Peringatan Nyepi di Medan
MEDAN-Tadi malam ada suasana berbeda di Medan. Beberapa lelaki mengarak Ogoh-ogoh keliling Lapangan Benteng. Patung raksasa dengan ekspresi menakutkan dan menyeramkan sebagai lambang ‘Buta Kala’ itu tampak hidup.
Aksi inipun diikuti oleh para wanita serta anak-anak lalu disusul tarian barongsai. Ya, aksi barongsai juga mewarnai perayaan hari raya Nyepi yang jatuh pada penanggal 1 Sasih Kedasa tahun Isakan 1934 tepatnya dimulai pada 22 Maret. Tarian barongsai pun dipercaya sebagai pengusir roh kejahatan yang ada dimuka bumi. Sekitar ratusan umat Hindu dari multietnis seakan larut dalam perayaan ini.
“Ogoh-ogoh adalah perayaan puncak menjelang hari raya Nyepi yang jatuh pada 23 Maret. Ogoh-ogoh diarak sebanyak 3 kali putaran lapangan. Tujuannya agar pengusiran roh halus lebih sempurna dan membersihkan bumi dari hal-hal yang tidak baik,” kata Jero Mangku I Wayan Sukantra selaku panitia.
Selain wujud raksasa, katanya, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada seperti naga, gajah, garuda bahkan patung para dewa. Prosesi ini sendiri, melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang mahadahsyat.
“Kekuatan itu meliputi buana agung (alam semesta) dan buana alit (diri manusia). Kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup khususnya manusia dan seluruh isi dunia bisa menuju kebahagiaan atau kehancuran. Namun semua itu tergantung pada niat luhur manusia,” ujarnya.
Menurut Jero Mangku, pawai Ogoh-ogoh juga bertujuan untuk menetralisir alam semesta beserta isinya yang selama ini sering diganggu dan dipengaruhi sifat-sifat negatif yang menimbulkan malapetaka agar kehidupan alam semesta menjadi tenang dan damai.
“Ada 7 tarian daerah turut mewarnai perayaan ini. Di antaranya tarian Bali ada 3 tarian yang dipertunjukkan selain itu tarian India, Tamil, Batak, danChina. Ada juga pertunjukan tarian Bali yang dibawakan anak-anak. Kegiatan ini berlangsung dari pukul 18.00 WIB sampai 21.00 WIB. Jadi hanya berlangsung sekitar 4 jam saja,” urainya.
Sebelumnya, tambah Jero Mangku, pada siang harinya, dilakukan Tawur Kesanga yang bertujuan menjaga keseimbangan atau keharmonisan, serta penyucian kekuatan unsur alam semesta. “Tawur yang digunakan adalah tingkat ‘Panca Sata’ yaitu dengan mempersembahkan korban lima ekor ayam dengan bulu yang berbeda-beda dan berwarna-warni,” jelasnya.
Namun, perayaan Nyepi di Medan dengan di Bali tentu saja memiliki perbedaan. “Perayaan Nyepi di Bali, seluruh masyarakatnya diwajibkan untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Bahkan fasilitas listrik juga dilakukan pemadaman 1 x 24 jam, terkecuali di tempat-tempat tertentu, seperti rumah sakit. Kita tidak boleh keluar rumah, suasana yang sepi sangat terasa pada saat perayaan Nyepi,” tambahnya.
Perayaan hari raya Nyepi yang dilandasi nilai Nyepi Saka Warsa 1934 dan Tri Karya Parisuda denga tema ‘Kita Tingkatkan Kerukunan, Kedamaian, dan Kesejahteraan itu sendiri dibuka oleh Walikota Medan Rahudman Harahap dan ditandai dengan pemukulan gong di hadapan para umat Sedarma atau Hindu.
“Semoga kita, khususnya umat Hindu menjadi pribadi selaras dalam mnjalani kehidupan di tahun mendatang. Perayaan ini, merupakan bentuk penyucian jiwa dari segala kekotoran dan tentunya ditahun mendatang kita akan menjadi manusia yang kembali suci,” ungkapnya.
Bahkan, kegiatan perayaan Nyepi tersebut akan direncanakan menjadi agenda tahunan di Kota Medan. “Kegiatan ini memang baru pertama kali diadakan. Nantinya akan kita buat menjadi agenda tahunan. Medan adalah kota multikulturalisme, dalam perayaan ini, kita berharap menjadi momen yang tepat untuk intropeksi diri ke depannya,” bebernya. (mag-11/adl)