26 C
Medan
Saturday, March 22, 2025

APDHI: Jangan Sampai RUU KUHAP Berikan Kewenangan Dominan kepada Satu Lembaga

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Wilayah Sumatera menggelar Seminar Nasional ke-8 di Hotel Sultan Medan, Kamis (20/3) sore. Pembahasan seminar ini terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang direncanakan mulai berlaku pada 2026.

Ketua APDHI Wilayah Sumatera, Prof Dr Yasmirah Mandasari Saragih SH MH menyampaikan, bahwa seminar ini menghadirkan berbagai akademisi dan praktisi hukum terkemuka guna memberikan masukan konstruktif terhadap RUU KUHAP yang merupakan inisiatif DPR.

“Kami menghadirkan keynote speaker, Prof Dr Marzuki, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara yang memahami hierarki perundang-undangan. Selain itu, ada juga narasumber spektakuler lainnya, seperti Prof Kusbianto dari Universitas Bermuangsa, pakar hukum pidana, Dr Mirza dari Universitas Sumatera Utara (USU), pakar Hukum Tata Negara, serta Dr Pancasarjana Putra dari UISU, yang sering menjadi ahli pidana dalam kepolisian dan persidangan,” ujar Prof Yasmirah.

Seminar dengan tema ‘Dinamika RKUHAP: Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana yang Transparan dan Akuntable’ ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi antara akademisi dan praktisi hukum dalam memberikan rekomendasi bagi sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan berkeadilan bagi masyarakat.

“RUU KUHAP ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang selama ini dirasakan masyarakat, seperti lambannya proses peradilan dan kekhawatiran terhadap ketidakadilan hukum. Dengan revisi ini, kita ingin mewujudkan hukum yang lebih manusiawi,” katanya didampingi Kepala Departemen Keterangan Ahli APDHI Wilayah Sumatera, Dr Alpi Sahari SH MHum dan Sekjen APDHI Sumatera, Dr Agusta Ridha Minin SH MH, kepada sejumlah wartawan, disela-sela acara.

Ia menambahkan, bahwa APDHI Wilayah Sumatera juga menegaskan komitmennya untuk terus mengawal perkembangan hukum di Indonesia melalui berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar dan webinar rutin setiap bulan.

“APDHI berharap rekomendasi yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembentukan RUU KUHAP yang lebih baik bagi masa depan sistem peradilan di Indonesia,” tukasnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Keterangan Ahli Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Wilayah Sumatera, Alpi Sahari SH MHum menyoroti permasalahan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah dibahas di DPR.

Ia menegaskan, RKUHAP membawa kembali prinsip dominus litis, yang berpotensi menciptakan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya, prinsip ini memberikan kewenangan dominan kepada satu lembaga dalam proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.

“Sistem peradilan pidana kita selama ini sudah berjalan dengan prinsip sinergitas dan check and balance antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Namun, dengan munculnya kembali prinsip dominus litis dalam RKUHAP ini, ada potensi terjadi benturan kepentingan dan kekuasaan antar lembaga penegak hukum,” ujar Alpi.

Ia juga menyoroti, bahwa RKUHAP dalam bentuknya yang sekarang dapat menghidupkan kembali konsep hukum kolonial Belanda, HRRBG (Het Reglement op de Rechtsvordering van de Residentie Batavia en de Omgelegen Districten), yang cenderung mengkotak-kotakkan kewenangan lembaga penegak hukum.

“Jika kita kembali ke prinsip hukum peninggalan Belanda ini, maka ada risiko satu lembaga mendominasi proses hukum, yang justru akan menghambat efektivitas dan ketertiban hukum di Indonesia,” tambahnya.

Dr Alpi menekankan, bahwa DPR seharusnya lebih fokus pada penguatan perlindungan bagi saksi, korban, serta hak-hak tersangka dalam proses hukum. Ia menyoroti bahwa sistem peradilan pidana yang baik seharusnya tidak didasarkan pada dominasi satu lembaga terhadap lembaga lain, tetapi pada sinergi dan koordinasi yang optimal.

“Penegakan hukum harus dibangun atas dasar tertib hukum dan kolaborasi, bukan saling mendominasi. Jika konsep ini dipaksakan masuk ke dalam undang-undang, kita khawatir akan timbul konflik hukum di kemudian hari,” pungkasnya.

Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) berharap DPR dapat lebih cermat dalam membahas RKUHAP agar tidak mengulang kesalahan masa lalu, serta memastikan bahwa kepentingan masyarakat dan tertib hukum menjadi prioritas utama dalam pembentukan kebijakan hukum di Indonesia. (dwi/han)

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Wilayah Sumatera menggelar Seminar Nasional ke-8 di Hotel Sultan Medan, Kamis (20/3) sore. Pembahasan seminar ini terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang direncanakan mulai berlaku pada 2026.

Ketua APDHI Wilayah Sumatera, Prof Dr Yasmirah Mandasari Saragih SH MH menyampaikan, bahwa seminar ini menghadirkan berbagai akademisi dan praktisi hukum terkemuka guna memberikan masukan konstruktif terhadap RUU KUHAP yang merupakan inisiatif DPR.

“Kami menghadirkan keynote speaker, Prof Dr Marzuki, seorang Guru Besar Hukum Tata Negara yang memahami hierarki perundang-undangan. Selain itu, ada juga narasumber spektakuler lainnya, seperti Prof Kusbianto dari Universitas Bermuangsa, pakar hukum pidana, Dr Mirza dari Universitas Sumatera Utara (USU), pakar Hukum Tata Negara, serta Dr Pancasarjana Putra dari UISU, yang sering menjadi ahli pidana dalam kepolisian dan persidangan,” ujar Prof Yasmirah.

Seminar dengan tema ‘Dinamika RKUHAP: Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana yang Transparan dan Akuntable’ ini bertujuan untuk memperkuat kolaborasi antara akademisi dan praktisi hukum dalam memberikan rekomendasi bagi sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan berkeadilan bagi masyarakat.

“RUU KUHAP ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang selama ini dirasakan masyarakat, seperti lambannya proses peradilan dan kekhawatiran terhadap ketidakadilan hukum. Dengan revisi ini, kita ingin mewujudkan hukum yang lebih manusiawi,” katanya didampingi Kepala Departemen Keterangan Ahli APDHI Wilayah Sumatera, Dr Alpi Sahari SH MHum dan Sekjen APDHI Sumatera, Dr Agusta Ridha Minin SH MH, kepada sejumlah wartawan, disela-sela acara.

Ia menambahkan, bahwa APDHI Wilayah Sumatera juga menegaskan komitmennya untuk terus mengawal perkembangan hukum di Indonesia melalui berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar dan webinar rutin setiap bulan.

“APDHI berharap rekomendasi yang dihasilkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam pembentukan RUU KUHAP yang lebih baik bagi masa depan sistem peradilan di Indonesia,” tukasnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Keterangan Ahli Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) Wilayah Sumatera, Alpi Sahari SH MHum menyoroti permasalahan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang saat ini tengah dibahas di DPR.

Ia menegaskan, RKUHAP membawa kembali prinsip dominus litis, yang berpotensi menciptakan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana. Menurutnya, prinsip ini memberikan kewenangan dominan kepada satu lembaga dalam proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.

“Sistem peradilan pidana kita selama ini sudah berjalan dengan prinsip sinergitas dan check and balance antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum. Namun, dengan munculnya kembali prinsip dominus litis dalam RKUHAP ini, ada potensi terjadi benturan kepentingan dan kekuasaan antar lembaga penegak hukum,” ujar Alpi.

Ia juga menyoroti, bahwa RKUHAP dalam bentuknya yang sekarang dapat menghidupkan kembali konsep hukum kolonial Belanda, HRRBG (Het Reglement op de Rechtsvordering van de Residentie Batavia en de Omgelegen Districten), yang cenderung mengkotak-kotakkan kewenangan lembaga penegak hukum.

“Jika kita kembali ke prinsip hukum peninggalan Belanda ini, maka ada risiko satu lembaga mendominasi proses hukum, yang justru akan menghambat efektivitas dan ketertiban hukum di Indonesia,” tambahnya.

Dr Alpi menekankan, bahwa DPR seharusnya lebih fokus pada penguatan perlindungan bagi saksi, korban, serta hak-hak tersangka dalam proses hukum. Ia menyoroti bahwa sistem peradilan pidana yang baik seharusnya tidak didasarkan pada dominasi satu lembaga terhadap lembaga lain, tetapi pada sinergi dan koordinasi yang optimal.

“Penegakan hukum harus dibangun atas dasar tertib hukum dan kolaborasi, bukan saling mendominasi. Jika konsep ini dipaksakan masuk ke dalam undang-undang, kita khawatir akan timbul konflik hukum di kemudian hari,” pungkasnya.

Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) berharap DPR dapat lebih cermat dalam membahas RKUHAP agar tidak mengulang kesalahan masa lalu, serta memastikan bahwa kepentingan masyarakat dan tertib hukum menjadi prioritas utama dalam pembentukan kebijakan hukum di Indonesia. (dwi/han)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru