30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Jadikan Sungai sebagai Wajah Kota Medan…, Yayasan Lingkar Nalar Indonesia Diskusi Bersama Awak Media

DISKUSI: Pembina YLNI, Indra Gunawan didampingi jajaran saat diskusi dengan awak media di Kedai Rumah Uwaak, Jalan Sehati/Pendidikan, Medan Perjuangan.
M IDRIS/sumut pos

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota (Pemko) Medan diminta dapat menjadikan sungai sebagai wajah kota Medan. Sebab, kota terbesar ketiga di Indonesia ini dilalui beberapa sungai yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan.

“Kota Medan pada dasarnya dibangun dengan konsep waterfront, artinya konsep pembangunan daerah atau kota yang mengedepankan alur air (sungai) sebagai perwajahan kota. Makanya, belakangan pemerintah mencoba mengembalikan konsep waterfront ini. Oleh karena itu, diminta Pemko dapat menjadikan sungai sebagai wajah kota Medan,” ujar Pembina Yayasan Lingkar Nalar Indonesia (YLNI), Indra Gunawan dalam diskusi dengan awak media di Kedai Rumah Uwaak Jalan Sehati/Pendidikan, Medan Perjuangan, Minggu (22/9).

Dikatakan Indra, upaya revitalisasi kawasan alur sungai di Medan sebenarnya sebuah harapan masyarakat namun belum terjawab. Sebab, hal ini menyangkut kewenangan pengendalian sungai dimana kewenangan itu pada pemerintah provinsi (Sumut) dan pemerintah pusat.

Namun, kini Pemko Medan mendapat dukungan penuh dari pemerintah provinsi dimana mencanangkan program revitalisasi sungai yang melintasi kota Medan, baik itu Sungai Babura, Sungai Bederah dan Sungai Deli.

Terkait program revitalisasi ini, lanjut Indra, kewajiban Pemko Medan adalah menertibkan semua bangunan yang ada di bantaran sungai. Sesuai aturan yang ada, bahwasanya kawasan pinggir sungai itu harus bebas dari bangunan baik di sebelah kiri maupun kanan hingga 15 meter. Namun fakta di lapangan ternyata sepanjang alur sungai yang ada di Medan dipenuhi dengan bangunan-bangunan dan bahkan memprihatinkan karena setiap tahunnya kerap menjadi korban banjir.

“Program revitalisasi kawasan bantaran sungai sangat kami dukung, namun hendaknya juga tidak menghilangkan kebudayaan yang sudah ada sejak lama di kawasan pinggiran sungai tersebut seperti salah satunya titi bambu yang ada di kawasan Sei Agul, Medan Barat,” jelas Indra.

Ia menyatakan, pihaknya mendorong pemerintah terhadap revitalisasi sungai terus berlanjut dan jangan sampai dihentikan. Sebab, persoalan ini menyangkut jutaan warga Medan yang tinggal di bantaran sungai.

“Alur air (sungai) dijadikan wajah kota Medan sesuai dengan konsep budaya yang diwariskan sebelumnya. Sebab, tidak dipungkiri budaya yang hilang pada alur sungai yang melintasi kota Medan menyebabkan terjadi kerusakan atau masalah, seperti banjir, hilangnya ekosistem dan lain sebagainya,” papar Indra.

Peneliti YLNI, Imam Suhada Akbar mengatakan, penerapan waterfront development di Indonesia termasuk Medan telah dimulai pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, tepatnya sejak tahun 1620. Pengembangan kawasan pemerintahan, perdagangan hingga pemukiman warga kota dilakukan di sepanjang tepian air dengan menjadikan aliran air sebagai wajah.

“Karenanya, seluruh bangunan disiapkan menghadap aliran air bukan membelakanginya. Di mana berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan di Indonesia, terdapat 166 kota yang berada di tepi air (waterfront), termasuk Medan,” ujar Imam didampingi Awidh dan Alexander Chrisse Ginting Munthe yang juga peneliti YLNI.

Imam menambahkan, pencemaran dan kekumuhan lingkungan yang berujung pada masalah banjir merupakan ancaman bagi kota-kota di tepian air, jika tidak ditata dengan baik. Problematika inilah yang diketahui bersama telah melanda Kota Medan sejak lebih dari dua dekade terakhir.

“Kami menilai perlunya serangkaian penelitian dan advokasi terkait budaya di sepanjang alur sungai yang ada di kota Medan. Kemudian, Melakukan riset data dan regulasi terkait keberadaan sungai-sungai yang melintasi Medan, serta melakukan pengawalan terhadap proses revitalisasi fungsi sungai di Medan dan juga mempersiapkan langkah-langkah mediasi menuju proses penataan kota,” pungkasnya. (ris/ila)

DISKUSI: Pembina YLNI, Indra Gunawan didampingi jajaran saat diskusi dengan awak media di Kedai Rumah Uwaak, Jalan Sehati/Pendidikan, Medan Perjuangan.
M IDRIS/sumut pos

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota (Pemko) Medan diminta dapat menjadikan sungai sebagai wajah kota Medan. Sebab, kota terbesar ketiga di Indonesia ini dilalui beberapa sungai yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan.

“Kota Medan pada dasarnya dibangun dengan konsep waterfront, artinya konsep pembangunan daerah atau kota yang mengedepankan alur air (sungai) sebagai perwajahan kota. Makanya, belakangan pemerintah mencoba mengembalikan konsep waterfront ini. Oleh karena itu, diminta Pemko dapat menjadikan sungai sebagai wajah kota Medan,” ujar Pembina Yayasan Lingkar Nalar Indonesia (YLNI), Indra Gunawan dalam diskusi dengan awak media di Kedai Rumah Uwaak Jalan Sehati/Pendidikan, Medan Perjuangan, Minggu (22/9).

Dikatakan Indra, upaya revitalisasi kawasan alur sungai di Medan sebenarnya sebuah harapan masyarakat namun belum terjawab. Sebab, hal ini menyangkut kewenangan pengendalian sungai dimana kewenangan itu pada pemerintah provinsi (Sumut) dan pemerintah pusat.

Namun, kini Pemko Medan mendapat dukungan penuh dari pemerintah provinsi dimana mencanangkan program revitalisasi sungai yang melintasi kota Medan, baik itu Sungai Babura, Sungai Bederah dan Sungai Deli.

Terkait program revitalisasi ini, lanjut Indra, kewajiban Pemko Medan adalah menertibkan semua bangunan yang ada di bantaran sungai. Sesuai aturan yang ada, bahwasanya kawasan pinggir sungai itu harus bebas dari bangunan baik di sebelah kiri maupun kanan hingga 15 meter. Namun fakta di lapangan ternyata sepanjang alur sungai yang ada di Medan dipenuhi dengan bangunan-bangunan dan bahkan memprihatinkan karena setiap tahunnya kerap menjadi korban banjir.

“Program revitalisasi kawasan bantaran sungai sangat kami dukung, namun hendaknya juga tidak menghilangkan kebudayaan yang sudah ada sejak lama di kawasan pinggiran sungai tersebut seperti salah satunya titi bambu yang ada di kawasan Sei Agul, Medan Barat,” jelas Indra.

Ia menyatakan, pihaknya mendorong pemerintah terhadap revitalisasi sungai terus berlanjut dan jangan sampai dihentikan. Sebab, persoalan ini menyangkut jutaan warga Medan yang tinggal di bantaran sungai.

“Alur air (sungai) dijadikan wajah kota Medan sesuai dengan konsep budaya yang diwariskan sebelumnya. Sebab, tidak dipungkiri budaya yang hilang pada alur sungai yang melintasi kota Medan menyebabkan terjadi kerusakan atau masalah, seperti banjir, hilangnya ekosistem dan lain sebagainya,” papar Indra.

Peneliti YLNI, Imam Suhada Akbar mengatakan, penerapan waterfront development di Indonesia termasuk Medan telah dimulai pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, tepatnya sejak tahun 1620. Pengembangan kawasan pemerintahan, perdagangan hingga pemukiman warga kota dilakukan di sepanjang tepian air dengan menjadikan aliran air sebagai wajah.

“Karenanya, seluruh bangunan disiapkan menghadap aliran air bukan membelakanginya. Di mana berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan di Indonesia, terdapat 166 kota yang berada di tepi air (waterfront), termasuk Medan,” ujar Imam didampingi Awidh dan Alexander Chrisse Ginting Munthe yang juga peneliti YLNI.

Imam menambahkan, pencemaran dan kekumuhan lingkungan yang berujung pada masalah banjir merupakan ancaman bagi kota-kota di tepian air, jika tidak ditata dengan baik. Problematika inilah yang diketahui bersama telah melanda Kota Medan sejak lebih dari dua dekade terakhir.

“Kami menilai perlunya serangkaian penelitian dan advokasi terkait budaya di sepanjang alur sungai yang ada di kota Medan. Kemudian, Melakukan riset data dan regulasi terkait keberadaan sungai-sungai yang melintasi Medan, serta melakukan pengawalan terhadap proses revitalisasi fungsi sungai di Medan dan juga mempersiapkan langkah-langkah mediasi menuju proses penataan kota,” pungkasnya. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/