidak boleh membiarkan anak hidup berlebihan dan mengajarkan agar bisa menerima keadaan. Terlebih, memaksa anak untuk bekerja juga tidak dibenarkan. Sebab diusia mereka masa-masanya bermain dan belajar. (ris/ila)