25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Publik pun Mulai Tak Peduli Siapa Wakilnya di DPRD

Publikasi Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPRD Sumut dan DPRD Kota Medan di media sejatinya ditujukan bagi masyarakat luas. Toh hingga sepekan menjelang batas akhir pelaporan belum satu pun tanggapan masuk ke bagian laporan DCS di Kantor KPUD Sumut dan KPUD Medan. Apakah ini pertanda publik tak lagi peduli pada Pemilu?

“SAMPAI hari ini belum ada tanggapan dari masyarakat, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan kepada kami,” aku Kabag Hukum, Teknis dan Humas, KPUD Sumut, Maruli Pasaribu, kepada Sumut Pos, kemarin.

Padahal kebijakan KPUD melansir nama-nama bacaleg di media massa dianggap salah satu bentuk uji publik yang efektif untuk membuka jejak rekam mereka sebelum ditetapkan sebagai calon legislatif (caleg). Sejujurnya, menurut Maruli, KPUD amat berharap masyarakat mengirimkan laporan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada KPUD Sumut dan kabupaten/kota.

Laporan itu berupa masalah yang berkaitan dengan syarat pencalonan, seperti apakah si bacaleg itu pernah dipidana, terdaftar di parpol lain, tersandung ijazah palsu, atau lainnya.

“Bisa saja bacaleg-nya pernah dihukum di daerah lain atau tak terpantau oleh KPUD. Tapi laporannya pun harus disertai identitas jelas pelapor. Jadi jauh dari kesan isu, gosip, atau surat kaleng,” dia menegaskan.

Keluhan senada juga disampaikan anggota KPUD Medan Rahmat Kartolo Simanjuntak. Dia terlihat menyesali apatisme publik terhadap calon-calon wakil rakyat Kota Medan yang akan bertarung di Pemilu April tahun depan. “Sampai sekarang tak ada laporan masuk,” cetusnya.

Soal apatisme publik ini, pengamat politik dari FISIP USU, Dadang Darmawan, berpendapat ketiadaan respons atas pengumuman DCS di media massa merupakan potret atas realitas politik di masyarakat.

“Ya masyarakat kita sudah cuek, masa bodoh dengan momen politik. Mereka tak peduli dengan DCS. Jadi wajar saja KPUD seperti ‘menunggu godot’ bila terus berharap respons publik,” katanya.

Dadang berpendapat publik pemilih sepertinya mulai tak kehilangan gairah menyambut momentum politik, seperti Pemilu, Pilpres, atau Pilkada yang jaraknya hampir berdekatan satu sama lain. Jika pada momen hari H-nya saja banyak pemilih yang tak mencoblos alias golput, apalagi proses tahapan yang berjalan sebelumnya.

‘’Pelajaran berharga yang dipetik dari apatisme itu adalah sistem Pemilu di Indonesia belum membuka peluang menyejahterakan masyarakat. Ironisnya lagi wakil-wakil rakyat itu pula yang mengkriminalisasi rakyat, memperkaya diri sendiri dengan teknik korupsi yang semakin hari semakin canggih,’’ katanya.

Dadang melihat sistem Pemilu yang dijalankan belum juga bisa menjaring wakil-wakil rakyat yang betul-betul punya misi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, sistem penjaringan di intenal saja sudah dimulai dari kekuatan finansial bacaleg. “Rumor yang berembus di masyarakat, mau nyaleg itu harus menyiapkan modal minimal Rp200 juta. Itu belum biaya sosialisasi dan kampanye. Kalau tak punya duit, dari mana Anda bisa jadi caleg?’’ tukasnya.

Soal minimnya respons terhadap DCS, Dadang menyatakan, kalau pun ada di antara barisan nama bacaleg itu ada yang bermasalah belum tentu ada yang berniat melaporkan kepada KPUD.

‘’Paling-paling kalau ada yang tahu perilaku atau jejak rekam buruk si bacaleg ya, tak mereka pilih saat Pemilu. Itu pun kalau milih. Kalau tak milih, artinya semua tahapan Pemilu itu sia-sia saja kan?’’ katanya. (mag-5)

Publikasi Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPRD Sumut dan DPRD Kota Medan di media sejatinya ditujukan bagi masyarakat luas. Toh hingga sepekan menjelang batas akhir pelaporan belum satu pun tanggapan masuk ke bagian laporan DCS di Kantor KPUD Sumut dan KPUD Medan. Apakah ini pertanda publik tak lagi peduli pada Pemilu?

“SAMPAI hari ini belum ada tanggapan dari masyarakat, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan kepada kami,” aku Kabag Hukum, Teknis dan Humas, KPUD Sumut, Maruli Pasaribu, kepada Sumut Pos, kemarin.

Padahal kebijakan KPUD melansir nama-nama bacaleg di media massa dianggap salah satu bentuk uji publik yang efektif untuk membuka jejak rekam mereka sebelum ditetapkan sebagai calon legislatif (caleg). Sejujurnya, menurut Maruli, KPUD amat berharap masyarakat mengirimkan laporan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada KPUD Sumut dan kabupaten/kota.

Laporan itu berupa masalah yang berkaitan dengan syarat pencalonan, seperti apakah si bacaleg itu pernah dipidana, terdaftar di parpol lain, tersandung ijazah palsu, atau lainnya.

“Bisa saja bacaleg-nya pernah dihukum di daerah lain atau tak terpantau oleh KPUD. Tapi laporannya pun harus disertai identitas jelas pelapor. Jadi jauh dari kesan isu, gosip, atau surat kaleng,” dia menegaskan.

Keluhan senada juga disampaikan anggota KPUD Medan Rahmat Kartolo Simanjuntak. Dia terlihat menyesali apatisme publik terhadap calon-calon wakil rakyat Kota Medan yang akan bertarung di Pemilu April tahun depan. “Sampai sekarang tak ada laporan masuk,” cetusnya.

Soal apatisme publik ini, pengamat politik dari FISIP USU, Dadang Darmawan, berpendapat ketiadaan respons atas pengumuman DCS di media massa merupakan potret atas realitas politik di masyarakat.

“Ya masyarakat kita sudah cuek, masa bodoh dengan momen politik. Mereka tak peduli dengan DCS. Jadi wajar saja KPUD seperti ‘menunggu godot’ bila terus berharap respons publik,” katanya.

Dadang berpendapat publik pemilih sepertinya mulai tak kehilangan gairah menyambut momentum politik, seperti Pemilu, Pilpres, atau Pilkada yang jaraknya hampir berdekatan satu sama lain. Jika pada momen hari H-nya saja banyak pemilih yang tak mencoblos alias golput, apalagi proses tahapan yang berjalan sebelumnya.

‘’Pelajaran berharga yang dipetik dari apatisme itu adalah sistem Pemilu di Indonesia belum membuka peluang menyejahterakan masyarakat. Ironisnya lagi wakil-wakil rakyat itu pula yang mengkriminalisasi rakyat, memperkaya diri sendiri dengan teknik korupsi yang semakin hari semakin canggih,’’ katanya.

Dadang melihat sistem Pemilu yang dijalankan belum juga bisa menjaring wakil-wakil rakyat yang betul-betul punya misi memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, sistem penjaringan di intenal saja sudah dimulai dari kekuatan finansial bacaleg. “Rumor yang berembus di masyarakat, mau nyaleg itu harus menyiapkan modal minimal Rp200 juta. Itu belum biaya sosialisasi dan kampanye. Kalau tak punya duit, dari mana Anda bisa jadi caleg?’’ tukasnya.

Soal minimnya respons terhadap DCS, Dadang menyatakan, kalau pun ada di antara barisan nama bacaleg itu ada yang bermasalah belum tentu ada yang berniat melaporkan kepada KPUD.

‘’Paling-paling kalau ada yang tahu perilaku atau jejak rekam buruk si bacaleg ya, tak mereka pilih saat Pemilu. Itu pun kalau milih. Kalau tak milih, artinya semua tahapan Pemilu itu sia-sia saja kan?’’ katanya. (mag-5)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/