32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

8 Tiang Penyangga Sesuai Mata Angin

Masjid Raya Al Mashun

Masjid Raya Al Mashun, di Jalan Sisingamangaraja Medan, siapa yang tidak tahu? Dia menjadi satu bukti dari lambang kebesaran Kesultanan Deli pada masanya. Kini dia masih terpelihara dan tetap menjadi ikon Kota Medan. Seperti apa masjid itu sebenarnya?

ARIE SISWORO, Medan

INDAH: Suasana Masjid Raya Al Mashun, Senin (8/10) lalu.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
INDAH: Suasana Masjid Raya Al Mashun, Senin (8/10) lalu.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Lantunan suara azan menggema di seantero Kota Medan sebagai penanda masuknya waktu salat zuhur. Gaung azan terdengar saling sahut dari satu masjid ke masjid lainnya. Tepat sekira pukul 12.30 WIB, beberapa waktu lalu, laju sepeda motor yang dikendarai Sumut Pos berhenti di luar pagar Masjid Raya Al Mashun, Medan.

Seorang petugas parkir, langsung menyambut dan mengarahkan Sumut Pos untuk memarkirkan sepeda motor di sisi sebelah kanan pintu gerbang masjid itu. “Sini Bang. Mudah-mudahan aman, Bang,” kata petugas parkir yang terlihat masih muda ini.

Ada beberapa sepeda motor lainnya, yang juga terparkir di tempat yang sama. Begitu halnya, beberapa mobil dari jenis dan merek yang berbeda berjejer di bagian luar pagar masjid yang berhadapan dengan Taman Sri Deli.

Masuk ke halaman dalam masjid, pintu utama masjid sudah menganga menyambut masyarakat yang akan menunaikan ibadah salat zuhur, termasuk Sumut Pos. Sesampainya di anak tangga pertama di depan pintu utama masjid Sumut Pos disambut seorang pria yang mengenakan kaus biru dan jins warna abu-abu serta mengenakan lobe (kopiah haji), menenteng sandal warna biru dan menyodorkannya kepada Sumut Pos.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu pun langsung diterima. Sepatu kini berganti dengan sendal yang ditawarkan lelaki itu. Ya, dia adalah pria yang bertugas sebagai penjaga sandal dan sepatu para jamaah yang hendak melaksanakan ibadah di masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari Istana Maimun itu. Tak perlu lama, lelaki itu pun memberikan potongan kertas kecil warna cokelat bertuliskan angka 27; tanda bukti kepemilikan sepatu yang disimpannya..
Usai mengambil air wudhu di sebuah bangunan di sisi timur masjid, Sumut Pos pun langsung memasuki masjid itu. Setibanya di dalam masjid, delapan tiang besar kokoh penyanggah kubah masjid dengan ornamen bagian atas layaknya masjid-masjid di Timur Tengah, seolah langsung mempersilahkan Sumut Pos untuk masuk ke dalam untuk beribadah.

Saat itu imam yang memimpin salat adalah Ismail. Ada empat shaf terpenuhi pada salat itu. Usai salat, tampak sejumlah jamaah rebahan di atas ambal masjid. Sumut Pos juga sempat melihat-lihat ornamen dan arsitektur dalam masjid. Aroma perpaduan Arab, Eropa, dan Asia Timur sangat terasa.
Sumut Pos kemudian menemui seorang pengurus masjid, yakni Hamdan (40), warga Jalan Ayahanda, Gatot Subroto di ruang pengurus masjid, tepatnya  di sisi barat ruang solat.

Dari penjelasan Hamdan, yang menjadi pengurus masjid sejak usia 23 tahun ini, Masjid Raya Al Mashun mulai dibangun pada 1 Rajab 1324 Hijriah atau 21 Agustus 1906 Masehi dan selesai tiga tahun kemudian pada tanggal 19 September 1909. Masjid dibangun saat Sultan Tuanku Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah menjabat sebagai Sultan Deli yang ke-9.

“Arsiteknya dari Eropa. Saya tidak tahu namanya dari negara mana. Dulunya, sebelum dibangun, sultan sempat mengutus beberapa orang untuk pergi ke Timur Tengah, Eropa dan Asia, untuk mempelajari arsitektur. Setelah pulang, dengan membawa bekal, barulah ditunjuk arsiteknya. Barulah pembangunan dilakukan. Pekerjanya dari orang sini. Dan hanya tiga tahun, masjid ini selesai. Dan diresmikan di masa Sultan Makmun Al Rasyid juga,” urai Hamdan yang saat itu mengenakan baju koko putih dan lobe putih.

Diuraikannya lagi, luas keseluruhan bangunan dan area makam para raja dan keturunan raja di sisi barat masjid seluas 2,5 hektare. “Puncak tertinggi masjid 25 meter. Biaya pembangunan masjid ini, mutlak dari keuangan Kesultanan Deli. Saat itu ada dari pajak, hasil bumi dan sebagainya. Seingat saya, totalnya sekitar 400 ribu Gulden (mata uang Belanda). Sekarang kan nggak ada mata uang Gulden lagi. Belanda sudah pakai mata uang Euro. Kalau beberapa tahun lalu, satu Gulden sama dengan Rp5.000,” rincinya.

Secara detail, Hamdan kembali mengisahkan, marmer dan porselen yang terpasang berasal dari Eropa. Begitu halnya dengan jendela-jendela masjid yang juga beraroma Eropa, sedangkan ornamen dan ukiran bergaya Arab. Sentuhan Asia Timur, baru terlihat pada pintu-pintu masjid. “Ornamen yang warna hijau itu kalau diperhatikan betul-betul seperti ornamen Masjid Nabawi di Madinah. Lampu gantungnya dari Amsterdam, Belanda. Nah pintu-pintunya, ukirannya campuran China dan Melayu,” terang Hamdan.

Untuk delapan tiang besar yang berdiri kokoh di area salat dalam masjid, Hamdan, mengungkapkan didasarkan delapan penjuru mata angin. “Ini segi delapan, menandakan delapan mata angin,” ucapnya.

Menurut Hamdan, untuk kapasitas dalam ruangan dan teras masjid bisa menampung sebanyak 2.000 jamaah. Namun, bila hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lainnya bisa menampung 6.000 jamaah.

“Apalagi, ada agenda Ramadan Fair. Kemudian, tim-tim Safari Ramadan dari pusat juga sering kemari. Ya, menteri-menteri. Idul Fitri misalnya, bisa mencapai 6.000 jamaah. Itu sampai ke jalan,” ungkapnya sembari menunjuk Hotel Madani Medan, yang tepat berdiri di depan masjid tersebut.

Beberapa tokoh yang sempat datang ke Masjid Raya Al Mashun, di antaranya mantan Wakil Presiden (Wapres) Almarhum Adam Malik. Mantan Wapres lainnya, Jusuf Kalla juga pernah datang ke masjid itu. Sejumlah menteri yang masih menjabat saat ini, seperti Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Agama Surya Dharma Ali, dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat datang.

“Pak SBY pun sudah pernah datang, tapi waktu itu tidak ke dalam masjid. Pak SBY datang waktu jadi inspektur upacara pemakaman Gubernur Sumatera Utara Alm HT Rizal Nurdin, sekitar tahun 2004. Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho juga pernah jadi imam, AY Nasution juga pernah jadi imam saat masih aktif jadi Pangkostrad, saat ada acara terjun payung,” paparnya.

Untuk agenda rutin yang diselenggarakan masjid, antara lain pengajian, kuliah subuh dan lainnya. Selain itu pula, Masjid Raya Al Mashun juga sering jadi tempat untuk menikahkan pasangan yang akan berumah tangga.

“Pengajian, kuliah subuh, digelar setelah magrib. Setidaknya seminggu kali. Sering jadi tempat nikah. Semua boleh, sebatas tidak bentrok. Datok Syamsul Arifin (Gubsu Nonaktif), pernah jadi saksi nikah di sini,” katanya.

Untuk imam masjid, Hamdan, mengatakan untuk Imam setiap waktu salat berbeda satu dan lainnya. “Kalau magrib dan isya, biasanya imamnya satu. Karena waktunya berdekatan. Kalau waktu salat lainnya, berbeda-beda. Salat zuhur tadi, harusnya imamnya H Riwayat Syah, sebagai imam rawatib atau harian. Karena tadi ada halangan, maka digantikan sama jamaah masjid, Pak Ismail tadi,” pungkasnya. (bersambung)

Masjid Raya Al Mashun

Masjid Raya Al Mashun, di Jalan Sisingamangaraja Medan, siapa yang tidak tahu? Dia menjadi satu bukti dari lambang kebesaran Kesultanan Deli pada masanya. Kini dia masih terpelihara dan tetap menjadi ikon Kota Medan. Seperti apa masjid itu sebenarnya?

ARIE SISWORO, Medan

INDAH: Suasana Masjid Raya Al Mashun, Senin (8/10) lalu.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
INDAH: Suasana Masjid Raya Al Mashun, Senin (8/10) lalu.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Lantunan suara azan menggema di seantero Kota Medan sebagai penanda masuknya waktu salat zuhur. Gaung azan terdengar saling sahut dari satu masjid ke masjid lainnya. Tepat sekira pukul 12.30 WIB, beberapa waktu lalu, laju sepeda motor yang dikendarai Sumut Pos berhenti di luar pagar Masjid Raya Al Mashun, Medan.

Seorang petugas parkir, langsung menyambut dan mengarahkan Sumut Pos untuk memarkirkan sepeda motor di sisi sebelah kanan pintu gerbang masjid itu. “Sini Bang. Mudah-mudahan aman, Bang,” kata petugas parkir yang terlihat masih muda ini.

Ada beberapa sepeda motor lainnya, yang juga terparkir di tempat yang sama. Begitu halnya, beberapa mobil dari jenis dan merek yang berbeda berjejer di bagian luar pagar masjid yang berhadapan dengan Taman Sri Deli.

Masuk ke halaman dalam masjid, pintu utama masjid sudah menganga menyambut masyarakat yang akan menunaikan ibadah salat zuhur, termasuk Sumut Pos. Sesampainya di anak tangga pertama di depan pintu utama masjid Sumut Pos disambut seorang pria yang mengenakan kaus biru dan jins warna abu-abu serta mengenakan lobe (kopiah haji), menenteng sandal warna biru dan menyodorkannya kepada Sumut Pos.

Tanpa pikir panjang, tawaran itu pun langsung diterima. Sepatu kini berganti dengan sendal yang ditawarkan lelaki itu. Ya, dia adalah pria yang bertugas sebagai penjaga sandal dan sepatu para jamaah yang hendak melaksanakan ibadah di masjid yang berjarak sekitar 200 meter dari Istana Maimun itu. Tak perlu lama, lelaki itu pun memberikan potongan kertas kecil warna cokelat bertuliskan angka 27; tanda bukti kepemilikan sepatu yang disimpannya..
Usai mengambil air wudhu di sebuah bangunan di sisi timur masjid, Sumut Pos pun langsung memasuki masjid itu. Setibanya di dalam masjid, delapan tiang besar kokoh penyanggah kubah masjid dengan ornamen bagian atas layaknya masjid-masjid di Timur Tengah, seolah langsung mempersilahkan Sumut Pos untuk masuk ke dalam untuk beribadah.

Saat itu imam yang memimpin salat adalah Ismail. Ada empat shaf terpenuhi pada salat itu. Usai salat, tampak sejumlah jamaah rebahan di atas ambal masjid. Sumut Pos juga sempat melihat-lihat ornamen dan arsitektur dalam masjid. Aroma perpaduan Arab, Eropa, dan Asia Timur sangat terasa.
Sumut Pos kemudian menemui seorang pengurus masjid, yakni Hamdan (40), warga Jalan Ayahanda, Gatot Subroto di ruang pengurus masjid, tepatnya  di sisi barat ruang solat.

Dari penjelasan Hamdan, yang menjadi pengurus masjid sejak usia 23 tahun ini, Masjid Raya Al Mashun mulai dibangun pada 1 Rajab 1324 Hijriah atau 21 Agustus 1906 Masehi dan selesai tiga tahun kemudian pada tanggal 19 September 1909. Masjid dibangun saat Sultan Tuanku Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah menjabat sebagai Sultan Deli yang ke-9.

“Arsiteknya dari Eropa. Saya tidak tahu namanya dari negara mana. Dulunya, sebelum dibangun, sultan sempat mengutus beberapa orang untuk pergi ke Timur Tengah, Eropa dan Asia, untuk mempelajari arsitektur. Setelah pulang, dengan membawa bekal, barulah ditunjuk arsiteknya. Barulah pembangunan dilakukan. Pekerjanya dari orang sini. Dan hanya tiga tahun, masjid ini selesai. Dan diresmikan di masa Sultan Makmun Al Rasyid juga,” urai Hamdan yang saat itu mengenakan baju koko putih dan lobe putih.

Diuraikannya lagi, luas keseluruhan bangunan dan area makam para raja dan keturunan raja di sisi barat masjid seluas 2,5 hektare. “Puncak tertinggi masjid 25 meter. Biaya pembangunan masjid ini, mutlak dari keuangan Kesultanan Deli. Saat itu ada dari pajak, hasil bumi dan sebagainya. Seingat saya, totalnya sekitar 400 ribu Gulden (mata uang Belanda). Sekarang kan nggak ada mata uang Gulden lagi. Belanda sudah pakai mata uang Euro. Kalau beberapa tahun lalu, satu Gulden sama dengan Rp5.000,” rincinya.

Secara detail, Hamdan kembali mengisahkan, marmer dan porselen yang terpasang berasal dari Eropa. Begitu halnya dengan jendela-jendela masjid yang juga beraroma Eropa, sedangkan ornamen dan ukiran bergaya Arab. Sentuhan Asia Timur, baru terlihat pada pintu-pintu masjid. “Ornamen yang warna hijau itu kalau diperhatikan betul-betul seperti ornamen Masjid Nabawi di Madinah. Lampu gantungnya dari Amsterdam, Belanda. Nah pintu-pintunya, ukirannya campuran China dan Melayu,” terang Hamdan.

Untuk delapan tiang besar yang berdiri kokoh di area salat dalam masjid, Hamdan, mengungkapkan didasarkan delapan penjuru mata angin. “Ini segi delapan, menandakan delapan mata angin,” ucapnya.

Menurut Hamdan, untuk kapasitas dalam ruangan dan teras masjid bisa menampung sebanyak 2.000 jamaah. Namun, bila hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lainnya bisa menampung 6.000 jamaah.

“Apalagi, ada agenda Ramadan Fair. Kemudian, tim-tim Safari Ramadan dari pusat juga sering kemari. Ya, menteri-menteri. Idul Fitri misalnya, bisa mencapai 6.000 jamaah. Itu sampai ke jalan,” ungkapnya sembari menunjuk Hotel Madani Medan, yang tepat berdiri di depan masjid tersebut.

Beberapa tokoh yang sempat datang ke Masjid Raya Al Mashun, di antaranya mantan Wakil Presiden (Wapres) Almarhum Adam Malik. Mantan Wapres lainnya, Jusuf Kalla juga pernah datang ke masjid itu. Sejumlah menteri yang masih menjabat saat ini, seperti Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Agama Surya Dharma Ali, dan bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sempat datang.

“Pak SBY pun sudah pernah datang, tapi waktu itu tidak ke dalam masjid. Pak SBY datang waktu jadi inspektur upacara pemakaman Gubernur Sumatera Utara Alm HT Rizal Nurdin, sekitar tahun 2004. Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho juga pernah jadi imam, AY Nasution juga pernah jadi imam saat masih aktif jadi Pangkostrad, saat ada acara terjun payung,” paparnya.

Untuk agenda rutin yang diselenggarakan masjid, antara lain pengajian, kuliah subuh dan lainnya. Selain itu pula, Masjid Raya Al Mashun juga sering jadi tempat untuk menikahkan pasangan yang akan berumah tangga.

“Pengajian, kuliah subuh, digelar setelah magrib. Setidaknya seminggu kali. Sering jadi tempat nikah. Semua boleh, sebatas tidak bentrok. Datok Syamsul Arifin (Gubsu Nonaktif), pernah jadi saksi nikah di sini,” katanya.

Untuk imam masjid, Hamdan, mengatakan untuk Imam setiap waktu salat berbeda satu dan lainnya. “Kalau magrib dan isya, biasanya imamnya satu. Karena waktunya berdekatan. Kalau waktu salat lainnya, berbeda-beda. Salat zuhur tadi, harusnya imamnya H Riwayat Syah, sebagai imam rawatib atau harian. Karena tadi ada halangan, maka digantikan sama jamaah masjid, Pak Ismail tadi,” pungkasnya. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/