27.8 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Sumut Ladang Korupsi Anggaran

Penilaian yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia terhadap Provinsi Sumut yang mengungkapkan Sumut merupakan ladang subur praktik korupsi mengundang keprihatinan pegiat anti-korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan anggota DPRD Sumut.

INSTITUSI penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus jemput bola dalam penuntasan berbagai kasus korupsi di Sumut, khususnya yang melibatkan pejabat pemerintahan.

‘’Kejaksaan Tinggi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) betul-betul harus jemput bola. Tak ada cara lain. Ini shocktherapy agar aparatur pemerintahan daerah tak sewenang-wewenang melakukan kongkalikong atas uang negara,” kata Koordinator Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto, kemarin.

Agus mengingatkan, masih tingginya korupsi di pemerintahan daerah disebabkan kegagalan badan-badan pengawas internal pemerintah pusat atau daerah seperti Bawesda dan Irjen dalam mengantisipasi berbagai penyimpangan.

‘’Kebijakan renumerasi dalam kerangka reformasi birokrasi ternyata masih belum efektif mereduksi berbagai perilaku korup PNS,” katanya.

Di sisi lain, anggota DPRDSU dari Komisi A, Sopar Siburian, mengungkapkan, bukan kali pertama BPK RI memberi penilaian kurang baik terhadap penggunaan anggaran di Sumut. Kader Partai Demokrat itu mengingatkan, pemerintah Provinsi Sumut dan pemerintah kabupaten/kota tidak pernah mau belajar terhadap masa lalu. Sehingga selalu saja terjebak didalam masalah penggunaan keuangan.

“Pemprovsu (dan pemerintahan kabupaten/ kota) harus banyak menengok ke belakang baik pengalaman buruk ataupun baik penggunaan keuangan negara,” ujarnya.

Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan bagi penyelenggara pemerintah dalam penggunaan keuangan. Terlebih transparansi dijajaran pemerintahannya.

Sehingga prinsip-prinsip good governance dapat berjalan dengan baik.

“Pemerintah daeha perlu melakukan terobosan baru didalam penggunaan keuangan.

Terlebih para jajarannya harus memiliki kemampuan untuk menggunakan keuangan yang sesuai dengan sistem yang berlaku,” ujarnya.

Senada, Sekretaris Komisi A, Hasbulah Hadi menyampaikan bahwa penilai yang disampaikan BPK-RI tersebut perlu ditanggapi positif segenap pemangku kebijakan di Sumut. Penilaian BPK-RI tersebut perlu dijadikan telaah bersama dalam menyelenggarakan proses pemerintahan melayani rakyat Sumut.

“Para pemangku kebijakan di Sumut harus menanggapi penilaian BPK RI tersebut dengan positif, jangan langsung apriori,” ujarnya kepada Sumut Pos, Sabtu (20/ 7).

Ia menambahkan BPK-RI sendiri tentu punya parameter dalam melakukan penilaian.

Dirinya juga menekankan bahwa ke depan, praktik-praktik tender proyek pembangunan harus dilakukan secara transparan. “Proyek pembangunan di Sumut tidak boleh lagi dikerjakan oleh para preman-preman. Harus dikelola secara profesional,” tandasnya.

Pengamat Anggaran Elfenda Ananda melihat, besar anggaran yang mencapai Rp8,6 triliun per tahun untuk provinsi Sumut memang memiliki potensi korupsi yang tinggi.

Begitu juga bila dilihat dari sistem pengawasan dalam penggunaan anggaran, Sumutsangat rentan dengan tindak pidana korupsi.

Meski demikian, Elfenda melihat, menyebut Sumutsebagai lading korupsi berdasarkan data hasil audit BPK semester II tahun 2012, masih belum tepat. Pasalnya, data hasil audit itu belum menyatakan kalau penggunaan anggaran itu telah dikorupsi.

“Biasanya hasil audit BPK itu merujuk pada melencengnya penggunaan anggaran dengan administrasi yang ada. Namun, untuk potensi korupsi di Sumut ini memang cukup tinggi,” ungkap Elfenda dari seberang telepon, Sabtu (20/7).

Elfenda menyebut kalau Anggota DPRD Sumut sebagai lembaga legislatif juga harus kembali pada fungsi dan perannya mengawasi penggunaan anggaran, pada porsinya masing-masing. Disebut Elfenda, potensi korupsi di Sumatera Utara, akan menjadi lebih besar bila anggota DPRD di Sumut malah ikut berkolaborasi menyelewengkan anggaran.

Untuk itu pula, dibutuhkan komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur dan aparat di eksekutif untuk memberantas korupsi.

“Kesejahteraan pegawai bukan berarti menjamin tidak terjadi korupsi. Kita ketahui dan kita lihat, beberapa orang dekat pemimpin di Sumut ini terlibat dan tersangkut kasus korupsi. Kalau soal jumlah anggaran yang tinggi, DKI Jakarta dan Jawa Timur, anggaran yang mereka terima, jauh lebih besar dari anggaran yang diterima Sumut,” ungkap Elfenda.

Elfenda menyebutkan potensi korupsi itu akan terus tumbuh bahkan akan menjalar ingga ke sejumlah pelosok daerah di Sumatera Utara. Namun. Pasalnya, keadaan di Pusat dengan beberapa orang dekat bahkan hingga pada pemimpin yang disebut-sebut dan terseret dalam kasus korupsi, membuat orang-orang di daerah dan pelosok semakin leluasa. Terlebih tidak adanya realisasi atas komitmen pemimpin untuk memberantas korupsi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pembaharuan Hukum dan Peradilan (PUSPHA), Muslim Muis mengatakan penegakan hukum yang setengah hati turut menjadi pemicu tingginya potensi korupsi.

Begitu juga rendahnya kesadaran hukum para pengelola anggaran membuat korupsi merajalela.

“Efek jerahnya tidak ada sehingga pelaku korupsi merasa sayang bila mereka tidak melakukan korupsi. Untuk itu, perlu ditingkatkan pengawasan terhadap oknum penegak hukum. Namun pengawasannya dari eksternal karena bila pengawasan dari internal, juga sudah sangat diragukan,” ungkap Muslim Muis. (gir/mag-5/mag-10)

Penilaian yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia terhadap Provinsi Sumut yang mengungkapkan Sumut merupakan ladang subur praktik korupsi mengundang keprihatinan pegiat anti-korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan anggota DPRD Sumut.

INSTITUSI penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus jemput bola dalam penuntasan berbagai kasus korupsi di Sumut, khususnya yang melibatkan pejabat pemerintahan.

‘’Kejaksaan Tinggi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) betul-betul harus jemput bola. Tak ada cara lain. Ini shocktherapy agar aparatur pemerintahan daerah tak sewenang-wewenang melakukan kongkalikong atas uang negara,” kata Koordinator Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto, kemarin.

Agus mengingatkan, masih tingginya korupsi di pemerintahan daerah disebabkan kegagalan badan-badan pengawas internal pemerintah pusat atau daerah seperti Bawesda dan Irjen dalam mengantisipasi berbagai penyimpangan.

‘’Kebijakan renumerasi dalam kerangka reformasi birokrasi ternyata masih belum efektif mereduksi berbagai perilaku korup PNS,” katanya.

Di sisi lain, anggota DPRDSU dari Komisi A, Sopar Siburian, mengungkapkan, bukan kali pertama BPK RI memberi penilaian kurang baik terhadap penggunaan anggaran di Sumut. Kader Partai Demokrat itu mengingatkan, pemerintah Provinsi Sumut dan pemerintah kabupaten/kota tidak pernah mau belajar terhadap masa lalu. Sehingga selalu saja terjebak didalam masalah penggunaan keuangan.

“Pemprovsu (dan pemerintahan kabupaten/ kota) harus banyak menengok ke belakang baik pengalaman buruk ataupun baik penggunaan keuangan negara,” ujarnya.

Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan bagi penyelenggara pemerintah dalam penggunaan keuangan. Terlebih transparansi dijajaran pemerintahannya.

Sehingga prinsip-prinsip good governance dapat berjalan dengan baik.

“Pemerintah daeha perlu melakukan terobosan baru didalam penggunaan keuangan.

Terlebih para jajarannya harus memiliki kemampuan untuk menggunakan keuangan yang sesuai dengan sistem yang berlaku,” ujarnya.

Senada, Sekretaris Komisi A, Hasbulah Hadi menyampaikan bahwa penilai yang disampaikan BPK-RI tersebut perlu ditanggapi positif segenap pemangku kebijakan di Sumut. Penilaian BPK-RI tersebut perlu dijadikan telaah bersama dalam menyelenggarakan proses pemerintahan melayani rakyat Sumut.

“Para pemangku kebijakan di Sumut harus menanggapi penilaian BPK RI tersebut dengan positif, jangan langsung apriori,” ujarnya kepada Sumut Pos, Sabtu (20/ 7).

Ia menambahkan BPK-RI sendiri tentu punya parameter dalam melakukan penilaian.

Dirinya juga menekankan bahwa ke depan, praktik-praktik tender proyek pembangunan harus dilakukan secara transparan. “Proyek pembangunan di Sumut tidak boleh lagi dikerjakan oleh para preman-preman. Harus dikelola secara profesional,” tandasnya.

Pengamat Anggaran Elfenda Ananda melihat, besar anggaran yang mencapai Rp8,6 triliun per tahun untuk provinsi Sumut memang memiliki potensi korupsi yang tinggi.

Begitu juga bila dilihat dari sistem pengawasan dalam penggunaan anggaran, Sumutsangat rentan dengan tindak pidana korupsi.

Meski demikian, Elfenda melihat, menyebut Sumutsebagai lading korupsi berdasarkan data hasil audit BPK semester II tahun 2012, masih belum tepat. Pasalnya, data hasil audit itu belum menyatakan kalau penggunaan anggaran itu telah dikorupsi.

“Biasanya hasil audit BPK itu merujuk pada melencengnya penggunaan anggaran dengan administrasi yang ada. Namun, untuk potensi korupsi di Sumut ini memang cukup tinggi,” ungkap Elfenda dari seberang telepon, Sabtu (20/7).

Elfenda menyebut kalau Anggota DPRD Sumut sebagai lembaga legislatif juga harus kembali pada fungsi dan perannya mengawasi penggunaan anggaran, pada porsinya masing-masing. Disebut Elfenda, potensi korupsi di Sumatera Utara, akan menjadi lebih besar bila anggota DPRD di Sumut malah ikut berkolaborasi menyelewengkan anggaran.

Untuk itu pula, dibutuhkan komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur dan aparat di eksekutif untuk memberantas korupsi.

“Kesejahteraan pegawai bukan berarti menjamin tidak terjadi korupsi. Kita ketahui dan kita lihat, beberapa orang dekat pemimpin di Sumut ini terlibat dan tersangkut kasus korupsi. Kalau soal jumlah anggaran yang tinggi, DKI Jakarta dan Jawa Timur, anggaran yang mereka terima, jauh lebih besar dari anggaran yang diterima Sumut,” ungkap Elfenda.

Elfenda menyebutkan potensi korupsi itu akan terus tumbuh bahkan akan menjalar ingga ke sejumlah pelosok daerah di Sumatera Utara. Namun. Pasalnya, keadaan di Pusat dengan beberapa orang dekat bahkan hingga pada pemimpin yang disebut-sebut dan terseret dalam kasus korupsi, membuat orang-orang di daerah dan pelosok semakin leluasa. Terlebih tidak adanya realisasi atas komitmen pemimpin untuk memberantas korupsi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pembaharuan Hukum dan Peradilan (PUSPHA), Muslim Muis mengatakan penegakan hukum yang setengah hati turut menjadi pemicu tingginya potensi korupsi.

Begitu juga rendahnya kesadaran hukum para pengelola anggaran membuat korupsi merajalela.

“Efek jerahnya tidak ada sehingga pelaku korupsi merasa sayang bila mereka tidak melakukan korupsi. Untuk itu, perlu ditingkatkan pengawasan terhadap oknum penegak hukum. Namun pengawasannya dari eksternal karena bila pengawasan dari internal, juga sudah sangat diragukan,” ungkap Muslim Muis. (gir/mag-5/mag-10)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/