Korupsi Sumut Nomor Satu di Indonesia
MEDAN-Sejumlah pejabat, mantan pejabat birokrasi di provinsi Sumatera Utara, saat ini memang terjerat kasus korupsi. Sebut saja Gubernur Syamsul Arifin, mantan Wali Kota Siantar RE Siahaan, mantan Bupati Simalungun Zulkarnaen Damanik, Bupati Nias Binahati B Baeha, serta sejumlah tokoh lain. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumut juga sudah mengeluarkan data potensi kerugian negara yang terjadi di provinsi, kabupaten dan kota di Sumatera Utara selama 2008-2009 yang nilainya mendekati Rp47,2 miliar.
Tak salah bila sejumlah lembaga pemerhati tindakankorupsi di Indonesia menyoroti provinsi ini sebagai sarang koruptor yang pantas diobok-obok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk kasus kroupsi dengan tersangka Syamsul Arifin dan RE Siahaan, KPK sebagai penyidik bahkan sudah mengumpulkan data dari Medan dan Siantarn
Anggota Komisi A DPRD Sumut Taufik Hidayat malu dengan predikat provinsi tersubur tingkat korupsinya di Indonesia. Apalagi, banyak kasus korupsi di Sumut yang dilakukan secara bersama-sama atau jamaah. “Korupsi di Sumut ini adalah korupsi yang berjamaah. Jadi, pemberantasan yang dilakukan juga harus berjamaah,” tegasnya.
Selain aparat penegak hukum, masyarakat dan LSM, media dan anggota legislatif mestinya berperan lebih untuk membongkar kasus-kasus korupsi. “Sumut tidak lagi menjadi sarangnya koruptor,” ungkapnya.
Ketua Fraksi PKS DPRD Sumut Hidayatullah juga mengaku prihatin dengan predikat provinsi terkorup yang disandang Sumut. “Kita tidak bisa membantah, karena faktanya, pada periode lalu maupun saat ini ada beberapa kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi. Ada yang sudah divonis bersalah, dan sebagiannya masih dalam proses hukum,” tandas Hidayatullah.Pria berjanggut ini mengaku merasa sesuatu yang terasa namun tidak terkatakan terkait permainan uang dalam pelaksanan birokrasi di Sumut. “Seperti, harus bayar untuk jabatan-jabatan eselon, menyogok untuk jadi PNS, pungutan liar, pungli di jembatan timbang, pungli untuk mengurus perizinan, tambahan biaya tak resmi untuk KTP/KK, surat nikah, paspor dan lain-lain,” jelasnya.
Dia menambahkan, sudah saatnya masyarakat Sumut, pejabat serta elit politik bertobat massal dan berkomitmen membersihkan citra daerah terkorup. “Itu perlu dilakukan sebelum ditangkap KPK dan dipanggil Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.
Kajatisu Ngaku Sudah Bekerja
Apa tanggapan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab menangani kasus korupsi di Sumut? Kehadiran empat penyidik KPK di Pematangsiantar dan penyematan provinsi paling korup selama 2010 dari ICW, ternyata kembali mengusik eksistensi korps Adhyaksa itu. Tak ingin disebut tidak maksimal bekerja memberantas korupsi di Sumut, Kejatisu langsung membeber kasus dugaan korupsi yang melibatkan mantan pejabat di Sumut yang kini ditanganinya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Sution Usman Adji, kembali menegaskan komitmennya memberantas korupsi di Sumut. “Kita tidak akan pernah kompromi dengan korupsi. Selama saya memimpin Kejatisu, tidak akan ada kasus-kasus korupsi yang diberhentikan. Itu sudah menjadi tekad saya,’’ tegas Sution Usman Adji.
Sution mengungkapkan, sejak menjabat Kajatisu, sudah tiga belas kasus korupsi yang disidik bahkan sudah ada yang masuk ke peradilan. “Sudah banyak yang kita proses pelaku korupsi hingga sampai peradilan. Bahkan sudah ada yang mencapai putusan dan mendekam di dalam lembaga,’’ beber Sution.
Saat ini pihaknya melakukan penyidikan pelaku korupsi di Sumut. Diantaranya dugaan korupsi mantan Bupati Tobasa dan mantan Bupati Simalungun.
“Masih banyak lagi pekerjaan rumah kita di Sumut ini,’’ tegas Sution.
Melalui Kasi Penkum Edi Irsan Tarigan, Kejatisu menegaskan kasus dugaan korupsi Rp14 miliar di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Simalungun yang melibatkan mantan Bupati Simalungun Zulkarnaen Damanik hingga saat ini masih terus disidik Pidsus Kejatisu.
“Zulkarnaen Damanik pernah diperiksa 7 jam oleh penyidik Pidsus,’’ tegas Tarigan kepada wartawan di kantornya di Jalan AH Nasution Medan, Kamis (23/2).
Pemeriksaan terhadap Zulkarnaen, beber Tarigan, bertujuan mencari informasi melengkapi alat bukti yang telah ditemukan. “Dari keterangannya ini dapat mengungkap dugaan penyimpangan anggaran proyek. Dari keterangan dia juga kita dapat mengetahui, siapa saja yang terlibat,’’ tegas Tarigan.
Namun, kata Tarigan, mantan Bupati Simalungun belum jadi tersangka
Kejatisu juga telah memeriksa mantan kepala Dinas Pertamanan Kota Medan, Muhammad Idaham, terkait indikasi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Medan dari pengemplangan pajak iklan mencapai Rp18,5 miliar.
“Baru tadi saya tahu dari Kasi Pidsus, kalau Idaham sudah diperiksa terkait kasus pengemplangan pajak papan reklame. Pemeriksaan Idham itu, setelah dilayangkan surat pemanggilan berdasarkan temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI ke Dinas Pertamanan kota Medan, No 510.12/20634 tertanggal 11 Desember 2009, prihal tidak lanjut,” Edi Irsan Tarigan.
Selain Idaham, dua mantan Kepala Dinas, Randiman Tarigan dan Chairulsyah juga telah dimintai keterangan dalam peneyelidikan kasus indikasi kebocoran PAD kota Medan ini.
Dalam penyelidikan ini, Kejatisu telah memeriksa 15 orang saksi diantaranya, direktur PT Star Indonesia, Iskandar dan direktur PT Multi Grafindo, Albert Kang, diduga sebagai perusahaan penunggak pajak papan reklame puluhan miliaran rupiah, tetapi status dua orang ini sampai saat ini belum tersangka.
“Keduanya masih sebetas dimintai keterangan dan belum ada tersangka dalam kasus ini karena masih dalam proses penyelidikan dan belum penyidikan,” ungkap Edi Irsan.
Sedangkan Wakil Direktur LBH Medan Muslim Muis memandang sinis kinerja penegak hukum di Sumut. Muslim meminta KPK, Kajagung dan Kapolri benar-benar memperhatikan Sumut untuk meminimalisir aksi korupsi. “Ini pukulan berat bagi aparat penegak hukum, baik kejaksaan ataupun kepolisian. Aparat jangan bermain-main lagi memberantas korupsi di Sumut,’’ tegas Muslim Muis.
Pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) Ridwan Rangkuti menyatakan, lansiran ICW seharusnya dilengkapi dengan indikatornya. “Memang bisa jadi, indikator dari ini semua adalah banyaknya kepala daerah di Sumatera Utara yang tersangkut masalah hukum atas kasus korupsi yang dilakukannya. Namun, tetap saja ada indikator lainnya. Maka seharusnya pula, ICW juga melansirkan indikator penyebabnya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran,” jelasnya.
Ridwan berpandangan, korupsi di Sumut mestinya bisa diredam. Pasalnya, dengan APBD propinsi yang hanya berkisar Rp4,7 miliar. Dia membandingkan dengan Aceh yang APBD nya mencapai di atas Rp10 miliar dan DKI Jakarta dengan APBD mencapai Rp20 miliar, namun tingkat korupsinya tidak separah di Sumut.
Selain itu, selayaknya pelaku korupsi yang diadili di Sumatera Utara dihukum berat untuk memberi efek jera. “Selain upaya itu, harus juga ada upaya preventif dengan pengaturan anggaran yang lebih relevan dan teratur serta terawasi dengan semaksimal mungkin,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelunya, Sumatera Utara meraih predikat juara satu untuk jumlah kasus korupsi di Indonesia dalam selama tahun 2010. Rentang waktu semester I (Januari-Juni) dan Semester II (Juli-Desember) di Tahun 2010 lalu. Di semester I (Januari-Juni), Sumut mengalami 26 kasus korupsi, dan di semester II (Juli-Desember) jumlah tersebut menjadi 38 kasus.(rud/ari)