Kursi legislatif tak ayal menjadi kursi paling empuk untuk diincar dalam setiap pesta demokrasi tempo lima tahunan. Jauh lebih ‘empuk’ dibandingkan merek kursi apapun yang dijual di toko, outlet, atau mall perabotan terlengkap sekalipun. Bila diurut dari skala harga, kursi ini termasuk golongan kursi paling mahal di dunia. Bagaimana tak termahal bila seorang caleg harus merogoh kocek dari Rp500 juta hingga Rp6 miliar agar bisa duduk di salah satu dari 560 kursi di ruang paripurna DPR, Senayan.
KOORDINATOR Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mengatakan kehidupan anggota Dewan Perwakilan Rakyat tak sejatinya diliputi oleh kemewahan.
“Bila merujuk penghasilan yang diperoleh dari gaji, tak mungkin mereka bisa hidup mewah, dari mal ke mal, kafe ke kafe,” kata Uchok, Senin (22/4). Menurut Uchok, berdasarkan sumber resmi, gaji seorang anggota biasa DPR sebulannya hanya sekitar Rp 16,2 juta. Sedangkan penerimaan lain-lain seperti tunjangan kehormatan, biaya komunikasi, biaya pengawasan, biaya penyerapan aspirasi, dan tunjangan listrik serta telepon hanya Rp 36,5 juta. Dengan begitu satu bulannya seorang anggota dewan hanya menerima Rp 51,5 juta hingga Rp 54,9 juta, tergantung posisi di alat kelengkapan dewan.
Jumlah pemasukan ini, kata Uchok, sangat minim bila dibandingkan dengan pengeluaran para wakil rakyat tiap bulannya. Biasanya setiap anggota DPR mengeluarkan biaya rutin berupa sumbangan untuk partai dan fraksi. Kadang-kadang ada juga anggota DPR yang turut menyumbang untuk partainya di setiap daerah pemilihan. Selain itu, kata Uchok, anggota DPR harus melayani puluhan proposal kegiatan yang masuk ke kantornya.
Ada juga sejumlah konstituen yang meminta bantuan langsung ke ruang kerja para politikus Senayan berupa pendanaan transportasi. Bila dijumlah untuk biaya sumbangan-sumbangan ini bisa lebih dari setengah gaji Dewan, yaitu mencapai Rp 30 juta. “Kalau hanya mengharapkan gaji ya, jumlahnya tak akan pernah cukup,” katanya.
Besarnya pengeluaran politikus Senayan ini, menurut Uchok, membuat mereka tak bisa menabung untuk membiayai kampanye pada masa jabatan berikutnya. Apalagi berdasarkan pengakuan sejumlah politikus, mereka membutuhkan minimal Rp 500 juta hingga Rp 6 miliar untuk bisa kembali melenggang ke Senayan.
Besarnya pengeluaran inilah yang, menurut Uchok, kerap dijadikan alasan bagi para politikus untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari Senayan. Caranya ya, bisa dengan memanipulasi anggaran atau program pembangunan yang direncanakan pemerintah.
“Karena DPR punya kekuasaan dan kewenangan. Itu yang mereka gu nakan untuk mencari duit,” katanya.
Selain itu, Uchok menyatakan besarnya biaya kampanye dan biaya operasional anggota Dewan mendorong semakin banyaknya pengusaha menjadi politikus Senayan.
Tentu saja, para pengusaha ini mengharapkan akses yang akurat untuk mengetahui kebijakan yang akan diambil pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai sumber informasi bagi pengembangan bisnis mereka ke depan. (val/bbs)