29 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

PPDB Belum Berikan Pemerataan Pendidikan, Dinilai Rugikan Calon Siswa

Dinas Pendidikan Sumut menerapkan penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA dan SMK secara online.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi atau zona terdekat 90 persen, dinilai merugikan calon siswa Provinsi. “Jadi masalah penerimaan siswa baru berdasarkan zonasi ini, memunculkan masalah di setiap provinsi.

Meskipun tujuannya baik, akan tetapi pemerataan itu memang belum bisa kita lakukan saat ini,” ungkap Anggota DPR RI dari Komisi X, dr Sofyan Tan kepada wartawan, Jum’at (21/6).

Saat ini di lapangan dari sistem zonasi 90:10 persen. Di mana 10 persen tersebut adalah siswa berprestasi. Hal ini menghalangi anak-anak berprestasi itu untuk mendapat melanjutkan pendidikan di sekolah favorit.

“Anak-anak pintar hanya dikasih persentase 5 persen. Itu sangat sedikit sekali persentasenya. Sementara 5 persen lagi diperuntukan kuotanya bagi peserta didik yang memiliki alasan khusus, misalnya perpindahan domisili orangtuanya,” tutur Sofyan Tan.

Politisi dari PDI Perjuangan mengatakan, pembangunan fasilitas sekolah SMA/SMK di setiap provinsi belum merata. Pastinya, masyarakat akan memilih sekolah prestasi dengan fasilitas baik.

“Saya kasihan saja sama anak desa yang di desanya tidak ada sekolah bagus, kemudian dia berprestasi mau masuk sekolah favorit. Tapi karena lokasinya jauh jadi terhambat. Ini menyebabkan ketidakadilan bagi anak yang pintar,” tutur Sofyan Tan.

Melihat dari segi tumpuan sistem ini memang sudah bagus, atas dasar itu Sofyan Tan mengusulkan agar jumlah persentase untuk peserta didik yang pintar ditambah. “Janganlah 5 persen. Seharusnya 30 persen kuota untuk peserta didik yang berprestasi. Dan untuk peserta didik yang terdekat kuotanya 70 persen,” ucapnya.

Saat ini permasalahan sistem zonasi ini juga sedang menjadi pembahasan di Komisi X DPR RI. “Minggu depan, kita juga ada rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas ini. Dan ke depan kita juga akan memperjuangkan agar pendidikan di Indonesia ini merata sehingga sistem ini bisa diterapkan,” tutur Sofyan Tan.

Masalah ketimpangan pendidikan ini juga tidak bisa diatasi oleh provinsi saja. Provinsi juga tidak memiliki alokasi yang banyak untuk pembangunan SMA dan SMK.

“Atas dasar itu pada 2020 juga sesuai dengan program Pak Jokowi yang fokus pada pembangunan sumber daya manusia, maka ke depan kita akan fokus pada meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar tidak jomplang. Bantuan untuk siswa dan mahasiswa miskin juga akan ditambah di tahun depan,” tandasnya.

Biaya Masuk SMAN Mahal

Masih soal pendidikan, selama ini pembiayaan pendaftaran masuk Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) jadi keluhan para orangtua calon siswa. Sebab biaya yang diajukan terkadang ada yang tidak masuk akal.

Ketua Lembaga Riset Publik Indonesia (Larispa), Rizal Hasibuan mengatakan, selama ini biaya pendaftaran masuk SMA Negeri diatur oleh komite sekolah sebagai perpanjangan kepala sekolah SMA negeri. Jadi keputusan yang diambil mau tidak mau dipatuhi untuk dibayar.

“Jadi selama ini rapat komite hanya dipegang oleh mereka tanpa mendapatkan masukan dari orang tua siswa. namun selama ini orang tua mungkin kurang berperan aktif atau segan sehingga tidak bisa memberikan masukan,” katanya, Jumat (21/6)

Menurutnya, komite sekolah menjadi perpanjangan dari kepala sekolah untuk mendapatkan pembiayaan pembiayaan lain.

“Kalau misalkan ada orangtua keberatan terhadap keputusan komite sekolah dikarenakan mahalnya uang pendaftaran, idealnya orangtua siswa bisa membuat pernyataan menolak pendaftaran yang sudah diputuskan,” ujarnya.

Kepada pihak sekolah juga diharapkan memperhatikan kemampuan ekonomi orangtua siswa yang hendak mendaftar.

Sehingga pihak sekolah memperhatikan kemampuan orangtua siswa dalam kondisi perekonomian saat ini.

Kata dia, pemerintah idealnya melakukan pengawasan terhadap kebijakan atau musyawarah yang sudah memutuskan pembiayaan pendaftaran yang terlalu besar. Walaupun itu sudah dilakukan komite sekolah. Tujuannya adalah agar pembiayaan itu tidak terlalu besar dan memberatkan orangtua siswa.

“Apalagi dalam kondisi ekonomi yang sulit. Jadi pemerintah khususnya dinas pendidikan mentabulasi kira kira biaya yang diputuskan itu relevan atau tidak. Harus dibentuk misalnya ada pihak ketiga yang melihat pembiayaan ini bagus tidaknya agar lebih independen,” ujarnya. (gus/div/ila)

Dinas Pendidikan Sumut menerapkan penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA dan SMK secara online.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi atau zona terdekat 90 persen, dinilai merugikan calon siswa Provinsi. “Jadi masalah penerimaan siswa baru berdasarkan zonasi ini, memunculkan masalah di setiap provinsi.

Meskipun tujuannya baik, akan tetapi pemerataan itu memang belum bisa kita lakukan saat ini,” ungkap Anggota DPR RI dari Komisi X, dr Sofyan Tan kepada wartawan, Jum’at (21/6).

Saat ini di lapangan dari sistem zonasi 90:10 persen. Di mana 10 persen tersebut adalah siswa berprestasi. Hal ini menghalangi anak-anak berprestasi itu untuk mendapat melanjutkan pendidikan di sekolah favorit.

“Anak-anak pintar hanya dikasih persentase 5 persen. Itu sangat sedikit sekali persentasenya. Sementara 5 persen lagi diperuntukan kuotanya bagi peserta didik yang memiliki alasan khusus, misalnya perpindahan domisili orangtuanya,” tutur Sofyan Tan.

Politisi dari PDI Perjuangan mengatakan, pembangunan fasilitas sekolah SMA/SMK di setiap provinsi belum merata. Pastinya, masyarakat akan memilih sekolah prestasi dengan fasilitas baik.

“Saya kasihan saja sama anak desa yang di desanya tidak ada sekolah bagus, kemudian dia berprestasi mau masuk sekolah favorit. Tapi karena lokasinya jauh jadi terhambat. Ini menyebabkan ketidakadilan bagi anak yang pintar,” tutur Sofyan Tan.

Melihat dari segi tumpuan sistem ini memang sudah bagus, atas dasar itu Sofyan Tan mengusulkan agar jumlah persentase untuk peserta didik yang pintar ditambah. “Janganlah 5 persen. Seharusnya 30 persen kuota untuk peserta didik yang berprestasi. Dan untuk peserta didik yang terdekat kuotanya 70 persen,” ucapnya.

Saat ini permasalahan sistem zonasi ini juga sedang menjadi pembahasan di Komisi X DPR RI. “Minggu depan, kita juga ada rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas ini. Dan ke depan kita juga akan memperjuangkan agar pendidikan di Indonesia ini merata sehingga sistem ini bisa diterapkan,” tutur Sofyan Tan.

Masalah ketimpangan pendidikan ini juga tidak bisa diatasi oleh provinsi saja. Provinsi juga tidak memiliki alokasi yang banyak untuk pembangunan SMA dan SMK.

“Atas dasar itu pada 2020 juga sesuai dengan program Pak Jokowi yang fokus pada pembangunan sumber daya manusia, maka ke depan kita akan fokus pada meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar tidak jomplang. Bantuan untuk siswa dan mahasiswa miskin juga akan ditambah di tahun depan,” tandasnya.

Biaya Masuk SMAN Mahal

Masih soal pendidikan, selama ini pembiayaan pendaftaran masuk Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) jadi keluhan para orangtua calon siswa. Sebab biaya yang diajukan terkadang ada yang tidak masuk akal.

Ketua Lembaga Riset Publik Indonesia (Larispa), Rizal Hasibuan mengatakan, selama ini biaya pendaftaran masuk SMA Negeri diatur oleh komite sekolah sebagai perpanjangan kepala sekolah SMA negeri. Jadi keputusan yang diambil mau tidak mau dipatuhi untuk dibayar.

“Jadi selama ini rapat komite hanya dipegang oleh mereka tanpa mendapatkan masukan dari orang tua siswa. namun selama ini orang tua mungkin kurang berperan aktif atau segan sehingga tidak bisa memberikan masukan,” katanya, Jumat (21/6)

Menurutnya, komite sekolah menjadi perpanjangan dari kepala sekolah untuk mendapatkan pembiayaan pembiayaan lain.

“Kalau misalkan ada orangtua keberatan terhadap keputusan komite sekolah dikarenakan mahalnya uang pendaftaran, idealnya orangtua siswa bisa membuat pernyataan menolak pendaftaran yang sudah diputuskan,” ujarnya.

Kepada pihak sekolah juga diharapkan memperhatikan kemampuan ekonomi orangtua siswa yang hendak mendaftar.

Sehingga pihak sekolah memperhatikan kemampuan orangtua siswa dalam kondisi perekonomian saat ini.

Kata dia, pemerintah idealnya melakukan pengawasan terhadap kebijakan atau musyawarah yang sudah memutuskan pembiayaan pendaftaran yang terlalu besar. Walaupun itu sudah dilakukan komite sekolah. Tujuannya adalah agar pembiayaan itu tidak terlalu besar dan memberatkan orangtua siswa.

“Apalagi dalam kondisi ekonomi yang sulit. Jadi pemerintah khususnya dinas pendidikan mentabulasi kira kira biaya yang diputuskan itu relevan atau tidak. Harus dibentuk misalnya ada pihak ketiga yang melihat pembiayaan ini bagus tidaknya agar lebih independen,” ujarnya. (gus/div/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru