Jaksa Bidik Pejabat Bank dan Kreditur
MEDAN-Dugaan penyalahgunaan standar operasi prosedur (SOP) penyaluran kredit perbankan kembali terkuak. Tim penyidik Intel Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara saat ini tengah menangani kasus dugaan penyimpangan penyaluran kredit sebesar Rp129 miliar di Bank Nasional Indonesia (BNI) 46 Cabang Pemuda Medan.
Kredit tersebut diajukan Boy Hermansyah selaku Direktur PT Bahari Dwi Kencana yang berkantor di Peureulak, Aceh Timur, 8 November 2010. pengajuan awal senilai Rp133 miliar.
Menurut Kepala Seksi (Kasi) Produksi Sarana Intelijen (Prodsarin) pada Intel Kejatisu Ronald Bakkara SH, kasus penyimpangan SOP dalam pencairan kredit PT Bahari Dwi Kencana ini terungkap atas pengaduan masyarakat. Setelah dilakukan proses pengumpulan data dan keterangan, Tim penyidik Intel Kejatisu menaikkan proses pemeriksaan perkara dugaan kasus korupsi pengucuran kredit ini dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.
Penyimpangan SOP itu terjadi karena PT Bahari Dwi Kencana tidak melengkapi persyaratan sebagaimana mestinyan
tetapi oknum pejabat bank tersebut meloloskan pegajuan kredit. Meski telah melampirkan beberapa persyaratan, yakni laporan keuangan perusahaan, laporan aprasial dan laporan lainnya, penyidik menduga proses dan izin kelengkapannya tidak benar. Akan tetapi permohonan kredit tersebut tetap diproses serta dianalisa pada Sentra Kredit Menengah (SKM) BNI 46 wilayah Medan.
Proses selanjutnya maka pihak pihak BNI mengeluarkan Memorandum Analisa Kredit (MAK), pada MAK tersebut menyebutkan bahwa permohonan pinjaman wajar dipertimbangkan, maka tahap berikutnya permohonan pemimjaman dikirim ke PT BNI 46 Pusat di Jakarta.
Setelah pengajuan diproses pada BNI 46 pusat di Jakarta, pihak Bank menyetujui permohonan kredit Rp129 miliar, dari pengajuan permohonan pemimjaman Rp133 Milliar. Kredit baru bias dikucurkan kalau semua persyaratan sudah dipenuhi PT Bahari Dwi Kencana.
Tetapi berdasarkan fakta yang diperoleh, pencairan permohonan pinjaman sudah dikucurkan Rp118 miliar yang dikeluarkan pada Desember 2010 lalu dengan kontrak perjanjian pembayaran selama 59 bulan Sedangkan seluruh persyaratan belum dipenuhi perusahaan yang bergerak dalam usaha pengelolaan kelapa sawit di Sumatra Utara itu.
“Jelas telah terjadi pelanggaran SOP dalam pencairan dana tersebut,” tegas Ronald Bakkara.
Tim penyidik menemukan sejumlah tandatangan Boy Hermansyah selaku Direktur PT Bahari Dwi Kencana dan Komisaris PT Bahari Dwi Kencan Ir JSL serta pejabat BNI 46.
Pihak penyidik Intel Kejatisu sendiri sudah memanggil dan pemeriksaan 8 orang dari PT Bahari Dwi Kencana maupun pihak BNI 46 Cabang Medan.
Tetapi Boy Hermansyah yang dipanggil berkali-kali oleh pihak penyidik Intel Kejatisu, tetap mangkir. Boy Hermansyah sendiri terlibat kasus hukum lain dan tetap mangkir dari panggilan penyidik.
Mengenai proses keseluruhan, penyidik Kejatisu berjanji akan membebernya setelah pengusutan tuntas. “Sejauh ini belum ada tersangka. Selama sebulan proses pengumpulan data, kemungkinan ada sejumlah oknum pejabat BNI dan PT Bahari Dwi Kencana yang bakal segera menjadi tersangka,” ucapnya.
Ronald Bakkara menduga, manajemen PT Bahari Dwi Kencana meminjam uang pada Bank BNI 46 Cabang Pemuda Medan untuk menutupi hutang debitur PT Atale Company pada Bank Mandiri. PT Bahari Dwi Kencana juga mengelola pabrik kelapa sawit dengan kapasitas produksi 60 ton per jam.
Pasti Ada Studi Kelayakan
Menanggapi masalah tersebut, Ekonom Sumut Jhon Tafbu Ritonga berpendapat, kredit atau pinjaman yang bisa dicairkan tersebut pasti ada studi kelayakannya, baik dari tinjauan maupun analisis. “Apalagi kredit korporasi, biasanya kalau jaminannya cukup, prospek bisnisnya bagus dan bankirnya kenal baik dengan si nasabah, maka pencairan akan lancar tanpa masalah,” ungkapnya, kemarin.
Bagi bank, menurut Dekan Fakultas Ekonomi USU ini, yang penting kredit bisa kembali dan angsuran bunga lancar, itu bukan satu masalah. “Kalau macet atau tak dibayar sesuai jadwal, ya dijual agunannya,” terang Tafbu, seraya menambahkan, jumlah yang dicairkan biasanya sesuai dengan studi kelayakan dan agunan.
Mengenai status tersangakanya, lanjut Tafbu, itu sudah memasuki ranah penegak hukum. “Tentang substansi pidananya juga yang tau penegak hukum,” katanya lagi.
Dalam hal ini, menurut Tafbu, bisa saja si pemilik agunan atau nasabah asetnya dijual tanpa sepengetahuannya. Tentunya unsur keberatan akan muncul lalu membuat tuntutan yang akhirnya malah berbalik dituntut pihak bank. (rud/saz)