27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Normalisasi Sungai di Kota Medan Diminta Pakai Cara Persuasif

SUNGAI DELI: Sejumlah warga beraktivitas di pinggir Sungai Deli. Pemko Medan diminta melakukan tindakan persuasif saat normalisasi sungai.
SUTAN SIREGAR/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Perumahan Kawasan Permukikan dan Penataan Ruang (PKPPR) Kota Medan telah mengedarkan surat kepada masyarakat sekitar pinggiran Sungai Deli, Bederah, Babura untuk segera membongkar sendiri bangunannya. Surat tersebut dilayangkan sebagai tindaklanjut rencana Pemko Medan dalam melakukan normalisasi sungai di Kota Medan, di antaranya Sungai Deli, Bederah, Babura.

Pada surat tersebut disebutkan, agar bangunan yang berada di areal sekitar, yakni 10 sampai 15 meter dari bibir ketiga sungai tersebut akan dikosongkan guna melakukan normalisasi sungai dalam rangka pengentasan masalah banjir di Kota Medan.

Menanggapi permasalahan ini, calon pimpinan DPRD Medan dari Fraksi PAN, HT Bahrumsyah menyebutkan bahwa ia sangat mendukung langkah Pemerintah Kota Medan dalam melakukan normalisasi sungai guna mengatasi masalah banjir di Kota Medan yang tak kunjung selesai.

“Kami di DPRD Medan sejak dulu selalu mendukung Pemko Medan dalam menyelesaikan masalah banjir di Kota Medan ini. Mulai dari normalisasi sungai, drainase, pengelolaan sampah, dan banyak lagi. Kalau intinya untuk mengatasi banjir, pasti kami dukung karena ini untuk kepentingan seluruh rakyat di Kota Medan,” ucap Bahrumsyah kepada Sumut Pos, Minggu (22/9).

Namun, Bahrum berpesan, agar Pemko Medan tetap menggunakan cara-cara persuasif dalam melakukan tindakan yang bertujuan menertibkan bangunan-bangunan yang ada di pinggiran sejumlah sungai yang ada di Kota Medan, termasuk sungai Bederah.

“Tapi jangan lupa, upaya penertiban itu jangan sampai melukai hati rakyat. Tertib, tentu harus tertib dan semua yang tidak tertib maka harus ditertibkan sesuai Perda yang berlaku. Tapi ingat, tetap harus mengedepankan cara-cara yang persuasif dan kekeluargaan terhadap rakyat. Jangan sampai rakyat merasa terintimidasi oleh cara-cara yang dilakukan oleh Pemko Medan,” ujarnya.

Selain itu, kata Bahrum, Pemko Medan juga seharusnya mencari solusi dari setiap persoalan yang ada di Kota Medan agar setiap tindakan penegakan Perda tidak terkesan menindas rakyat kecil, melainkan murni upaya penertiban yang memang harus dilakukan.

“Kalau memang katanya bagi yang tanahnya punya sertifikat akan diberi biaya ganti rugi, ya tentu itu bagus. Tapi jangan lupa, beri ganti rugi yang sepadan, bukan sekadar ganti rugi tapi jauh dibawah harga yang seharusnya, terlepas siapapun itu yang akan membayarkan biaya ganti ruginya,” katanya.

Sedangkan bagi mereka masyarakat yang disebut ‘penghuni liar’ atau tidak memiliki alas hak atas tanah yang dibangun tersebut, memang sebuah pelanggaran Perda yang nyata. Artinya, mereka memang jelas tidak boleh ada bahkan sampai mendirikan bangunan disitu.

“Tapi yang jadi persoalannya, kenapa mereka bisa menempati bangunan itu hingga bertahun-tahun? Ini bagaimana ceritanya? Kalau mereka digusur tanpa ada solusi lain, ya tidak benar juga. Pemerintah harus ada ditengah-tengah masyarakat dan memberikan solusi sebelum adanya penertiban,” terang Bahrum.

Untuk itu, lanjut Bahrum, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Pemko Medan saat ini, yakni melakukan pendataan terhadap warga yang memiliki sertifikat tanah di areal tersebut dan menetapkan harga yang pantas dalam biaya ganti ruginya. Kedua, pemerintah harus memberikan solusi bagi mereka yang memang tidak punya sertifikat.

“Seperti apa solusinya, saya fikir Pemko Medan bisa mencari jalan keluarnya. Ketiga, penertiban harus merata. Jangan bangunan warga kecil saja yang digusur, sedangkan bangunan mewah seperti komplek perumahan mewah yang turut memakan pinggiran sungai malah dibiarkan supaya jelas dimata masyarakat bahwa ini murni penegakan Perda, tak ada tebang pilih antara yang kaya dan yang tidak,” jelasnya.

Dilanjutkan Bahrum, ada satu hal lagi yang harus dilakukan oleh Pemerintah, yakni segera melakukan penertiban terhadap pelanggaran Perda tanpa terkecuali, tanpa menunda apalagi sampai menbiarkannya hingga puluhan tahun.

“Di situ sisi, benar, ini pelanggaran. Tapi disisi lain, kenapa harus menunggu puluhan tahun baru ditertibkan? Maka mulai sekarang Pemko harus menertib semua pelanggaran yang baru saja dilakukan, jangan ada pembiaran hingga berlarut-larut, begitu sudah ada kepentingan baru ditertibkan dan tentu sudah sulit untuk menertibkannya. Baik pelanggaran lama, pelanggaran baru, bangunan si kaya, bangunan si miskin, semua harus ditertibkan. Jadi jelas, Pemko itu ingin Kota Medan supaya tertib, bukan ingin menindas rakyat kecil,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Pemeritah Kota (Pemko) Medan melalui Dinas Perumahan Kawasan Pemukikan Penataan Ruang (PKPPR) telah melayangkan surat kepada masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Deli, Bederah, Babura untuk membongkar sendiri bangunannya.

Masyarakat yang keberatan dengan kebijakan tersebut pun membentuk Aliansi Warga Sungai Bederah, Deli dan Babura (AWAS BEDEBAR). Aliansi itu merupakan kesepakatan antara warga pinggiran sungai yang bertemu dengan sejumlah aktivis di Yayasan Pusaka Indonesia. Aliansi yang digawangi pakar agraria Edy Ikhsan itu pun melakukan beberapa langkah, diantaranya mempertanyakan kejelasan tentang surat tersebut. (map/ila)

SUNGAI DELI: Sejumlah warga beraktivitas di pinggir Sungai Deli. Pemko Medan diminta melakukan tindakan persuasif saat normalisasi sungai.
SUTAN SIREGAR/SUMUT POS

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Perumahan Kawasan Permukikan dan Penataan Ruang (PKPPR) Kota Medan telah mengedarkan surat kepada masyarakat sekitar pinggiran Sungai Deli, Bederah, Babura untuk segera membongkar sendiri bangunannya. Surat tersebut dilayangkan sebagai tindaklanjut rencana Pemko Medan dalam melakukan normalisasi sungai di Kota Medan, di antaranya Sungai Deli, Bederah, Babura.

Pada surat tersebut disebutkan, agar bangunan yang berada di areal sekitar, yakni 10 sampai 15 meter dari bibir ketiga sungai tersebut akan dikosongkan guna melakukan normalisasi sungai dalam rangka pengentasan masalah banjir di Kota Medan.

Menanggapi permasalahan ini, calon pimpinan DPRD Medan dari Fraksi PAN, HT Bahrumsyah menyebutkan bahwa ia sangat mendukung langkah Pemerintah Kota Medan dalam melakukan normalisasi sungai guna mengatasi masalah banjir di Kota Medan yang tak kunjung selesai.

“Kami di DPRD Medan sejak dulu selalu mendukung Pemko Medan dalam menyelesaikan masalah banjir di Kota Medan ini. Mulai dari normalisasi sungai, drainase, pengelolaan sampah, dan banyak lagi. Kalau intinya untuk mengatasi banjir, pasti kami dukung karena ini untuk kepentingan seluruh rakyat di Kota Medan,” ucap Bahrumsyah kepada Sumut Pos, Minggu (22/9).

Namun, Bahrum berpesan, agar Pemko Medan tetap menggunakan cara-cara persuasif dalam melakukan tindakan yang bertujuan menertibkan bangunan-bangunan yang ada di pinggiran sejumlah sungai yang ada di Kota Medan, termasuk sungai Bederah.

“Tapi jangan lupa, upaya penertiban itu jangan sampai melukai hati rakyat. Tertib, tentu harus tertib dan semua yang tidak tertib maka harus ditertibkan sesuai Perda yang berlaku. Tapi ingat, tetap harus mengedepankan cara-cara yang persuasif dan kekeluargaan terhadap rakyat. Jangan sampai rakyat merasa terintimidasi oleh cara-cara yang dilakukan oleh Pemko Medan,” ujarnya.

Selain itu, kata Bahrum, Pemko Medan juga seharusnya mencari solusi dari setiap persoalan yang ada di Kota Medan agar setiap tindakan penegakan Perda tidak terkesan menindas rakyat kecil, melainkan murni upaya penertiban yang memang harus dilakukan.

“Kalau memang katanya bagi yang tanahnya punya sertifikat akan diberi biaya ganti rugi, ya tentu itu bagus. Tapi jangan lupa, beri ganti rugi yang sepadan, bukan sekadar ganti rugi tapi jauh dibawah harga yang seharusnya, terlepas siapapun itu yang akan membayarkan biaya ganti ruginya,” katanya.

Sedangkan bagi mereka masyarakat yang disebut ‘penghuni liar’ atau tidak memiliki alas hak atas tanah yang dibangun tersebut, memang sebuah pelanggaran Perda yang nyata. Artinya, mereka memang jelas tidak boleh ada bahkan sampai mendirikan bangunan disitu.

“Tapi yang jadi persoalannya, kenapa mereka bisa menempati bangunan itu hingga bertahun-tahun? Ini bagaimana ceritanya? Kalau mereka digusur tanpa ada solusi lain, ya tidak benar juga. Pemerintah harus ada ditengah-tengah masyarakat dan memberikan solusi sebelum adanya penertiban,” terang Bahrum.

Untuk itu, lanjut Bahrum, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh Pemko Medan saat ini, yakni melakukan pendataan terhadap warga yang memiliki sertifikat tanah di areal tersebut dan menetapkan harga yang pantas dalam biaya ganti ruginya. Kedua, pemerintah harus memberikan solusi bagi mereka yang memang tidak punya sertifikat.

“Seperti apa solusinya, saya fikir Pemko Medan bisa mencari jalan keluarnya. Ketiga, penertiban harus merata. Jangan bangunan warga kecil saja yang digusur, sedangkan bangunan mewah seperti komplek perumahan mewah yang turut memakan pinggiran sungai malah dibiarkan supaya jelas dimata masyarakat bahwa ini murni penegakan Perda, tak ada tebang pilih antara yang kaya dan yang tidak,” jelasnya.

Dilanjutkan Bahrum, ada satu hal lagi yang harus dilakukan oleh Pemerintah, yakni segera melakukan penertiban terhadap pelanggaran Perda tanpa terkecuali, tanpa menunda apalagi sampai menbiarkannya hingga puluhan tahun.

“Di situ sisi, benar, ini pelanggaran. Tapi disisi lain, kenapa harus menunggu puluhan tahun baru ditertibkan? Maka mulai sekarang Pemko harus menertib semua pelanggaran yang baru saja dilakukan, jangan ada pembiaran hingga berlarut-larut, begitu sudah ada kepentingan baru ditertibkan dan tentu sudah sulit untuk menertibkannya. Baik pelanggaran lama, pelanggaran baru, bangunan si kaya, bangunan si miskin, semua harus ditertibkan. Jadi jelas, Pemko itu ingin Kota Medan supaya tertib, bukan ingin menindas rakyat kecil,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Pemeritah Kota (Pemko) Medan melalui Dinas Perumahan Kawasan Pemukikan Penataan Ruang (PKPPR) telah melayangkan surat kepada masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Deli, Bederah, Babura untuk membongkar sendiri bangunannya.

Masyarakat yang keberatan dengan kebijakan tersebut pun membentuk Aliansi Warga Sungai Bederah, Deli dan Babura (AWAS BEDEBAR). Aliansi itu merupakan kesepakatan antara warga pinggiran sungai yang bertemu dengan sejumlah aktivis di Yayasan Pusaka Indonesia. Aliansi yang digawangi pakar agraria Edy Ikhsan itu pun melakukan beberapa langkah, diantaranya mempertanyakan kejelasan tentang surat tersebut. (map/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/