BISNIS onderdil (sparepart) kendaraan roda dua alias motor di kota ini kian menjamur bak cendawan di musim hujan. Jika salah satu onderdil kendaraan Anda rusak, tak perlu buru-buru membelinya ke bengkel atau penyalur (dealer) resmi. Coba cari tahu dulu ke kios-kios penjual onderdil bekas yang mulai banyak bertebaran.
Selain harganya yang miring, kondisi onderdil tersebut rata-rata di atas pemakaian wajar. Boleh dibilang 80-90 persen. Kios-kios itu dulunya dominan di Jalan Tritura atau Jalan STM di kawasan Medan Johor. Tapi perlahan dominasi dua lokasi itu mulai tergeser. Kawasan Marelan di sebelah utara Medan, belakangan jadi tempat favorit jual-beli onderdil seken. Lokasi serupa tumbuh pula di daerah Tembung dan Gaperta.
Sejatinya tempat-tempat itu sudah lama dikeluhkan sebagai lokasi pasar gelap onderdil motor. Kata ‘cincang’ atau ‘sate’ adalah istilah jamak yang disepakati untuk pekerjaan membongkar habis kendaraan dengan model penjualan per unit onderdil. Dari satu motor saja bisa diperoleh puluhan komponen hasil ‘cincangan’: tangki, knalpot, speedo meter, cakram rem, hingga karburator.
Bukan pekerjaan mudah bagi Sumut Pos menelusuri asal-muasal komponen kendaraan yang dilego di kios-kios di sejumlah kawasan tersebut. Para pedagang selalu saja menunjukkan sikap curiga kepada calon pembeli.
Wajar saja mengingat areal ini telanjur dicap buruk oleh banyak orang karena dianggap pusat perkulakan sparepart ilegal alias curian. Petugas kepolisian berpakaian preman seringkali menyisir sudut-sudut kios sekadar ‘mengintip’ barang yang dicurigainya.
Dari informasi lapangan yang diterima wartawan koran ini, sekitar Desember 2013 lalu, beberapa pemilik kios dicokok petugas akibat kedapatan menadah onderdil yang dicurigai hasil curian. Nasib sial berurusan dengan aparat hukum ini bukan yang pertama dialami penjual. Sebelum ini ada pula pemilik kios yang ‘tertangkap tangan’ sesudah terkena ‘jebakan Batman’ oleh polisi yang menyamar sebagai pembeli.
Agaknya tak ada cara masuk ke arena perkulakan selain ikut bertransaksi langsung dengan sang penjual. Berlagak menjual sebuah knalpot bekas, Sumut Pos menyambangi salah satu kios onderdil seken di Jalan STM. Percakapan dengan penjual dibuka saat bernegosiasi untuk harga jual satu unit knalpot motor merek AHRS.
Bagi pehobi motor untuk harian, turing, dan balap, aksesoris buatan Asep Hendro Racing Sport (AHRS) pastinya bukan barang baru. Penjual onderdil seken juga tak asing dengan knalpot rakitan para pecinta bikers asal Depok, Jawa Barat ini. Sumut Pos memberikan tawaran Rp100 ribu. Sang pemilik kios menyambut.
“Wah, kalau segitu tak bisa. Berapa lagi mau saya jual? Lagian jenis knalpot kayak gini sudah jarang dicari orang,” ujar lelaki 50-an tahun itu. ”Empat puluh ribu saya bayari,” katanya mematok harga.
Obrolan tawar-menawar ini menjadi jurus pembuka memecah informasi lebih jauh. Berdalih ingin membuka usaha yang sama, Sumut Pos memancing pemilik kios dari mana dia memperoleh barang-barang yang dijualnya. Si pemilik kios cepat menangkis bila barang-barang di kiosnya bukan diperoleh dari menadah hasil curian.
“Yang jelas saya tak terima barang curian. Risikonya besar sekali. Apalagi sekarang ini seringkali terjadi pencurian sepeda motor. Barang yang saya beli dari pemiliknya langsung. Kalau ‘kokangan’ saya tak mau,” ungkap lelaki yang menjaga kios bersama istri dan anaknya.
Istilah ‘kokangan’ digunakan untuk sepeda motor yang akan ditarik oleh dealer karena pembeli tak mampu melanjutkan pelunasan kredit motor.
Saat dipancing ada kios yang mau menampung onderdil dari motor curian, si pemilik kios tak mau berkomentar banyak. “Kalau curian saya kurang tahu, tapi kalau menampung barang ‘kokangan’ ya, pasti ada saja,” tukasnya.
Informasi soal onderdil curian dan ‘kokangan’ itu diperoleh wartawan koran ini saat berusaha meyakinkan pemilik kios bahwa knalpot yang akan dilego bukan komponen dari motor curian.
Sembari diselingi kedatangan pembeli lain, sang pemilik kios memasang harga Rp60 ribu untuk knalpot yang dibawa Sumut Pos. Tawaran di angka Rp70 ribu tak bisa disanggupi pemilik kios. ”Ya sudah bawa saja, segitu saya nggak berani bayar. Kalau adik balik lagi, saya nggak janji mau beli,” ujarnya.
Wartawan koran ini lantas beralih ke kios pedagang di pinggir Jalan Tritura. Konon, pedagang di sekitar itu masih mau menampung barang-barang hasil curian, terutama onderdil ‘kokangan’.
Kembali dalih melego knalpot dipakai sebagai pembuka obrolan. Kios yang kedua ini tak terlalu lebar. Nyaris mirip dengan tempat yang pertama. “Mau jual apa memangnya, Bang? Tengoklah dulu, Bang!” kata seseorang mencari tahu.
Sumut Pos akhirnya memilih berhenti di satu lapak yang penjualnya masih berusia muda. Harapannya agar obrolan berkembang lebih cair. Adalah Lengking, nama pemilik kios ini, bersama Ayos, pembantunya, mengaku sejak 2002 berjualan di tempat itu. Lengking juga cuma berani membayar knalpot Rp50 ribu. Alasannya sama dengan kios pertama. Jenis knalpot itu, alasannya, susah dijual kembali. “Kemahalan kalau Rp100 ribu. Jualnya susah. Rp50 ribu lah kalau Abang mau lepas,” tawar Lenking.
Dari perbincangan itu mereka mengaku masih mau menampung kokangan. Terlebih dari sepeda motor yang bakal ditarik leasing. Tapi sekarang tak berani lagi karena dua lapak dari tempat mereka berjualan pernah tertangkap akibat tuduhan sebagai penadah. Pemilik kios akan menanyakan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) si penjual terlebih dulu. “Kami mau tampung asal ada STNK. Terus KTP-nya dicocokkan dengan STNK,” ujarnya.
‘’Kalau onderdil motor curian, mau nggak? Ada barang murah nih,’’ pancing Sumut Pos. “Wah, nggak berani, Bos! Baru-baru ini ada kawan yang masuk (sel) gara-gara itu. Kami beraninya beli dari orang yang ingin jual onderdilnya sendiri,” timpal Ayos.
Selama berbincang cukup banyak pembeli yang lalu-lalang di kios mereka. Ada yang menanyakan body Supra X, sayap Yamaha Z, dan ada pula yang ingin menjual onderdil kendaraannya.
Dengan alasan ingin membuka usaha, lagi-lagi Sumut Pos menanyakan pemasok onderdil bekas tersebut. “Kalau Abang serius, tak jauh dari sini ada grosir yang jual onderdil. Memang tak asli, tapi barangnya baru. Kami sering beli dari situ,” katanya sembari menunjuk ke arah belakang dari kawasan Jalan Tritura.
Lenking mengaku para penjual komponen hasil curanmor seringkali menggoda dirinya. Tapi dia tak berniat lagi membeli, sebab risikonya besar. Selain di dekat Jalan Tritura, mereka membeli barang ke daerah Marelan di sebelah utara Kota Medan. Dia menyebut, daerah Tembung, Jalan Bintang, serta Jalan Gaperta juga alternatif lokasi perkulakan onderdil seken layaknya Jalan Tritura. “Sekarang sudah banyak bisnis seperti ini,” ungkapnya.
Di lokasi terakhir yang dia sebut justru lebih ekstrim lagiaturan mainnya. Ada semacam aturan tak tertulis. Jika telanjur menawar wajib hukumnya membeli barang. “Nah, masih bagus penjual di sini. Kalau jadi beli syukur ya, tak jadi pun nggak masalah,” tukas Ayos.
Masih di kawasan Jalan Tritura. Riki, pedagang onderdil bekas, justru mematok harga kendaraan yang akan dikokang. Biasanya mereka melihat-lihat dulu kondisi motornya. Apa seluruh komponen atau sebagian saja. Kalau seluruh onderdil motor ‘dikokang’, kata Riki, batang motor akan dibuang ke sungai untuk menghilangkan jejak.
“Tarifnya sesuai jenis barang yang dikokang, lalu diganti barang palsu. Umumnya motor yang akan ditarik leasing, pemilik kendaraan meminta Rp1 juta sebagai pengganti uang muka pembelian motor,” ujarnya.
Toh, tak sedikit yang terang-terangan mengaku kendaraan yang akan dikokang dari hasil curian. Bila begitu, Riki menolak mentah-mentah. ‘’Saya takut berurusan dengan hukum,” dia beralasan.
Soal ‘nasib’ motor curian hendak dikemanakan, dia mengaku sempat didatangi beberapa oknum yang menawarkan jasa penampungan. “Kontak saya saja. Biar kami yang urus semuanya nanti,” ujarnya menirukan seorang oknum. Riki mengaku cuma mengiyakan. Dia tak pernah mau berurusan dengan barang-barang haram tersebut. ‘’Setiap ada yang datang ingin menjual motor, tapi mencurigakan pasti saya tolak. Takut cuma jebakan,” tegasnya. (tim/bersambung)