25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Polisi Sebut JPU Belum Pengalaman

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan yang menangani kasus dugaan korupsi alat-alat kesehatan (alkes) RSUD dr Pirngadi Medan senilai Rp3 miliar, dinilai belum memiliki pengalaman dalam menangani kasus tersebut. Sehingga, berkas perkara kasus ini bolak-balik dipulangkan tim jaksa atau disebut P-19 (belum lengkap).

“Jaksa dari Kejari Medan belum pengalaman menangani soal korupsi alkes, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Makanya tim jaksa itu diganti dengan jaksa dari Kejatisu,” sebut Kasat Reskrim Polresta Medan Kompol Wahyu Bram, Rabu (21/1).

Bram mengaku, bergantinya tim jaksa yang menangani kasus ini sudah sepaham. Artinya, tim jaksa dari Kejatisu itu mengerti dengan metode yang diterapkan penyidik dalam menetapkan kerugian negara.

“Perbedaan persepsi itu sudah cocok antara jaksa dan penyidik. Artinya, tidak ada persoalan lagi. Namun, jaksa meminta ada pertemuan dengan penyidik yang menangani kasus ini untuk pemaparannya. Kalau tidak salah dalam pekan ini,” aku Bram.

Menurutnya, terjadi pergantian tim jaksa dari Kejari Medan dengan Kejatisu lantaran pernah menangani banyak kasus korupsi alkes. “Jadi, jaksa sudah sepakat dengan metode penyidik namun butuh pemaparan atau bisa dibilang gelar perkara,” ucap Bram.

Diutarakannya, dalam menetapkan kerugian negara pada kasus ini digunakan metode harga real count. Dengan kata lain, menghitung harga penawaran sebenarnya (HPS). Kemudian, muncul selisih yang diduga dilakukan mark up.

“Jadi begini, dalam penghitungan kerugian negara ini ada beberapa metode seperti harga real count, pembanding dan pendapat ahli. Dalam kasus ini, kita menerapkan metode harga real count untuk menetapkan kerugian negaranya. Caranya dengan mengumpulkan alat bukti kemudian menghitung kerugiannya dan menetapkan HPS. Selanjutnya menyerahkan ke BPKP Sumut. Setelah dipelajari pihak BPKP Sumut ternyata disetujui dan disahkan,” ungkap mantan penyidik KPK ini.

Setelah dari BPKP Sumut, lanjut Bram, diserahkan ke jaksa. Namun, ternyata jaksa berbeda pendapat. Jaksa sempat berasumsi metode yang dilakukan dalam menghitung kerugian negara tersebut belum bisa dijadikan acuan. Karena butuh pembanding dengan kasus lain. Artinya, jaksa meminta pembanding dengan kasus yang tak jauh berbeda dan metode yang sama.

“Kami berpendapat, apalagi dibutuhkan pembanding, sementara BPKP sudah menetapkan atau mensahkan kerugian negara dalam kasus ini. Di situlah letak perbedaan persepsi dengan jaksa, tapi saat ini intinya sudah sepaham,” tukasnya.

Disinggung mengenai keberadaan Andri Pringadi, salah satu tersangka kasus korupsi ini yang kabur, Bram tak tahu di mana keberadaannya.

“Belum ditemukan. Alamat tinggalnya di Medan tapi sekarang tidak tahu di mana. Karena setelah ditelusuri ternyata dia tidak ada,” ujar mantan penyidik KPK ini.(ris/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan yang menangani kasus dugaan korupsi alat-alat kesehatan (alkes) RSUD dr Pirngadi Medan senilai Rp3 miliar, dinilai belum memiliki pengalaman dalam menangani kasus tersebut. Sehingga, berkas perkara kasus ini bolak-balik dipulangkan tim jaksa atau disebut P-19 (belum lengkap).

“Jaksa dari Kejari Medan belum pengalaman menangani soal korupsi alkes, sehingga terjadi perbedaan pendapat. Makanya tim jaksa itu diganti dengan jaksa dari Kejatisu,” sebut Kasat Reskrim Polresta Medan Kompol Wahyu Bram, Rabu (21/1).

Bram mengaku, bergantinya tim jaksa yang menangani kasus ini sudah sepaham. Artinya, tim jaksa dari Kejatisu itu mengerti dengan metode yang diterapkan penyidik dalam menetapkan kerugian negara.

“Perbedaan persepsi itu sudah cocok antara jaksa dan penyidik. Artinya, tidak ada persoalan lagi. Namun, jaksa meminta ada pertemuan dengan penyidik yang menangani kasus ini untuk pemaparannya. Kalau tidak salah dalam pekan ini,” aku Bram.

Menurutnya, terjadi pergantian tim jaksa dari Kejari Medan dengan Kejatisu lantaran pernah menangani banyak kasus korupsi alkes. “Jadi, jaksa sudah sepakat dengan metode penyidik namun butuh pemaparan atau bisa dibilang gelar perkara,” ucap Bram.

Diutarakannya, dalam menetapkan kerugian negara pada kasus ini digunakan metode harga real count. Dengan kata lain, menghitung harga penawaran sebenarnya (HPS). Kemudian, muncul selisih yang diduga dilakukan mark up.

“Jadi begini, dalam penghitungan kerugian negara ini ada beberapa metode seperti harga real count, pembanding dan pendapat ahli. Dalam kasus ini, kita menerapkan metode harga real count untuk menetapkan kerugian negaranya. Caranya dengan mengumpulkan alat bukti kemudian menghitung kerugiannya dan menetapkan HPS. Selanjutnya menyerahkan ke BPKP Sumut. Setelah dipelajari pihak BPKP Sumut ternyata disetujui dan disahkan,” ungkap mantan penyidik KPK ini.

Setelah dari BPKP Sumut, lanjut Bram, diserahkan ke jaksa. Namun, ternyata jaksa berbeda pendapat. Jaksa sempat berasumsi metode yang dilakukan dalam menghitung kerugian negara tersebut belum bisa dijadikan acuan. Karena butuh pembanding dengan kasus lain. Artinya, jaksa meminta pembanding dengan kasus yang tak jauh berbeda dan metode yang sama.

“Kami berpendapat, apalagi dibutuhkan pembanding, sementara BPKP sudah menetapkan atau mensahkan kerugian negara dalam kasus ini. Di situlah letak perbedaan persepsi dengan jaksa, tapi saat ini intinya sudah sepaham,” tukasnya.

Disinggung mengenai keberadaan Andri Pringadi, salah satu tersangka kasus korupsi ini yang kabur, Bram tak tahu di mana keberadaannya.

“Belum ditemukan. Alamat tinggalnya di Medan tapi sekarang tidak tahu di mana. Karena setelah ditelusuri ternyata dia tidak ada,” ujar mantan penyidik KPK ini.(ris/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/