Hilmi Setiawan, Jakarta
RUANG senat akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, kemarin siang terlihat mencolok. Puluhan perempuan berkebaya merah muda memenuhi aula di lantai 2 itu. Kemeriahan tersebut merupakan persembahan kolega dan keluarga Arleni.
Perempuan kelahiran Jakarta, 27 Juni 1965, itu kemarin (20/4) dikukuhkan sebagai doktor di bidang ilmu biomedik. Untuk mendapatkan gelar akademik bergengsi tersebut, Arleni meneliti sistem baru terapi penyakit kanker payudara. Atas penelitiannya yang cemerlang tersebut, tim penguji yang dipimpin Dr R. Muharam Natadisastra SpOG (K) mengganjar nilai disertasi Arleni nyaris sempurna. Di akhir sidang promosi doktor itu, Arleni memperoleh IPK 3,95.
Ditemui seusai sidang, Arleni mengaku bersyukur atas selesainya penelitian itu. Namun, dia mengatakan, penelitian tersebut masih memerlukan pengembangan yang lebih dalam. Dengan begitu, efek terapi baru untuk membunuh sel kanker payudara makin efektif.
“Penelitian ini berjalan mulai 2012 dan selesai pada 2013,” katanya. Meski begitu, penelitian pendahuluan yang bersifat praeleminasi dijalankan beberapa tahun sebelumnya di laboratorium biologi dan sel punca kanker payudara FK UI.
Perempuan yang berdinas di Lab Terpadu FK UI itu menjelaskan, kanker payudara masih menjadi momok bagi perempuan di Indonesia. Catatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2010, kanker payudara menempati urutan pertama pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85 persen). Disusul kasus kanker leher rahim sebanyak 11,78 persen.
Arleni menceritakan, salah satu faktor yang berperan penting dalam proses pertumbuhan sel kanker payudara adalah hormon estrogen. Proses peningkatan konsentrasi dan lama paparan hormon estrogen di dalam tubuh dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Sekitar 75 persen penderita kanker payudara mengekspresikan estrogen reseptor positif. “Sehingga, secara rasional, diberikan terapi antiestrogen untuk terapi pengobatannya,” jelas dia.
Namun, terapi hormon antiestrogen untuk penderita kanker payudara itu ternyata menimbulkan masalah. Pada tahun pertama, terapi tersebut memang menghasilkan tanda-tanda positif. Yakni, terjadi penurunan sel kanker atau bahkan indikasi penyakitnya hilang sama sekali. “Tetapi, pada tahun keempat atau kelima, muncul lagi. Jadi, terjadi pertumbuhan kembali dan terjadi resistansi,” paparnya.