Nama Harmoko juga menjadi populer di kalangan sopir dan pengguna angkutan umum di Jakarta. Apa lagi kalau bukan oplet jurusan Harmoko alias Harmoni–Kota. Sopir-sopir oplet yang beroperasi di jurusan tersebut cukup berteriak ke calon penumpang, Harmoko…! Harmoko…! Harmoko…!
Dia menuturkan, pada era Presiden Soeharto, kabinet juga mengalami dinamika. Tidak jarang terjadi perdebatan seru antarmenteri soal rencana kebijakan. Harmoko mencontohkan, dia beberapa kali ’’ribut’’ dengan menteri-menteri yang lain saat membahas rencana kenaikan harga BBM.
Harmoko kukuh mempertahankan pendapat bahwa harga BBM tidak perlu dinaikkan karena memberatkan masyarakat. Sementara itu, menteri lain punya argumentasi kuat pula mengapa harga BBM harus naik. Ujungnya, Presiden Soeharto menengahi. ’’Lihat maunya rakyat bagaimana,’’ ujar Harmoko menirukan ucapan Soeharto kala itu.
Soeharto menjadi faktor kunci yang membuat kabinet begitu adem-ayem. Setidaknya yang terlihat di depan publik. Padahal, lanjut Harmoko, diskusi dan perdebatan tidak jarang terjadi. Hanya, perdebatan itu berlangsung tertutup di ruang sidang kabinet. Begitu keluar, menteri bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan sepakat bulat.
Kini pada usianya yang tergolong senior, Harmoko gemar berwisata kuliner. Selepas terapi, dia selalu mencari kuliner di pasar-pasar. Dalam sehari, bisa 3–4 menu dia cicipi. Tentu porsinya sedikit. Apa makanan favorit Harmoko? ’’Pecel Madiun,’’ ucapnya, lalu terkekeh. Dia juga beberapa kali ke Surabaya untuk mencicipi sate sumsum Ondomohen.
Tidak jarang, masyarakat begitu antusias saat tahu yang datang adalah Harmoko. Harmoko punya pesan khusus bagi masyarakat Indonesia. Dia berharap masyarakat saat ini dan ke depan mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif, kreatif, serta inovatif. Juga, harus semakin melek teknologi.
Bagaimana dengan harapan untuk pemerintah? Harmoko tersenyum seraya menggeleng. ’’Saya tidak mau ikut campur,’’ tegas kakek yang berulang tahun tiap 7 Februari itu.
Kini Harmoko sibuk menulis. Sejumlah edisi Kopi Pagi beberapa tahun belakangan sudah dibukukan menjadi tiga buku. Yakni, Tantangan Pemerintahan 2014–2019, Siapa Presiden 2014?, dan Waspada Neoimperialisme. ’’Saya ingin terus menulis sampai mati,’’ tegasnya. (jpg/adz/bersambung)