28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pemda Tak Punya Peta Rawan Bencana

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
GENDANG: Gubsu Edy Rahmayadi, Chief of UNISDR Asia Pacific Loretta Hieber Girardet, dan lainnya memukul gendang tanda dibukanya acara PRB Nasional 2018.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seluruh pemerintah daerah yang berada di Provinsi Sumatera Utara ternyata belum memiliki peta kerawanan bencana. Untuk itu, sebelum membuat sebuah regulasi tentang kebencanaan, pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau agar peta kerawanan bencana terlebih dahulu disusun.

“Saat ini Sumut memiliki peta resiko bencana, tapi hanya tingkat provinsi. Tidak menyeluruh seperti di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang sudah sampai pada tingkat kabupaten/kota,” kata Sekretaris Umum BNPN Dody Riswandi kepada wartawan, disela-sela acara Puncak Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Nasional 2018, di Hotel Santika Dyandra Medan, Rabu (24/10).

Pihaknya menyarankan agar Sumut belajar dari DIY terkait ini. Sebab provinsi dengan jumlah 14 juta penduduk tersebut, menurutnya salah satu daerahpotensi bencana di Indonesia. “Ya, artinya tidak hanya Sumut, DIY patut dicontoh oleh provinsi lain dalam hal menyusun peta kerawanan bencana. Mereka sudah punya sampai ketingkat kabupaten/kota. Begitu juga dengan Aceh,” ungkapnya.

Setelah peta kerawanan disusun hingga ketingkat kabupaten/kota, barulah pemda membuat regulasi soal kebencanaan berdasarkan hasil pemetaan di masing-masing daerah. Sebagai contoh, sebut Dody, bagaimana caranya menangani masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) untuk mau direlokasi ke tempat yang lebih laik.

“Ini pula kenapa kita perlu menggelar Peringatan Bulan PRB setiap tahun di provinsi berbeda. Kita tak bosan mengimbau dan mengingatkan semua provinsi untuk tanggap akan bencana. Sebab menangani bencana berbeda seperti sektor lain. Harus melibatkan banyak pihak dan penanganannya secar komprehensif,” terangnya.

Dipilihnya Sumut sebagai tuan rumah PRB tahun ini, kata dia, bukan tanpa alasan. Salah satu faktornya akibat erupsi Gunung Sinabung yang sampai kini terus terjadi dan tak bisa diprediksi kapan berhenti. “Sumut adalah salah satu daerah yang memiliki potensi rawan bencana. Juga ada yang unik saat ini di Sumut tentang bencananya, yaitu memiliki gunung berapi yang sampai saat ini tidak berhenti untuk erupsi. Makanya kita jadikan Sinabung sebagai pembelajaran PRB nasional, bahkan dunia,” ucapnya pria yang juga Ketua Panitia Peringatan Bulan PRB 2018.

Gubernur Sumut Edy Rahmayadi saat memberi sambutan berharap kegiatan tersebut bukan hanya bersifat seremonial belaka. Tetapi benar-benar nyata dan bermanfaat dalam penanggulangan bencana. “Saya ingin kegiatan seperti ini bersifat riil (nyata, Red), di sini kita diskusi dan evaluasi apa yang bisa kita lakukan. Walaupun kecil yang penting nyata, bukan mengandai-andai. Apalagi ini semua menyangkut keselamatan rakyat kita, khususnya kelompok masyarakat yang paling rentan bencana,” ujarnya.

Edy kemudian menceritakan beberapa pengalamannya terlibat dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Termasuk di antaranya Tsunami Aceh 2004 dan yang baru-baru ini terjadi di Desa Muara Saladi, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal. “Kejadian di Madina menjadi evaluasi bagi kita semua pemerintah daerah termasuk saya.

Jangan kita biarkan masyarakat kita mendirikan bangunan di sempadan sungai. Ini merupakan tindakan yang salah. Jangan setelah terjadi banjir kita saling menyalahkan,” katanya dihadapan 3.000 lebih peserta BPBD dari tingkat provinsi, kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Edy berpesan agar kegiatan seperti ini menjadi momen untuk saling berdiskusi dan evaluasi, untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh dan siaga bencana. “BNPB maupun BPBD, kalian sudah pasti lebih ahli dibandingkan kami terkait penanggulangan bencana. Ingatkan kami para pemimpin daerah ini. Bersinergi dan kerja sama, itu yang penting,” katanya.

Sebelumnya, Kepala BNPB Willem Rampangilei dalam pesan video menyampaikan bahwa gempa bumi di kedua provinsi, NTB dan Sulawesi Tengah, menjadi “tamparan” setelah kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh 2004. “Di mana, dapat kita lihat secara nyata bahwa kita tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana. Oleh karena itu, kita membutuhkan pentingnya upaya PRB dan upaya ini harus dilakukan secara terus-menerus,” ungkapnya.

Ia menekankan suatu harapan bahwa Peringatan Bulan PRB ini dapat menghasilkan deklarasi yang mendorong semua pihak untuk melakukan evaluasi terkait penanganan bencana di NTB dan Sulteng.

Chief of UNISDR Asia Pacific Loretta Hieber Girardet menyampaikan bahwa PRB menjadi sangat penting karena tanpa rencana penanggulangan dan pencegahan bencana yang baik, banyak dampak dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. “Angka kehilangan rata-rata global atas kerusakan lingkungan akibat bencana hampir US$ 314 miliar. Angka ini sama dengan GDP (Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto, Red) Malaysia, Filipina, atau negara-negara ketiga lainnya,” ungkap dia.

Loretta berpesan bahwa ada satu cara terbaik untuk membangun ketangguhan, yaitu dengan memastikan pemerintah dan lembaga usaha berkewajiban untuk berinvestasi pada masa depan dan benar-benar memperhatikan risiko bencana. “Contoh sederhana adalah mengerti risiko terhadap banjir sebelum membangun pabrik dekat dengan tepi sungai dan mengambil tindakan untuk mitigasi risiko tersebut dalam desain pabrik,” jelasnya.

Hadir pada acara itu, Anggota DPD RI Parlindungan Purba, Wali Kota Medan HT Dzulmi Eldin, Ketua PMI Sumut Rahmat Shah, jajaran BNPB dan BPBD seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan kementerian/lembaga, perwakilan anggota DPR RI dan mitra penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaran Peringatan Bulan PRB Nasional mulai 21–25 Oktober ini dilakukan di lima kabupaten/kota di Sumut yaitu Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, Simalungun, Karo dan Samosir.

Di Indonesia, Bulan Peringatan PRB telah menjadi agenda nasional sejak 2013. Penyelenggaraan PRB nasional sebelumnya secara berturut adalah Kota Mataram, NTB (2013), Kota Bengkulu, Bengkulu (2014), Kota Surakarta, Jawa Tengah (2015), Kota Manado, Sulawesi Utara (2016), dan Sorong, Papua Barat (2017). (prn/ila)

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
GENDANG: Gubsu Edy Rahmayadi, Chief of UNISDR Asia Pacific Loretta Hieber Girardet, dan lainnya memukul gendang tanda dibukanya acara PRB Nasional 2018.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seluruh pemerintah daerah yang berada di Provinsi Sumatera Utara ternyata belum memiliki peta kerawanan bencana. Untuk itu, sebelum membuat sebuah regulasi tentang kebencanaan, pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau agar peta kerawanan bencana terlebih dahulu disusun.

“Saat ini Sumut memiliki peta resiko bencana, tapi hanya tingkat provinsi. Tidak menyeluruh seperti di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang sudah sampai pada tingkat kabupaten/kota,” kata Sekretaris Umum BNPN Dody Riswandi kepada wartawan, disela-sela acara Puncak Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Nasional 2018, di Hotel Santika Dyandra Medan, Rabu (24/10).

Pihaknya menyarankan agar Sumut belajar dari DIY terkait ini. Sebab provinsi dengan jumlah 14 juta penduduk tersebut, menurutnya salah satu daerahpotensi bencana di Indonesia. “Ya, artinya tidak hanya Sumut, DIY patut dicontoh oleh provinsi lain dalam hal menyusun peta kerawanan bencana. Mereka sudah punya sampai ketingkat kabupaten/kota. Begitu juga dengan Aceh,” ungkapnya.

Setelah peta kerawanan disusun hingga ketingkat kabupaten/kota, barulah pemda membuat regulasi soal kebencanaan berdasarkan hasil pemetaan di masing-masing daerah. Sebagai contoh, sebut Dody, bagaimana caranya menangani masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai (DAS) untuk mau direlokasi ke tempat yang lebih laik.

“Ini pula kenapa kita perlu menggelar Peringatan Bulan PRB setiap tahun di provinsi berbeda. Kita tak bosan mengimbau dan mengingatkan semua provinsi untuk tanggap akan bencana. Sebab menangani bencana berbeda seperti sektor lain. Harus melibatkan banyak pihak dan penanganannya secar komprehensif,” terangnya.

Dipilihnya Sumut sebagai tuan rumah PRB tahun ini, kata dia, bukan tanpa alasan. Salah satu faktornya akibat erupsi Gunung Sinabung yang sampai kini terus terjadi dan tak bisa diprediksi kapan berhenti. “Sumut adalah salah satu daerah yang memiliki potensi rawan bencana. Juga ada yang unik saat ini di Sumut tentang bencananya, yaitu memiliki gunung berapi yang sampai saat ini tidak berhenti untuk erupsi. Makanya kita jadikan Sinabung sebagai pembelajaran PRB nasional, bahkan dunia,” ucapnya pria yang juga Ketua Panitia Peringatan Bulan PRB 2018.

Gubernur Sumut Edy Rahmayadi saat memberi sambutan berharap kegiatan tersebut bukan hanya bersifat seremonial belaka. Tetapi benar-benar nyata dan bermanfaat dalam penanggulangan bencana. “Saya ingin kegiatan seperti ini bersifat riil (nyata, Red), di sini kita diskusi dan evaluasi apa yang bisa kita lakukan. Walaupun kecil yang penting nyata, bukan mengandai-andai. Apalagi ini semua menyangkut keselamatan rakyat kita, khususnya kelompok masyarakat yang paling rentan bencana,” ujarnya.

Edy kemudian menceritakan beberapa pengalamannya terlibat dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Termasuk di antaranya Tsunami Aceh 2004 dan yang baru-baru ini terjadi di Desa Muara Saladi, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal. “Kejadian di Madina menjadi evaluasi bagi kita semua pemerintah daerah termasuk saya.

Jangan kita biarkan masyarakat kita mendirikan bangunan di sempadan sungai. Ini merupakan tindakan yang salah. Jangan setelah terjadi banjir kita saling menyalahkan,” katanya dihadapan 3.000 lebih peserta BPBD dari tingkat provinsi, kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Edy berpesan agar kegiatan seperti ini menjadi momen untuk saling berdiskusi dan evaluasi, untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh dan siaga bencana. “BNPB maupun BPBD, kalian sudah pasti lebih ahli dibandingkan kami terkait penanggulangan bencana. Ingatkan kami para pemimpin daerah ini. Bersinergi dan kerja sama, itu yang penting,” katanya.

Sebelumnya, Kepala BNPB Willem Rampangilei dalam pesan video menyampaikan bahwa gempa bumi di kedua provinsi, NTB dan Sulawesi Tengah, menjadi “tamparan” setelah kejadian gempa bumi dan tsunami Aceh 2004. “Di mana, dapat kita lihat secara nyata bahwa kita tidak siap dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana. Oleh karena itu, kita membutuhkan pentingnya upaya PRB dan upaya ini harus dilakukan secara terus-menerus,” ungkapnya.

Ia menekankan suatu harapan bahwa Peringatan Bulan PRB ini dapat menghasilkan deklarasi yang mendorong semua pihak untuk melakukan evaluasi terkait penanganan bencana di NTB dan Sulteng.

Chief of UNISDR Asia Pacific Loretta Hieber Girardet menyampaikan bahwa PRB menjadi sangat penting karena tanpa rencana penanggulangan dan pencegahan bencana yang baik, banyak dampak dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat bencana tersebut. “Angka kehilangan rata-rata global atas kerusakan lingkungan akibat bencana hampir US$ 314 miliar. Angka ini sama dengan GDP (Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto, Red) Malaysia, Filipina, atau negara-negara ketiga lainnya,” ungkap dia.

Loretta berpesan bahwa ada satu cara terbaik untuk membangun ketangguhan, yaitu dengan memastikan pemerintah dan lembaga usaha berkewajiban untuk berinvestasi pada masa depan dan benar-benar memperhatikan risiko bencana. “Contoh sederhana adalah mengerti risiko terhadap banjir sebelum membangun pabrik dekat dengan tepi sungai dan mengambil tindakan untuk mitigasi risiko tersebut dalam desain pabrik,” jelasnya.

Hadir pada acara itu, Anggota DPD RI Parlindungan Purba, Wali Kota Medan HT Dzulmi Eldin, Ketua PMI Sumut Rahmat Shah, jajaran BNPB dan BPBD seluruh provinsi di Indonesia, perwakilan kementerian/lembaga, perwakilan anggota DPR RI dan mitra penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaran Peringatan Bulan PRB Nasional mulai 21–25 Oktober ini dilakukan di lima kabupaten/kota di Sumut yaitu Kota Medan, Kabupaten Deliserdang, Simalungun, Karo dan Samosir.

Di Indonesia, Bulan Peringatan PRB telah menjadi agenda nasional sejak 2013. Penyelenggaraan PRB nasional sebelumnya secara berturut adalah Kota Mataram, NTB (2013), Kota Bengkulu, Bengkulu (2014), Kota Surakarta, Jawa Tengah (2015), Kota Manado, Sulawesi Utara (2016), dan Sorong, Papua Barat (2017). (prn/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/