Agung mengakui, dari sudut pandang wisata dan investasi, peningkatan itu merupakan prestasi. Namun, dari sisi pertahanan dan imigrasi, perlu dilakukan pengetatan pengawasan. Sebab, tidak menutup kemungkinan bakal marak terjadi pelanggaran imigrasi dan ketenagakerjaan. ”Angka itu belum mencerminkan orang bekerja, jadi dokumen ketenagakerjaan harus dilihat,” ucapnya.
Sejalan dengan peningkatan kunjungan itu, jumlah pelanggaran hukum pidana dan administrasi keimigrasian juga cenderung meningkat. Saat ini, tercatat sebanyak 329 kasus pro justitia (pidana hukum) dan 7.787 tindakan administratif keimigrasian yang diungkap imigrasi pusat dan unit pelaksana teknis (UPT) di daerah.
Di antara pelanggaran dokumen, Tiongkok mendominasi dengan 1.837 kasus. Saat ini, pengawasan dan penindakan WNA dilakukan tim pengawas orang asing (PORA) yang melibatkan beberapa instasi. Diantaranya, imigrasi, pemda, dan kepolisian. ”Peningkatan pelanggaran pidana mengalami tren meningkat mulai 2015, jumlahnya sangat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya,” tuturnya. Pada 2015, jumlah pelanggaran sebanyak 255 dan di 2014 sebanyak 54 kasus.
Agung mengakui belakangan marak kasus tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal Tiongkok yang bekerja di sektor industri pabrik. Menurutnya, sesuai standar operasi prosedur (SOP), kasus tersebut harus dimulai dengan klarifikasi. Bila TKA itu memiliki izin tinggal tapi tidak memiliki izin bekerja, berarti pihak sponsor atau yang mempekerjakan orang tersebut harus dimintai pertanggungjawaban.
Upaya klarifikasi itu juga bisa dilakukan bila ditemukan WNA yang mengajar di sekolah dan perguruan tinggi. Begitu pula pemain sepakbola asing yang bermain di klub Indonesia. Semua warga asing yang bekerja di Indonesia harus mengantongi kartu tenaga asing dan sponsornya wajib mengurus izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA). (tyo/agm/adz)