MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo mengatakan, Pemprov Sumut hanya menghitung berdasarkan inflasi yang rerata 0,93 persen saja. Padahal menurut aturannya, juga bisa ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata 1,78 persen, sesuai data BPS tahun 2020.
Artinya, kata Willy, ada sekitar 2,71 persen inflasi plus pertumbuhan ekonomi dan melihat kondisional hubungan industrial lainya, ditambah alasan buruh tidak naik UMP-nya pada 2021 lalu. “Harusnya UMP Sumut boleh naik di atas 7 pesen, tinggal dudukan semua pihak (tripartit) untuk memusyawarahkan kesepakatan upah laik bagi buruh,” kata Willy kepada wartawan, Senin (22/11).
Lebih lanjut, Willy menyebut, Gubernur dapat menaikkan UMP itu jika tidak sepenuhnya memakai panduan variabel penetapan upah secara nasional yang mengacu PP 36/2021 serta ancaman Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja. “Tapi Gubsu tidak berani mengeluarkan diskresinya,” sebutnya.
Hingga saat ini, kata Willy, kaum buruh di seluruh Indonesia masih gencar menolak pemberlakuan UMP mengacu pada PP36. Karena, kalau semua dibaca tentang penetapan UMP dalam PP36 tersebut, peran dewan pengupahan sudah tidak ada, bahkan penghitungan kebutuhan hidup layak (KHL) bagi buruh sudah dihilangkan, dan banyak lagi hak-hak buruh atas upah yang tereduksi.
“Bagaimana mungkin upah buruh dihitung berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta variabel paritas daya beli, dan tingkat penyerapan tenaga kerja? Sementara UU dan PP terdahulu menghitung kebutuhan pokok kehidupan buruh untuk bertahan hidup, itu yang dinamakan KHL, yang seharusnya dalam dihitung sandang, pangan, papan dan sosial kehidupan buruh. Itu pun dihitung hanya buruh lajang, istri dan anak-anak tidak dihitung,” tegasnya.
Tak Cukup Bayar Tarif Parkir
Willy menilai, kenaikan UMP tahun 2022 ini jika dihitung per hari, maka tidak cukup untuk membayar tarif parkir sepeda motor. Disebutnya, jika kenaikannya hanya Rp23.186, dibagikan 25 hari kerja, maka perharinya tidak sampai Rp1.000.
“Kita ambil lagi contoh lagi UMK Medan Tahun 2021 sebesar Rp3.329.867. Kalau 1 persen, berarti kenaikan hanya kurang lebih Rp33 ribu, ini juga tidak sampai Rp2.000 per hari. Sementara, kita semua bayar parkir sepeda motor saja Rp2.000 setiap hari, bahkan bisa berkali-kali dalam sehari. Ini sangat terlalu, dan miris nasib kaum buruh saat ini,” ungkap Willy.
Dia menambahkan, kenaikan yang minim tersebut sebagai bentuk diskriminasi Pemprov Sumut terhadap kaum buruh, bahkan tidak peka dan peduli terhadap buruh. “Tahun lalu UMP dan UMK se-Sumut tidak naik. Ia bilang prihatin kepada pengusaha. Padahal, inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu sekitar 6 persen. Kini giliran buruh sudah susah karena tidak naik gajinya, malah tetap mengabaikan tuntutan buruh,” tegasnya.
Diungkapkannya, dampak UMP dan UMK yang sudah setahun tidak naik di Sumut, menyebabkan kaum buruh tepaksa gali lubang tutup lubang. “Gajinya tidak cukup untuk makan dan membiayai kehidupannya. Sudah banyak buruh yang bekerja ganda, contohnya sudah pulang kerja dia harus narik becak atau jadi driver ojek online (Ojol), dan kerja serabutan lainnya,” ungkapnya.
Karenanya dalam waktu dekat, mereka akan menggelar aksi jika aspirasi tersebut tidak diakomodir oleh Pemprov Sumut. “Ya, kita akan siapkan aksi protes tegas atas kenaikan yang sangat menyakiti hati buruh ini, bahkan awal Desember nanti kami akan melakukan mogok kerja nasional,” tandas Ketua Partai Buruh Sumut ini.
Minta Menaker Dicopot
Penolakan terhadap UMP Sumut 2022 juga disuarakan Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal). Mereka terdiri dari 16 perwakilan aliansi Serikat Pekerja/Buruh diantaranya GSBI, SPN, FSPMI, (K) SBSI, SBSI 1992, F Serbundo, PPMI, Serbunas, FSPI, F SPM2I, SBMI Merdeka, SPR, SBMI Sumut, SBBI, FSB Lomenik, FSB Kikes.
Koordinator Gerakan Buruh Maksimal, Tony Rikson Silalahi menyampaikan, dalam audiensi yang diterima langsung Kepala BPS Sumut tersebut, 16 perwakilan serikat buruh mencatat tujuh poin penolakan atas penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022. “Pertama, ada penggunaan data yang berbeda antara kementerian tenaga kerja dengan BPS Sumut terkait data konsumsi perkapita, perorangan dengan per keluarga. Info yang kita dapat bahwa data perkapita itu angkanya Rp1.142.000, kementerian tenaga kerja mengatakan data ini adalah data konsumsi keluarga. Ternyata setelah kita berdiskusi dengan BPS Sumut, itu data perorangan, per kapita untuk satu orang,” sebut Tony usai audiensi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Senin (22/11).
Kedua, lanjutnya, data yang disajikan BPS Sumut kepada kementerian tenaga kerja tidak real/tidak update. Selanjutnya yang ketiga, survei data implasi tidak real atau tidak masiv karena hanya mendata 5 dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di Sumut. “Keempat, tidak ada data prediksi untuk penentuan upah, jadi untuk menentukan upah 2022 data yang disajikan oleh BPS kepada kementrian itu data bulan november, september 2021. Jelas prediksi data tahun 2021 ini bukan merupakan data update, karena data tahun 2022 akan ada perubahan baik pertumbuhan ekonomi, implasi dan lain-lain,” tegasnya.
Kemudian yang kelima, Gerakan Buruh Maksimal menilai, BPS Sumut hanya dijadikan “stempel” oleh pemerintah pusat untuk melegalisasi kebijakan upah murah yang diatur oleh PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan yang merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. “Yang keenam, tidak ada lagi hak demokrasi bagi pekerja buruh untuk membahas dan menentukan upahnya sendiri. Jadi hak demokrasi buruh sudah dirampas oleh pengusaha dan pemerintah pusat,” sebutnya.
Poin terakhir lanjutnya, PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan dinilai telah merampas kewenangan kepala daerah dalam membuat kebijakan di daerahnya sebagaimana dijamin oleh UU No 12 tahun 2008 tentang Otonomi daerah. “Jadi peraturan pemerintah 36 tentang pengupahan itu menabrak UU No 12 tahun 2008 tentang otonomi daerah yang lebih tinggi diatasnya. Karena otonomi daerah itu memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk membuat kebijakan di daerahnya, tapi dengan PP 36 itu, kewenangan tersebut dirampas,” tandasnya.
Selain itu, Anggiat Pasaribu, Ketua SPN Sumut yang juga hadir pada kesempatan itu menambahkan, menyangkut tujuh poin alasan penolakan tersebut, Gerakan Buruh Maksimal akan melakukan upaya-upaya sesuai hak konstituen serikat buruh yang ada. “Kami akan merencanakan akan besar-besaran dan meminta seluruh elemen buruh yang ada di Sumatera Utara agar turun ke jalan. Harapan kita ke depan penetapan UMP di Sumatera Utara harus mengacu pada PP 78,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI), Rintang Berutu menambahkan, soal kenaikan upah sebesar 0,93 persen yang terbilang kecil itu serikat pekerja/buruh akan melakukan perlawanan atas kebijakan pemerintah pusat khususnya Kementerian Tenaga kerja dalam dalam hal penetapan Upah Minimum Provinsi, yang tidak lagi mengikutsertakan dewan pengupahan dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. “Karena itu yang harus bertanggung jawab atas kenaikan upah yang sangat kecil ini adalah Menaker RI, Ida Fauziah. Maka kami meminta agar Menaker dicopot dari jabatannya,” tegasnya.
Tak Berpihak pada Buruh
Anggota DPRD Sumut, Zeira Salim Ritonga menilai, UMP Sumut 2022 yang hanya naik Rp23.186 atau menjadi Rp.2.522.609,94, jauh dari kelaikan hidup para buruh. “Saya kira kenaikan UMP Sumut 2022 masih jauh dari kata laik,” kata Zeira Salim Ritonga menjawab Sumut Pos, Senin (22/11).
Apalagi dengan kondisi saat ini, menurutnya, para buruh sudah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. “Kebijakan Gubsu akan tarif UMP buruh hanya naik 0,93 persen tidak mencerminkan keberpihakannya akan penderitaan buruh saat ini,” tegas dia.
Khusus bagi perusahaan, imbuh dia, sebenarnya adanya kenaikan itu sudah menjadi hal wajar sebab beberapa tahun ini kenaikan UMP tidak terlalu signifikan. “Kita berharap pemerintah pusat dan daerah lebih memerhatikan nasib buruh yang saat ini sudah menderita saat pandemi,” kata sekretaris Fraksi Nusantara DPRD Sumut ini.
Sebaiknya, kata Zeira, kenaikan tiga sampai lima persen UMP sudah lebih baik dan memberikan harapan akan penghidupan buruh secara laik. “Sebab para buruh sudah hampir tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan hidupnya kalau hanya diharapkan dari gaji semata,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan pemerhati sosial asal USU, Agus Suriadi. Dengan kenaikan UMP yang begitu kecil tahun ini, tentu memiliki dampak sosial yang begitu terasa bagi kehidupan kaum serikat pekerja. “Persoalannya adalah bukan melihat dampak itu, tetapi sustainability para pekerja itu sendiri dalam melanjutkan kehidupan sosialnya di tengah masa pandemi dan krisis ekonomi ini,” katanya.
Karenanya, ia menyarankan, konsekuensi logisnya perusahaan harus menyikapi kebijakan ini. Terlebih pemerintah tentu punya kewajiban untuk melindungi para pekerja. “Tentu saja keputusan ini tidak bisa menyenangkan semua pihak terutama para pekerja,” pungkasnya. (prn/dwi/man)