MEDAN, SUMUTPOS.CO – Upah Minimum Kota (UMK) Medan 2019 akhirnya sah ditetapkan sebesar Rp2.969.824, 64. Pengumuman tersebut disampaikan langsung Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kota Medan, Hannalore Simanjuntak di kantor Disnaker Medan, Jalan Wahid Hasyim Medan, Jumat (23/11).
Menurut Hannalore, penetapan UMK Medan 2019 sudah berdasarkan survei dan masukann
baik dari serikat buruh maupun asosiasi pengusaha. “Sengaja baru kami umumkan hari ini setelah (UMK) mendapat persetujuan dari gubernur,” ujarnya.
“Hari ini kita umumkan UMK 2019 sebesar Rp2.969.824, 64 yang sudah berdasarkan survei dan masukan dari serikat buruh dan Apindo,” katanya.
Dia menjelaskan, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Kota Medan 2018 sebesar Rp2.577.000. Di mana jumlah tersebut masih di bawah UMK 2018 yang berjumlah Rp2.749.074,60 atau naik Rp220.750,64. “Upah ini mulai berlaku 1 Januari 2019,” pungkasnya.
Sementara elemen buruh, berbeda pendapat menyikapi penetapan UMK 2019 ini. Ketua Federasi Serikat Buruh Kimia Farmasi dan Kesehatan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (FSB KIKES KSBSI), Usaha Tarian mengindikasikan dapat menerima penetapan besaran UMK tersebut. Sedangkan Ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sumatera Utara (FSPMI Sumut) Willy Agus Utomo menolak keras, bahkan bakal melakukan perlawanan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Ketua FSB KIKES KSBSI Usaha Tarian mengakui, sulit untuk mendongkrak agar nilai UMK 2019 bisa sesuai dengan usulan serikat buruh yang berjumlah Rp3.090.000. Dia mengindikasikan para buruh menerima penetapan tersebut.
Meski begitu, Tarigan menyebut serikat buruh mendorong agar Pemko Medan membuat program yang berpihak kepada buruh atau pekerja seperti beasiswa kepada anak buruh, maupun pasar murah yang khusus diperuntukkan kepada buruh. “Kita lihat di beberapa daerah, salah satunya di Jakarta, di mana Pemprov DKI membuat pasar murah yang menjual kebutuhan rumah tangga seperti sembako dan lainnya khusus kepada buruh dengan harga murah. Jadi yang membeli buruh yang memegang kartu serikat pekerja,” ujarnya.
Menurutnya, dengan begitu beban atau kebutuhan hidup para buruh bisa berkurang. Sehingga upah yang didapat para buruh bisa memadai. “Ini yang sedang kami dorong agar bisa direalisasikan. Dalam waktu dekat perwakilan serikat buruh agar menemui Kepala Dinas Tenaga Kerja untuk menyampaikan usulan tersebut,” ucap Anggota Dewan Pengupahan Kota Medan dari perwakilan serikat buruh itu.
Bubarkan Dewan Pengupahan
Terpisah, elemen buruh lain yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) menuding kepala daerah di Sumut tidak punya hati nurani terhadap kaum buruh di Sumut dalam penetapan upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota (UMP/UMK) 2019. “Kami sudah survei KHL buruh seorang lajang, kami survei pasar di Medan dan Deliserdang, 60 item kebutuhan hidup buruh, rata-rata biaya hidup buruh seorang lajang yang paling rendah adalah Rp4,4 juta, tapi pemerintah menetapkan Rp2,9 juta, buruh Sumut makin terjepit,” kata Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo.
Menurut Willy, data hasil survei KHL yang mereka lakukan, telah disampaikan kepada dewan pengupahan daerah. Itu makanya, sebut Willy, mereka menuntut UMK Medan dan Deliserdang Rp3,5 juta serta untuk kabupaten/kota lain di Sumut naik di atas 20 persen. Namun menurutnya, bupati dan wali kota di Sumut tidak mengubris. “Jika pemerintah dalam hal ini gubernur, wali kota dan bupati hanya ikuti PP 78 dalam penetapan upah yang ditolak para buruh, lebih baik dibubarkan saja dewan pengupahan,” katanya.
Ia menilai, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tidak memahami kondisi riil kehidupan buruh Sumut, dengan memaksakan menandatangani SK UMP dan UMK Sumut yang naik hanya berdasarkan PP 78/2015 atau naik diangka 8,03 persen. “Anak SD pun tahu ngitung kenaikan upah kalau berdasarkan itu.
Upah buruh di Sumut ini sangat tertinggal jauh dari Kabupaten/Kota lain di Indonesia. Buruh kita di Medan dan Deliserdang sudah harus bekerja ganda untuk menghidupi dirinya sendiri, sungguh kejam sekali Gubsu, bupati, wali kota kita di Sumut ini yang tidak mau melihat kondisi buruh,” sebutnya.
Melihat kondisi ini, pihaknya berencana melakukan gugatan ke PTUN Medan terkait SK Gubsu atas UMK se Sumut yang dianggap dipaksakan tanpa memeprtimbangkan aspirasi buruh. “Jika SK UMP dan UMK sudah di tangan kami, kami akan gelar rapat dengan LBH kami dan mungkin segera kami gugat itu kepala daerah yang tak punya nurani sama kaum buruh,” tegasnya.
Tidak hanya itu, sambung Willy, FSPMI Sumut akan terus menadakan konsolidasi dengan serikat buruh lain di Sumut untuk segera merespon kebijakan Gubsu atas UMP dan UMK dengan cara melakukan aksi secara besar besaran. “UMP dan UMK Sumut murah, ada dugaan mafia upah murah di Sumut kita akan sampaikan dan kampanyekan ini agar mata Gubsu dan kepala daerah lainnya terbuka melihat kondisi kaum buruh,” pungkasnya. (prn/ain)