26.7 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Sidang Rahudman, Hakim dan Jaksa Bersitegang

MEDAN-Hakim Sugianto dan Jaksa Marcos Simaremare bersitegang saat sidang lanjutan Rahudman Harahap. Pada sidang perkara dugaan korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan (Tapsel) Tahun 2005 itu, kedua ‘pendekar’ hukum tersebut saling menuding.

Sugianto yang merupakan hakim ketua menuding Jaksa Marcos Simaremare sok pintar saat bertanya pada saksi. Jaksa tak mau kalah, dia secara terbuka membantah tudingan sang hakim.

“Anda sok pintar ya,” kata Sugianto kepada Marcos dalam sidang yang digelar di ruang utama Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (20/6)n
Sugianto bukan tanpa alasan. Menurut Sugianto, Marcos terlalu bertele-tele dan mengulang-ulang pertanyaan yang sama.

Mendengar perkataan Hakim Sugianto, dengan suara lantang Marcos memprotes ucapan Sugianto yang menudingnya sok pintar. Suaranya membahana di hadapan ratusan penonton sidang. “Saya keberatan dengan pernyataan Ketua Majelis itu. Saya bukan sok pintar,” tegasnya.
Marcos beralasan pengulangan itu karena saksi tidak paham dengan yang dia tanyakan. “Saya hanya meluruskan adanya dua surat permintaan yang diajukan kepada bupati,” tegas Jaksa Marcos lagi.

Ketegangan tersebut berawal ketika Marcos mengingatkan saksi Ali Sutan Siregar selaku mantan Kasubbag Anggaran Bagian Keuangan Setda Tapsel, agar memberikan keterangan mengenai fakta yang diketahuinya saja. Sebab, Marcos menilai, keterangan saksi seolah-olah hanya opini. Dimana saksi menyebutkan penerbitan Surat Ketetapan Otorisasi (SKO) dan pencairan dana TPAPD tahun 2005 atas inisiatif bupati sendiri.

“Saudara saksi, tolong Anda berikan keterangan mengenai apa yang Anda alami. Kalau Anda tidak tahu, Anda bilang saja tidak tahu. Jangan Anda jawab yang lain, biar tidak ada multitafsir. Tadi Saudara saksi mengatakan bahwa tanpa adanya usulan, uang bisa cair. Tapi di Permendagri Nomor 29 Tahun 2002, disebutkan harus ada permintaan dari Pengguna Anggaran. Jadi Anda jangan asal ngomong,” ujar Marcos kepada saksi Ali Sutan Siregar.

Marcos pun meluruskan adanya dua surat permintaan yang ditujuhkan kepada bupati, yakni Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO dan Surat Permintaan Pembayaran Pengisian Kas (SPP-PK). Kemudian, SPP SKO dan SPP-PK tersebut diajukan ke bupati oleh Pengguna Anggaran yang dijabat Sekda. “Kenapa bupati mau mengeluarkan SKO kalau bukan karena adanya permintaan dari Pengguna Anggaran. Dari tadi saksi ini hanya mengatakan bupati saja,” ungkapnya lagi.

Marcos juga menyebutkan untuk Sekretariat Daerah (Setda) juga tidak ada istilah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tapi Satker atau Pengguna Anggaran (PA). Penjelasan tersebut akhirnya dibenarkan saksi. “Jadi, kalau saksi tidak tahu bilang saja tidak tahu, jangan mengarang,” tegur Kasi I Intel Kejati Sumut itu.

Kemudian, ketika Benny Harahap selaku penasihat hukum terdakwa menanyakan soal penerbitan SKO tersebut, saksi membenarkan SKO ditandatangani bupati berdasarkan surat permintaan penerbitan yang diajukan Pengguna Anggaran. Hanya saja, saksi tidak tahu istilahnya. Yang saksi tahu istilah SPP hanya untuk proses pencairan dana.

Setelah mendengar keterangan saksi itu, Ketua Majelis Hakim pun meminta maaf kepada Marcos atas ucapannya tersebut. Permintaan maaf itu kembali diulanginya sebelum menutup sidang. “Kalau ada saya salah kata, saya minta maaf ya. Saya hanya manusia biasa,” ucap Sugiyanto.

Dalam kesaksiannya, Ali Sutan Siregar mengatakan, untuk pencairan anggaran yang dikelola Setda, termasuk TPAPD, SPP harus ditandatangani Sekda selaku Pengguna Anggaran dan pemegang kas Setda. “Jika salah satu tidak menandatangani, pencairannya tidak dapat diproses. Artinya kalau hanya Sekda yang menandatangani itu juga tidak bisa diproses,” katanya.

Saksi mengemukakan, untuk TPAPD 2005 sebesar Rp5,95 miliar, dia memproses tiga SKO setelah APBD 2005 disahkan pada 17 Juni 2005. Tiga SKO itu diantaranya tanggal 14 juli 2005 sebesar Rp2,97 miliar, 19 Agustus 2005 sebesar Rp1,48 miliar dan 31 Oktober 2005 sebesar Rp1,48 miliar. Sedangkan sebelum APBD 2005 disahkan, dia memproses SKO tanggal 6 Januari 2005 sebesar Rp1,035 miliar.

“Saya tahu ada SKO tanggal 4 Mei 2005, tapi saat saya mendampingi penyidik Poldasu membongkar semua arsip, SKO-nya tidak ketemu. Untuk SKO 6 Januari 2005 yang disebut SKO sementara, telah didefenitifkan setelah APBD 2005 disahkan. Saya ada memprosesnya, nomornya tidak ada tapi tanggalnya ada,” jelasnya.

Saksi juga mengakui adanya kekurangan dana TPAPD pada 2004 sebesar Rp480 juta karena salah penghitungan oleh Bagian Pemerintahan Desa (Pemdes) selaku pengelola dana TPAPD. Kekurangan tersebut, katanya, dianggarkan di APBD Perubahan 2004, namun karena Rencana APBD Perubahan tidak dibahas dan tidak disahkan DPRD, anggarannya ditampung di APBD 2005.

“Pencairan dana Rp480 juta untuk membayar kekurangan TPAPD 2004 itu, hanya memakai nota dinas yang disetujui bupati dan kwitansi, dan tidak memakai SKO karena anggarannya tidak tersedia di APBD 2005. Karena ada desakan dari aparatur desa, makanya kekurangannya dibayarkan tahun 2004 itu juga,” jelasnya.

Dalam sidang itu, jaksa juga menghadirkan lima Kepala desa (Kades) di Kabupaten Tapsel sebagai saksi, masing-masing Sarmad Harahap, Ikhsan Nasution, Marahamin Pane, Patuan Harahap, dan Aswin Dalimunthe. Mereka menjabat mulai tahun 2000-2013. Para Kades yang didengar keterangannya secara terpisah itu, mengaku menerima pembayaran TPAPD 2005 triwulan I dan II pada Juli 2005. Sedangkan untuk triwulan III dan IV pada Januari 2005.

“Kalau TPAPD itu, Pak, selalu terlambat. Sekarang ini pun honor kami sampai Juni ini belum dibayar. Jadi siapa pun bupatinya, honor kami terusnya terlambat,” kata Ikhsan, Kades Panobasan Lombang, disambut tawa pengunjung sidang.

Menanggapi keterangan saksi Ali Sutan Siregar, terdakwa Rahudman Harahap kembali menegaskan kepada saksi, bahwa SKO sementara tanggal 6 Januari 2005 telah diterbitkan SKO defenitifnya setelah APBD 2005 disahkan. Sedangkan terhadap keterangan para Kades, Rahudman tidak memberi pertanyaan atau sanggahan.

“Saudara saksi supaya tidak ragu-ragu. Yang Rp480 juta adalah kekurangan, maka itulah yang kita gunakan untuk nota dinas dan diberikan kepada Aji jul. Saya punya bukti nota dinasnya,” beber Rahudman Harahap. (far)

MEDAN-Hakim Sugianto dan Jaksa Marcos Simaremare bersitegang saat sidang lanjutan Rahudman Harahap. Pada sidang perkara dugaan korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan (Tapsel) Tahun 2005 itu, kedua ‘pendekar’ hukum tersebut saling menuding.

Sugianto yang merupakan hakim ketua menuding Jaksa Marcos Simaremare sok pintar saat bertanya pada saksi. Jaksa tak mau kalah, dia secara terbuka membantah tudingan sang hakim.

“Anda sok pintar ya,” kata Sugianto kepada Marcos dalam sidang yang digelar di ruang utama Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (20/6)n
Sugianto bukan tanpa alasan. Menurut Sugianto, Marcos terlalu bertele-tele dan mengulang-ulang pertanyaan yang sama.

Mendengar perkataan Hakim Sugianto, dengan suara lantang Marcos memprotes ucapan Sugianto yang menudingnya sok pintar. Suaranya membahana di hadapan ratusan penonton sidang. “Saya keberatan dengan pernyataan Ketua Majelis itu. Saya bukan sok pintar,” tegasnya.
Marcos beralasan pengulangan itu karena saksi tidak paham dengan yang dia tanyakan. “Saya hanya meluruskan adanya dua surat permintaan yang diajukan kepada bupati,” tegas Jaksa Marcos lagi.

Ketegangan tersebut berawal ketika Marcos mengingatkan saksi Ali Sutan Siregar selaku mantan Kasubbag Anggaran Bagian Keuangan Setda Tapsel, agar memberikan keterangan mengenai fakta yang diketahuinya saja. Sebab, Marcos menilai, keterangan saksi seolah-olah hanya opini. Dimana saksi menyebutkan penerbitan Surat Ketetapan Otorisasi (SKO) dan pencairan dana TPAPD tahun 2005 atas inisiatif bupati sendiri.

“Saudara saksi, tolong Anda berikan keterangan mengenai apa yang Anda alami. Kalau Anda tidak tahu, Anda bilang saja tidak tahu. Jangan Anda jawab yang lain, biar tidak ada multitafsir. Tadi Saudara saksi mengatakan bahwa tanpa adanya usulan, uang bisa cair. Tapi di Permendagri Nomor 29 Tahun 2002, disebutkan harus ada permintaan dari Pengguna Anggaran. Jadi Anda jangan asal ngomong,” ujar Marcos kepada saksi Ali Sutan Siregar.

Marcos pun meluruskan adanya dua surat permintaan yang ditujuhkan kepada bupati, yakni Surat Permintaan Penerbitan (SPP) SKO dan Surat Permintaan Pembayaran Pengisian Kas (SPP-PK). Kemudian, SPP SKO dan SPP-PK tersebut diajukan ke bupati oleh Pengguna Anggaran yang dijabat Sekda. “Kenapa bupati mau mengeluarkan SKO kalau bukan karena adanya permintaan dari Pengguna Anggaran. Dari tadi saksi ini hanya mengatakan bupati saja,” ungkapnya lagi.

Marcos juga menyebutkan untuk Sekretariat Daerah (Setda) juga tidak ada istilah Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tapi Satker atau Pengguna Anggaran (PA). Penjelasan tersebut akhirnya dibenarkan saksi. “Jadi, kalau saksi tidak tahu bilang saja tidak tahu, jangan mengarang,” tegur Kasi I Intel Kejati Sumut itu.

Kemudian, ketika Benny Harahap selaku penasihat hukum terdakwa menanyakan soal penerbitan SKO tersebut, saksi membenarkan SKO ditandatangani bupati berdasarkan surat permintaan penerbitan yang diajukan Pengguna Anggaran. Hanya saja, saksi tidak tahu istilahnya. Yang saksi tahu istilah SPP hanya untuk proses pencairan dana.

Setelah mendengar keterangan saksi itu, Ketua Majelis Hakim pun meminta maaf kepada Marcos atas ucapannya tersebut. Permintaan maaf itu kembali diulanginya sebelum menutup sidang. “Kalau ada saya salah kata, saya minta maaf ya. Saya hanya manusia biasa,” ucap Sugiyanto.

Dalam kesaksiannya, Ali Sutan Siregar mengatakan, untuk pencairan anggaran yang dikelola Setda, termasuk TPAPD, SPP harus ditandatangani Sekda selaku Pengguna Anggaran dan pemegang kas Setda. “Jika salah satu tidak menandatangani, pencairannya tidak dapat diproses. Artinya kalau hanya Sekda yang menandatangani itu juga tidak bisa diproses,” katanya.

Saksi mengemukakan, untuk TPAPD 2005 sebesar Rp5,95 miliar, dia memproses tiga SKO setelah APBD 2005 disahkan pada 17 Juni 2005. Tiga SKO itu diantaranya tanggal 14 juli 2005 sebesar Rp2,97 miliar, 19 Agustus 2005 sebesar Rp1,48 miliar dan 31 Oktober 2005 sebesar Rp1,48 miliar. Sedangkan sebelum APBD 2005 disahkan, dia memproses SKO tanggal 6 Januari 2005 sebesar Rp1,035 miliar.

“Saya tahu ada SKO tanggal 4 Mei 2005, tapi saat saya mendampingi penyidik Poldasu membongkar semua arsip, SKO-nya tidak ketemu. Untuk SKO 6 Januari 2005 yang disebut SKO sementara, telah didefenitifkan setelah APBD 2005 disahkan. Saya ada memprosesnya, nomornya tidak ada tapi tanggalnya ada,” jelasnya.

Saksi juga mengakui adanya kekurangan dana TPAPD pada 2004 sebesar Rp480 juta karena salah penghitungan oleh Bagian Pemerintahan Desa (Pemdes) selaku pengelola dana TPAPD. Kekurangan tersebut, katanya, dianggarkan di APBD Perubahan 2004, namun karena Rencana APBD Perubahan tidak dibahas dan tidak disahkan DPRD, anggarannya ditampung di APBD 2005.

“Pencairan dana Rp480 juta untuk membayar kekurangan TPAPD 2004 itu, hanya memakai nota dinas yang disetujui bupati dan kwitansi, dan tidak memakai SKO karena anggarannya tidak tersedia di APBD 2005. Karena ada desakan dari aparatur desa, makanya kekurangannya dibayarkan tahun 2004 itu juga,” jelasnya.

Dalam sidang itu, jaksa juga menghadirkan lima Kepala desa (Kades) di Kabupaten Tapsel sebagai saksi, masing-masing Sarmad Harahap, Ikhsan Nasution, Marahamin Pane, Patuan Harahap, dan Aswin Dalimunthe. Mereka menjabat mulai tahun 2000-2013. Para Kades yang didengar keterangannya secara terpisah itu, mengaku menerima pembayaran TPAPD 2005 triwulan I dan II pada Juli 2005. Sedangkan untuk triwulan III dan IV pada Januari 2005.

“Kalau TPAPD itu, Pak, selalu terlambat. Sekarang ini pun honor kami sampai Juni ini belum dibayar. Jadi siapa pun bupatinya, honor kami terusnya terlambat,” kata Ikhsan, Kades Panobasan Lombang, disambut tawa pengunjung sidang.

Menanggapi keterangan saksi Ali Sutan Siregar, terdakwa Rahudman Harahap kembali menegaskan kepada saksi, bahwa SKO sementara tanggal 6 Januari 2005 telah diterbitkan SKO defenitifnya setelah APBD 2005 disahkan. Sedangkan terhadap keterangan para Kades, Rahudman tidak memberi pertanyaan atau sanggahan.

“Saudara saksi supaya tidak ragu-ragu. Yang Rp480 juta adalah kekurangan, maka itulah yang kita gunakan untuk nota dinas dan diberikan kepada Aji jul. Saya punya bukti nota dinasnya,” beber Rahudman Harahap. (far)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/