Site icon SumutPos

Driver Taksi Online Kucing-kucingan dengan Petugas

Taksi Uber.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Di Medan, keberadaan aplikasi online penyedia jasa transportasi terus-terusan disoal. Awal-awalnya, penolakan datang dari paguyuban penarik becak bermotor. Beberapa kali mereka melakukan aksi, menyebut keberadaan aplikasi ini tak mengikuti izin resmi dari pemerintah.

Gesekan pun tak terhindarkan. Beberapa kali mitra kerja aplikasi online penyedia jasa transportasi baik dari Gojek, Grab mendapat aniaya dari pengemudi jasa transportasi konvensional, tukang becak bermotor. Mereka menjadi satu-satunya kelompok yang paling menolak, bringas dan tak segan bertindak kriminal, melakukan sweeping dan aniaya.

Pemprovsu melalui Dinas Perhubungan dan sejumlah stakholder melakukan rapat koordinasi soal penetapan dan penerapan aturan yang mengatur di lapangan. Langkah paling awal, mereka memberi imbauan agar mitra kerja atau driver perusahaan penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi online agar tidak melintas.

Imbauan itu sudah barang tentu membuat driver taksi online di Medan meradang. Aksi kucing-kucingan antara mereka dengan petugas sudah pasti tak terelakkan. Seperti pengakuan seorang pengemudi Grab Car kepada Sumut Pos, mereka memiliki paguyuban yang setiap membernya berbagi informasi soal razia gabungan petugas.

“Tentu pada dasarnya kami menolak. Lagian kami inikan kerjanya paruh waktu, sampingan. Kendaraan yang kami pakai juga tak berlogo dan rata-rata sehat serta ramah lingkungan. Jadi sekarang ini kami kalau katanya mau dirazia, pintar-pintarlah, di jalan ‘kan ada grup. Di dalam grup itu kita berbagi informasi soal itu,” ujar seorang pengemudi Grab yang tidak mau disebut namanya ini, Minggu (23/7).

Menurutnya, bila memang pemerintah serius untuk menindak perusahaan aplikasi berbasis online, tak perlu repot tinggal ditutup saja aplikasi perusahaan tersebut. “Poinnya kan begini, kami mitra perusahaan aplikasi online,  mendapat bagi hasil dari tiap orderan yang mereka terima. Artinya, kendaraan kami bukan mutlak transportasi umum, kendaraan kami mobil pribadi,” katanya.

Dia mengharap, pemerintah mengatur kembali regulasi terhadap perusahaan jasa transportasi berbasis online. Tidak cocok menurutnya ketika aturan terhadap perusahaan jasa berbasis online yang disetarakan dengan perusahaan konvensional.

Sementara itu, Kepala Satuan Lalulintas (Kasatlantas) Polrestabes Medan, AKBP Indra Warman menyatakan, saat ini memang rapat koordinasi soal penerapan aturan soal perusahaan transportasi online masih dibahas. Menurutnya, polisi tidak memiliki kewenangan untuk penindakan mobil plat hitam yang melayani orderan penumpang dari perusahaan transportasi online.

“Penegakan aturan dari peraturan Menteri Perhubungan ada di pemerintah daerah, dalam hal ini Dishub. Mereka yang harusnya melakukan penindakan. Mereka yang mengawal soal keberadaan taksi online itu,” kata Indra.

Sebagai aparat penegak hukum di jalanan, Polisi Lalulintas hanya bisa menindak pengendara yang melanggar tata tertib berlalulintas. “Seperti melanggar rambu-rambu dan sejumlah aturan lain. Tidak ada soal mengangkut penumpang, ” ujarnya.

Dia menyebut, yang harus dikejar bila menyangkut perusahaan transportasi berbasis online, yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah setempat. “Mereka yang harus dikejar, bagaimana sikapnya. Kalau mereka melihat perusahaan transportasi itu tidak tegas dengan mitra kerjanya, gampang saja tutup aplikasi mereka tidak sulit itu,” pungkasnya.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
DEMO PENGENDARA BETOR_Puluhan pengemudi betor dari Solidaritas Angkutan Transportasi Umum dan Becak Bermotor (SATU) mengikuti aksi unjuk rasa di depan Kantor Dinas Perhubungan Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Rabu (23/5). Para pengemudi betor memprotes keberadaan transportasi berbasis “online” karena mempengaruhi penghasilan mereka.

ANGKUTAN KONVENSIONAL HARUS TINGKATKAN LAYANAN

Pengamat transportasi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Medis Surbakti mengatakan, kemajuan teknologi saat ini memang tak bisa dibendung, sehingga mau tidak mau harus bisa beradaptasi. Sebab, di dunia ini perubahan-perubahan merupakan sesuatu yang abadi.

Namun demikian, sambung dia, kenyataannya perubahan yang terjadi ini yaitu pada angkutan berbasis aplikasi banyak yang tidak siap menerimanya, terutama angkutan konvensional. Untuk itu, pemerintah provinsi (Pemprovsu) harus mengatur perubahan ini.

Kalau pemerintah tidak mengatur, maka akan berdampak salah satunya yang terjadi saat ini di mana protes dan penolakan disampaikan oleh angkutan konvensional. Selain itu, berdampak juga terhadap lalu lintas khususnya di Medan lantaran bertambah banyak jumlah kendaraan sehingga mengakibatkan kemacetan.

Menurutnya, memang sejauh ini pemerintah telah membuat aturan terhadap angkutan online itu. Akan tetapi, belum berjalan maksimal. “Angkutan berbasis online ini tetap diterima keberadaannya, tetapi harus diatur atau ditata. Dibuat suatu regulasi, misalnya lokasi beroperasi dimana saja hingga tarif yang diberlakukan,” ujar Medis yang dihubungi, Minggu (23/7).

Dengan begitu, lanjutnya, maka keberadaaan angkutan online tidak diprotes ataupun ditolak. Bahkan, nantinya mereka akan berdampingan dengan angkutan konvensional seperti yang sudah terjadi di beberapa daerah Indonesia.

Ia menambahkan, bagi angkutan konvensional tidak perlu khawatir dengan kehadiran angkutan online. Jadikan keberadaan mereka sebagai motivasi untuk bersaing secara sehat, asalkan telah diterbitkan regulasi yang mengatur hak dan kewajiban yang sama.

“Angkutan konvensional harus lebih meningkatkan layanannya dengan memberikan pelayanan yang lebih baik lagi. Dengan demikian, masyarakat semakin lebih nyaman. Kalau layanannya sekedar saja kurang ramah dan nyaman, tentu masyarakat lebih memilih angkutan online,” sebutnya. (dvs/ris/adz)

Exit mobile version