25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Disnaker: Belum Dibahas, kok Sudah Ribut

Ilustrasi UMP

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dinas Tenaga Kerja Sumatera Utara enggan responsif soal ‘psywar’ atau perang urat syaraf elemen buruh, yang mengancam akan turun ke jalan dan menggugat surat edaran Menaker Hanif Dhakiri atas kenaikan Upah Minimun Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen. Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga tak mau buru-buru merespon segala pernyataan elemen buruh, sebelum ada ketetapan soal UMP 2019.

Sesuai rencana, Pemprovsu akan melaksanakan pembahasan UMP 2019 pada hari ini, Selasa (23/10), bersama Dewan Pengupahan termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut dan perwakilan buruh di dalamnya.

“Dibahas saja belum, kok sudah ribut segala. Sudah kami agendakan dan undang Dewan Pengupahan untuk bersama-sama membahas UMP besok pagi (hari ini) di Hotel Putra Mulia Medan,” kata Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga kepada Sumut Pos, Senin (22/10).

“Kan belum ada kesepakatan (UMP). Dari mana pula cerita akan menggugat. Media massa juga suka menghangatkan suasana. Padahal kenaikan yang 8,03 persen itu saja baru mau kita bahas. Sah-sah saja kalau buruh meminta naik 20 hingga 30 persen, semua pendapat kan perlu kita dengar,” imbuhnya.

Namun begitu, pihaknya menegaskan bahwa permintaan buruh atas kenaikan UMP 2019 sampai 30 persen, teramat sulit diakomodir sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Sebab dalam regulasi dimaksud sudah jelas aturan main maupun formulasi penghitungan UMP.

“UMP ini sebagai upah penyanggah yang perlu kita tetapkan setiap tahun. Kalau UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tentu yang menetapkan pemerintah kabupaten/kota, yang nantinya disampaikan ke provinsi untuk meminta persetujuan gubernur,” terang Maruli.

Lantas bagaimana soal kebijakan kenaikan UMP 8,03 persen tahun depan? Ia menyebut tentu hal itu akan disesuaikan dengan PP 78/2015 waktu pembahasan nanti. “Nah, mengenai usulan buruh agar kenaikan UMP 20-30 persen, itukan baru bersifat permintaan. Apalagi serikat buruh inikan banyak, semua bisa saja menyampaikan pendapat tapi nantinya akan merujuk hasil rapat Dewan Pengupahan kabupaten/kota,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, penolakan terhadap penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen terus disuarakan elemen buruh. Bahkan untuk menolak kebijakan menaker, para buruh bakal melakukan aksi turun ke jalan dan siap melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia melalui Sekretaris Wilayah I Sumatera DPP (K), Arsula Gultom menyatakan, mereka tetap menolak tegas kenaikan UMP 8,03 persen. Menurutnya, penetapan itu membangkitkan kembali rezim upah murah yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita minta, agar PP Nomor 78 Tahun 2015 segera dicabut, karena dalam peraturan itu, Tripartit penentuan upah hilang. Penetapan itu juga untuk membangkitkan kembali rezim upah murah. Kalau pemerintah tetap berkeras menetapkan UMP 8,03 persen, kita akan melakukan gugatan ke PTUN,” ucapnya, Minggu (21/10).

Dijelaskan aktivis buruh ini, pihaknya masih menagih janji Presiden Jokowi saat kampanye 2014 silam, kesejahteraan terhadap buruh yang dijanjikan belum direalisasikan. Karena, kebijakan menaker telah merugikan buruh secara nasional dan di setiap daerah.

“Secara umum memang naik, tapi kenaikan itu keliru dan merugikan buruh. Artinya, buruh tetap saja tidak sejahtera. Secara hukum PP 78/2015 telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” bebernya. (prn)

Ilustrasi UMP

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dinas Tenaga Kerja Sumatera Utara enggan responsif soal ‘psywar’ atau perang urat syaraf elemen buruh, yang mengancam akan turun ke jalan dan menggugat surat edaran Menaker Hanif Dhakiri atas kenaikan Upah Minimun Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen. Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga tak mau buru-buru merespon segala pernyataan elemen buruh, sebelum ada ketetapan soal UMP 2019.

Sesuai rencana, Pemprovsu akan melaksanakan pembahasan UMP 2019 pada hari ini, Selasa (23/10), bersama Dewan Pengupahan termasuk Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut dan perwakilan buruh di dalamnya.

“Dibahas saja belum, kok sudah ribut segala. Sudah kami agendakan dan undang Dewan Pengupahan untuk bersama-sama membahas UMP besok pagi (hari ini) di Hotel Putra Mulia Medan,” kata Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Sumut, Maruli Silitonga kepada Sumut Pos, Senin (22/10).

“Kan belum ada kesepakatan (UMP). Dari mana pula cerita akan menggugat. Media massa juga suka menghangatkan suasana. Padahal kenaikan yang 8,03 persen itu saja baru mau kita bahas. Sah-sah saja kalau buruh meminta naik 20 hingga 30 persen, semua pendapat kan perlu kita dengar,” imbuhnya.

Namun begitu, pihaknya menegaskan bahwa permintaan buruh atas kenaikan UMP 2019 sampai 30 persen, teramat sulit diakomodir sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Sebab dalam regulasi dimaksud sudah jelas aturan main maupun formulasi penghitungan UMP.

“UMP ini sebagai upah penyanggah yang perlu kita tetapkan setiap tahun. Kalau UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) tentu yang menetapkan pemerintah kabupaten/kota, yang nantinya disampaikan ke provinsi untuk meminta persetujuan gubernur,” terang Maruli.

Lantas bagaimana soal kebijakan kenaikan UMP 8,03 persen tahun depan? Ia menyebut tentu hal itu akan disesuaikan dengan PP 78/2015 waktu pembahasan nanti. “Nah, mengenai usulan buruh agar kenaikan UMP 20-30 persen, itukan baru bersifat permintaan. Apalagi serikat buruh inikan banyak, semua bisa saja menyampaikan pendapat tapi nantinya akan merujuk hasil rapat Dewan Pengupahan kabupaten/kota,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, penolakan terhadap penetapan kenaikan UMP 2019 sebesar 8,03 persen terus disuarakan elemen buruh. Bahkan untuk menolak kebijakan menaker, para buruh bakal melakukan aksi turun ke jalan dan siap melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dewan Pengurus Pusat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia melalui Sekretaris Wilayah I Sumatera DPP (K), Arsula Gultom menyatakan, mereka tetap menolak tegas kenaikan UMP 8,03 persen. Menurutnya, penetapan itu membangkitkan kembali rezim upah murah yang mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita minta, agar PP Nomor 78 Tahun 2015 segera dicabut, karena dalam peraturan itu, Tripartit penentuan upah hilang. Penetapan itu juga untuk membangkitkan kembali rezim upah murah. Kalau pemerintah tetap berkeras menetapkan UMP 8,03 persen, kita akan melakukan gugatan ke PTUN,” ucapnya, Minggu (21/10).

Dijelaskan aktivis buruh ini, pihaknya masih menagih janji Presiden Jokowi saat kampanye 2014 silam, kesejahteraan terhadap buruh yang dijanjikan belum direalisasikan. Karena, kebijakan menaker telah merugikan buruh secara nasional dan di setiap daerah.

“Secara umum memang naik, tapi kenaikan itu keliru dan merugikan buruh. Artinya, buruh tetap saja tidak sejahtera. Secara hukum PP 78/2015 telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” bebernya. (prn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/