MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyudahi penggeledahan sejumlah ruangan di Balai Kota serta Kantor Dinas PU, dan Dinas Perhubungan Kota Medan, terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjaring Wali Kota Medan HT Dzulmi Eldin S.
Pantauan Sumut Pos, Senin (21/10), tak tampak lagi penggeledahan seperti yang dilakukan KPK pada Jumat (18/10) dan Sabtu (19/10) lalun
Kegiatan para ASN di Kantor Wali Kota Medan pun, tampak sudah berjalan seperti biasa.
“Tidak ada lagi penggeledahan dari kemarin (Minggu (20/10), red). Sejauh ini, belum ada lagi,” ungkap Kabag Humasy Setdako Medan Arrahman Pane, Senin (21/10).
Begitu pun dengan kinerja para ASN usai terjadinya OTT, yang juga menjerat Kasubbag Protokoler Setdako Medan Syamsul Fitri Siregar, semuanya sudah kembali bekerja dengan normal. “Pegawai juga tetap bekerja seperti biasa, enggak ada yang berubah. Semua berjalan normal seperti arahan Bapak (Plt Wali Kota),” imbuh Arrahman.
Arrahman juga mengatakan, Plt Wali Kota Medan H Akhyar Nasution, telah berpesan kepada seluruh ASN lingkup Pemko Medan, agar tetap bekerja seperti biasanya, dan tetap memberikan pelayanan terbaik kepada warga Kota Medan. “Tidak ada yang berubah dengan kinerja pegawai, semua tetap bekerja untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat,” jelasnya.
Seperti diketahui, penggeledahan yang dilakukan KPK pada Jumat (18/10) dan Sabtu (19/10) lalu, dilakukan pasca ditetapkannya Wali Kota Medan HT Dzulmi Eldin S sebagai tersangka, dugaan kasus korupsi.
Selain Eldin, KPK juga menetapkan 2 tersangka lainnya, yakni Syamsul Fitri Siregar (Kasubbag Protokoler), dan diduga pemberi suap Isa Anshari (Kepala Dinas PU). KPK melakukan penangkapan kepada Eldin pada Selasa (15/10) lalu.
Sebagai pihak yang diduga menerima, Eldin dan Syamsul disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara, dan maksimal seumur hidup, serta denda minimal Rp200 juta, maksimal Rp1 miliar.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi, Isa Anshari disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Sesuatu yang dapat bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara, dan maksimal 5 tahun penjara, serta denda paling sedikit Rp50 juta, dan paling banyak Rp250 juta. (map/saz)