29 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Manajemen Lion Air bak Angkot

Kompensasi Rp300 Ribu tak Cukup

MEDAN-Manajemen Lion Air telah menyatakan membayar kompensasi terhadap 131 penumpangnya terkait delay selama tujuh jam. Mereka pun menyatakan telah menghabiskan dana Rp50 juta untuk kompensasi tersebut. Tapi, langkah itu dianggap belum cukup.

Bahkan, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan, Farid Wajdi, mengatakan Lion Air kurang bertanggung jawab. “Konsumen harus diberikan perhatian serius oleh pihak maskapain

penerbangan. Saya juga melihat sistem pengamanan dari maskapai penerbangan Lion Air buruk,” bebernya, kemarin.
Lebih lanjut, Wajdi mengungkapkan manajemen Lion Air tak profesional. “Saya menilainya kalau seperti ini, tak lebih dari managemen pengangkutan umum atau pengangkutan kota yang pengelolaannya lembut,” sambungnya.

Bukankah Lion Air telah membayar kompensasi sesuai dengan undang-undang? “Kompensasi Rp300 ribu itu tak etis di mana penumpang sudah kecewa dengan pelayanan seperti ini. Seharusnya perundang-undangan memberikan kompensasi di atas Rp300 ribu,” tegasnya.

Wajdi menambahkan, seharusnya Lion Air belajar dari apa yang telah terjadi. Pasalnya, kalau merujuk data, pesawat Lion Air sangat sering delay sampai-sampai sempat dinobatkan sebagai ‘juara delay’ pada 2011. Pada Agustus 2011, Dinas Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan telah mengumumkan, persentasi ketepatan waktu terbang Lion Air hanya mencapai 67 persen. Bandingkan dengan Garuda yang mencapai 87 persen. Bahkan ada yang memplesetkan Lion Air singkatan dari Late Is Our Name.

“Akibat Lion Air ketagihan delay, maskapai itu pun telah dijatuhi sanksi dari oleh Kementerian Perhubungan dengan wajib mengistirahatkan 13 pesawatnya, pada Juli 2011,” jelasnya.

Maksud hukuman tersebut, sambung pria yang juga Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut, antara lain adalah agar jumlah pilot dengan jumlah armada pesawat yang ada bisa lebih proporsional. “Selalu masalah teknis untuk persiapan pesawat terbang sebelum take off. Memang ada kepentingan keselamatan penumpang kalau dibuat logikanya. Namun, tingkat delay Lion Air cukup tinggi. Apalagi delay sampai di atas tujuh jam, tentu bukan waktu yang singkat,” jelasnya.

Lalu, sambung pria berkacamata ini, mengapa maskapai tidak mencari inisiatif dengan menggunakan pesawat lain, atau mengalihkan penumpang kepada maskapai lainnya? “Kalau alasannya, misalnya tidak punya pesawat cadangan, sungguh patut Lion Air diberi sanksi yang lebih berat lagi. Karena sudah sedemikian berani bermain-main dengan pelayanan ratusan atau bahkan ribuan manusia di waktu yang lain. Apalagi kalau itu dilakukan, demi mencapai efesiensi perusahaan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wajdi mengemukakan, belajar dari kasus itu tindakan tegas harusnya dilakukan oleh pemerintah kepada maskapai Lion Air, akibat terus menurunnya layanannya akhir-akhir ini. “Lion Air diharuskan melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan keselamatan dan ketepatan jadwal penerbangan. Untuk itu komitmen perusahaan Lion Air harus lebih berpihak kepada penumpangnya. Kalau tidak maka upaya mengurangi produksi dengan mengistirahatkan (stand by) pesawatnya perlu ditempuh kembali,” pungkasnya. (gus/ari/jon)

Berita Sebelumnya: Kaca Kokpit Lion Air Retak, Penumpang Ngamuk

Kompensasi Rp300 Ribu tak Cukup

MEDAN-Manajemen Lion Air telah menyatakan membayar kompensasi terhadap 131 penumpangnya terkait delay selama tujuh jam. Mereka pun menyatakan telah menghabiskan dana Rp50 juta untuk kompensasi tersebut. Tapi, langkah itu dianggap belum cukup.

Bahkan, Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) Medan, Farid Wajdi, mengatakan Lion Air kurang bertanggung jawab. “Konsumen harus diberikan perhatian serius oleh pihak maskapain

penerbangan. Saya juga melihat sistem pengamanan dari maskapai penerbangan Lion Air buruk,” bebernya, kemarin.
Lebih lanjut, Wajdi mengungkapkan manajemen Lion Air tak profesional. “Saya menilainya kalau seperti ini, tak lebih dari managemen pengangkutan umum atau pengangkutan kota yang pengelolaannya lembut,” sambungnya.

Bukankah Lion Air telah membayar kompensasi sesuai dengan undang-undang? “Kompensasi Rp300 ribu itu tak etis di mana penumpang sudah kecewa dengan pelayanan seperti ini. Seharusnya perundang-undangan memberikan kompensasi di atas Rp300 ribu,” tegasnya.

Wajdi menambahkan, seharusnya Lion Air belajar dari apa yang telah terjadi. Pasalnya, kalau merujuk data, pesawat Lion Air sangat sering delay sampai-sampai sempat dinobatkan sebagai ‘juara delay’ pada 2011. Pada Agustus 2011, Dinas Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan telah mengumumkan, persentasi ketepatan waktu terbang Lion Air hanya mencapai 67 persen. Bandingkan dengan Garuda yang mencapai 87 persen. Bahkan ada yang memplesetkan Lion Air singkatan dari Late Is Our Name.

“Akibat Lion Air ketagihan delay, maskapai itu pun telah dijatuhi sanksi dari oleh Kementerian Perhubungan dengan wajib mengistirahatkan 13 pesawatnya, pada Juli 2011,” jelasnya.

Maksud hukuman tersebut, sambung pria yang juga Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) tersebut, antara lain adalah agar jumlah pilot dengan jumlah armada pesawat yang ada bisa lebih proporsional. “Selalu masalah teknis untuk persiapan pesawat terbang sebelum take off. Memang ada kepentingan keselamatan penumpang kalau dibuat logikanya. Namun, tingkat delay Lion Air cukup tinggi. Apalagi delay sampai di atas tujuh jam, tentu bukan waktu yang singkat,” jelasnya.

Lalu, sambung pria berkacamata ini, mengapa maskapai tidak mencari inisiatif dengan menggunakan pesawat lain, atau mengalihkan penumpang kepada maskapai lainnya? “Kalau alasannya, misalnya tidak punya pesawat cadangan, sungguh patut Lion Air diberi sanksi yang lebih berat lagi. Karena sudah sedemikian berani bermain-main dengan pelayanan ratusan atau bahkan ribuan manusia di waktu yang lain. Apalagi kalau itu dilakukan, demi mencapai efesiensi perusahaan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wajdi mengemukakan, belajar dari kasus itu tindakan tegas harusnya dilakukan oleh pemerintah kepada maskapai Lion Air, akibat terus menurunnya layanannya akhir-akhir ini. “Lion Air diharuskan melakukan perbaikan dalam upaya meningkatkan keselamatan dan ketepatan jadwal penerbangan. Untuk itu komitmen perusahaan Lion Air harus lebih berpihak kepada penumpangnya. Kalau tidak maka upaya mengurangi produksi dengan mengistirahatkan (stand by) pesawatnya perlu ditempuh kembali,” pungkasnya. (gus/ari/jon)

Berita Sebelumnya: Kaca Kokpit Lion Air Retak, Penumpang Ngamuk

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/