25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

PP 78 Rugikan Buruh, Kecam Menaker dan Ancam Gugat ke PTUN

Kajian Lebih Bijaksana
Menyikapi kenaikan UMP 2019 ini, DPRD Sumut meminta pemerintah benar-benar mengkaji serius sebelum menetapkan batasan minimum upah yang harus diberikan kepada buruh. Hal ini agar antara pekerja dan pengusaha, dapat saling menerima ketentuan tersebut.

Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI Perjuangan, Baskami Ginting menyebutkan, UMP 2019 yang ditetapkan pemerintah pusat naik sebesar 8,03 persen dari tahun sebelumnya, memang tergolong kecil. Mengingat kenaikan sekitar Rp171 ribu itu, menambah besaran dari Rp2,1juta lebih menjadi Rp2,3 juta lebih yang diterima buruh setiap bulannya. “Ya memang itu terlalu kecil kalau kita lihat kondisi ekonomi sekarang ini. Tetapi tidak bisa juga begitu saja dinaikkan tanpa ada pembahasan. Karena kalau terlalu tinggi, merugikan pengusaha, ya susah juga,” ujar Baskami, Minggu (21/10).

Karena itu, dia juga akan melakukan pembahasan di internal fraksi terkait masukan dari berbagai pihak baik buruh/serikat buruh maupun pengusaha/perusahaan yang sama-sama punya kepentingan berbeda. Meskipun diakuinya, dalam pembahasan, legislatif seringkali tidak dilibatkan aktif. Namun menurut mereka, dipandang perlu untuk mendapatkan gambaran semua pihak, elemen dan sektor yang berkaitan.

“Yang penting kita bisa kasi masukan nanti sebelum UMP itu ditetapkan. Makanya kita mau lihat bagaimana antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kalau pribadi saya kira Rp2,5 juta untuk upah sekarang ini sudah sesuai. Tetapi kalau lembaga, kita cari tahu dulu,” sebutnya.

Senada disampaikan Anggota DPRD Sumut Fraksi Partai Gerindra Richard Sidabutar. Menurutnya antara kebutuhan buruh untuk mendapatkan hidup layak dengan upah yang cukup, selalu bertolak belakang dengan kepentingannya pengusaha yang tentunya menginginkan kewajiban membayar gaji serendah-rendahnya. Karenanya pemerintah diharapkan punya kebijaksanaan yang bisa mengakomodir keduanya.

“Kalau harga naik, memang buka buruh saja yang kesulitan. Pengusaha juga sama, karena harga bahan-bahan baku juga naik. Hanya saja kan kalau naiknya hanya sebesar itu, bayangkan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap bulan. Bayangkan saja harga kontrakan rumah, biaya hidup, sekolah dan sebagainya,” sebut Richard.

Meskipun Pemerintah Provinsi (Pemprov) dalam hal ini bisa saja mengikuti kenaikan dari pusat sebesar 8,03 persen, Richard berpendapat bahwa dalam hal kebutuhan hidup layak (KHL) tentunya, angka Rp2,3 juta itu tergolong kecil. Sekalipun penetapan UMP, UMR atau UMK dihitung berdasarkan aturan PP 78/2015 tentang Pengupahan. Dimana satu poin penentu adalah melihat tingkat pertumbuhan ekonomi.

“Masalahnya memang, apakah kajiannya ini sudah pas. Kita tidak tahu, mana pertimbangan yang paling dilihat, antara kepentingan pengusaha atau kepentingan buruh. Karena ini tak pernah ketemu kepentingannya. Makanya, perlu ada kebijaksanaan pemerintah,” pungkasnya. (fac/ain/bal)

Kajian Lebih Bijaksana
Menyikapi kenaikan UMP 2019 ini, DPRD Sumut meminta pemerintah benar-benar mengkaji serius sebelum menetapkan batasan minimum upah yang harus diberikan kepada buruh. Hal ini agar antara pekerja dan pengusaha, dapat saling menerima ketentuan tersebut.

Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI Perjuangan, Baskami Ginting menyebutkan, UMP 2019 yang ditetapkan pemerintah pusat naik sebesar 8,03 persen dari tahun sebelumnya, memang tergolong kecil. Mengingat kenaikan sekitar Rp171 ribu itu, menambah besaran dari Rp2,1juta lebih menjadi Rp2,3 juta lebih yang diterima buruh setiap bulannya. “Ya memang itu terlalu kecil kalau kita lihat kondisi ekonomi sekarang ini. Tetapi tidak bisa juga begitu saja dinaikkan tanpa ada pembahasan. Karena kalau terlalu tinggi, merugikan pengusaha, ya susah juga,” ujar Baskami, Minggu (21/10).

Karena itu, dia juga akan melakukan pembahasan di internal fraksi terkait masukan dari berbagai pihak baik buruh/serikat buruh maupun pengusaha/perusahaan yang sama-sama punya kepentingan berbeda. Meskipun diakuinya, dalam pembahasan, legislatif seringkali tidak dilibatkan aktif. Namun menurut mereka, dipandang perlu untuk mendapatkan gambaran semua pihak, elemen dan sektor yang berkaitan.

“Yang penting kita bisa kasi masukan nanti sebelum UMP itu ditetapkan. Makanya kita mau lihat bagaimana antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kalau pribadi saya kira Rp2,5 juta untuk upah sekarang ini sudah sesuai. Tetapi kalau lembaga, kita cari tahu dulu,” sebutnya.

Senada disampaikan Anggota DPRD Sumut Fraksi Partai Gerindra Richard Sidabutar. Menurutnya antara kebutuhan buruh untuk mendapatkan hidup layak dengan upah yang cukup, selalu bertolak belakang dengan kepentingannya pengusaha yang tentunya menginginkan kewajiban membayar gaji serendah-rendahnya. Karenanya pemerintah diharapkan punya kebijaksanaan yang bisa mengakomodir keduanya.

“Kalau harga naik, memang buka buruh saja yang kesulitan. Pengusaha juga sama, karena harga bahan-bahan baku juga naik. Hanya saja kan kalau naiknya hanya sebesar itu, bayangkan saja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap bulan. Bayangkan saja harga kontrakan rumah, biaya hidup, sekolah dan sebagainya,” sebut Richard.

Meskipun Pemerintah Provinsi (Pemprov) dalam hal ini bisa saja mengikuti kenaikan dari pusat sebesar 8,03 persen, Richard berpendapat bahwa dalam hal kebutuhan hidup layak (KHL) tentunya, angka Rp2,3 juta itu tergolong kecil. Sekalipun penetapan UMP, UMR atau UMK dihitung berdasarkan aturan PP 78/2015 tentang Pengupahan. Dimana satu poin penentu adalah melihat tingkat pertumbuhan ekonomi.

“Masalahnya memang, apakah kajiannya ini sudah pas. Kita tidak tahu, mana pertimbangan yang paling dilihat, antara kepentingan pengusaha atau kepentingan buruh. Karena ini tak pernah ketemu kepentingannya. Makanya, perlu ada kebijaksanaan pemerintah,” pungkasnya. (fac/ain/bal)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/