Tak lagi punya harapan di tanah kelahiran membuat pengungsi Rohingya ingin bertahan hidup di Indonesia. Ditambah lagi sikap baik warga Aceh yang telah menyentuh hati mereka.
AQWAM F. HANIFAN, Kuala Langsa
AR RAHMAN atau biasa disapa Pak Do trenyuh melihat pemandangan itu. Hatinya tergerak. Rasa kemanusiaannya mencuat keluar. Meski kondisi gelap, dilihatnya secara samar perempuan dan anak-anak yang kumal dan lemas tersebut melambai dengan air mata berderai.
Tangan mereka terulur meminta bantuan. Pak Do tercekat. Dengan bergegas dia dan perahunya mendekat. Meski hatinya kala itu waswas. Puluhan laki-laki melonjak dan mengucap takbir, membuat rasa haru dan takut bercampur jadi satu. “Saat mereka ucapkan takbir itu, hati saya pilu. Mata serasa mau menangis. Bukanlah manusia jika kami membiarkan mereka mati di laut sana,” katanya.
Itulah peristiwa malam Jumat, 14 Mei 2015, di tengah laut, 35 mil dari Pelabuhan Kuala Langsa, Aceh. Peristiwa yang menguras emosi dan rasa kemanusiaan Pak Do serta teman-temannya yang malam itu melaut. Padahal, yang mereka tolong itu bukan sanak bukan saudara. “Ketika tahu bahwa mereka seiman, kami langsung bergegas memberikan pertolongan,” ucap Pak Do.
“Ada sesuatu yang dibela. Sesuatu yang lebih berharga daripada hanya hidup dan mati. Ini soal keimanan dan kemanusiaan. Masihkah kami memiliki iman” Masihkah kami jadi manusia seutuhnya?” tuturnya bijak.
Aceh memegang erat budaya Peumulia Jamee alias memuliakan tamu. Banyak tarian dan syair lahir dari penjamuan tamu. Itu pula yang ditunjukkan keluarga Nur Rahmah. Perempuan warga kampung Kuala Langsa tersebut sengaja mengajak anaknya datang ke penampungan pengungsi yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Dia tersenyum melihat tiga perempuan Rohingya yang mendekat kepadanya.
“Jujur saja, di rumah tak ada apa-apa lagi untuk dimakan. Beras sudah diberikan ke sini (pengungsi, Red) pas hari pertama mereka datang. Namun, saya senang membantu. Allah Maha Pemberi. Dia bisa memberikan rezeki kepada siapa pun yang Dia mau,” ujarnya.
Tak lagi punya harapan di tanah kelahiran membuat pengungsi Rohingya ingin bertahan hidup di Indonesia. Ditambah lagi sikap baik warga Aceh yang telah menyentuh hati mereka.
AQWAM F. HANIFAN, Kuala Langsa
AR RAHMAN atau biasa disapa Pak Do trenyuh melihat pemandangan itu. Hatinya tergerak. Rasa kemanusiaannya mencuat keluar. Meski kondisi gelap, dilihatnya secara samar perempuan dan anak-anak yang kumal dan lemas tersebut melambai dengan air mata berderai.
Tangan mereka terulur meminta bantuan. Pak Do tercekat. Dengan bergegas dia dan perahunya mendekat. Meski hatinya kala itu waswas. Puluhan laki-laki melonjak dan mengucap takbir, membuat rasa haru dan takut bercampur jadi satu. “Saat mereka ucapkan takbir itu, hati saya pilu. Mata serasa mau menangis. Bukanlah manusia jika kami membiarkan mereka mati di laut sana,” katanya.
Itulah peristiwa malam Jumat, 14 Mei 2015, di tengah laut, 35 mil dari Pelabuhan Kuala Langsa, Aceh. Peristiwa yang menguras emosi dan rasa kemanusiaan Pak Do serta teman-temannya yang malam itu melaut. Padahal, yang mereka tolong itu bukan sanak bukan saudara. “Ketika tahu bahwa mereka seiman, kami langsung bergegas memberikan pertolongan,” ucap Pak Do.
“Ada sesuatu yang dibela. Sesuatu yang lebih berharga daripada hanya hidup dan mati. Ini soal keimanan dan kemanusiaan. Masihkah kami memiliki iman” Masihkah kami jadi manusia seutuhnya?” tuturnya bijak.
Aceh memegang erat budaya Peumulia Jamee alias memuliakan tamu. Banyak tarian dan syair lahir dari penjamuan tamu. Itu pula yang ditunjukkan keluarga Nur Rahmah. Perempuan warga kampung Kuala Langsa tersebut sengaja mengajak anaknya datang ke penampungan pengungsi yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Dia tersenyum melihat tiga perempuan Rohingya yang mendekat kepadanya.
“Jujur saja, di rumah tak ada apa-apa lagi untuk dimakan. Beras sudah diberikan ke sini (pengungsi, Red) pas hari pertama mereka datang. Namun, saya senang membantu. Allah Maha Pemberi. Dia bisa memberikan rezeki kepada siapa pun yang Dia mau,” ujarnya.