26.7 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

Bripka B Nababan Pernah Langgar Etika

MEDAN-Oknum polisi yang bertugas di Kejahatan Dan Kekerasan (Jatanras) Polresta Medan Bripka B Nababan ternyata juga pernah melanggar  prosedur dan etika. Artinya, sebelum diduga ikut andil dalam perampokan, ia juga punya catatan buruk.  Hal itu disampaikan Kepala Seksi (Kasi) Propam Polresta Medan AKP Afdhal Junaidi kepada Sumut Pos di  ruangannya, Senin (25/2).

Dikatakan Afdhal, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap Bripka B Nababan pada Sabtu (23/2). Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu, Bripka B Nababan membantah semua yang dituduhkan padanya. Meski demikian, kata Afdhal, pihaknya masih terus berkordinasi dengan pihak Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polresta Medan untuk menyelesaikan kasus yang sudah mencoreng citra Kepolisian itu.

“Hukuman paling berat adalah diberhentikan dengan tidak hormat (DDTH). Tapi kita masih menunggu vonis dari Pengadilan yang menyatakan kalau dia bersalah. Untuk perkara-perkara atau pelanggaran yang sebelumnya pernah dilakukan Bripka B Nababan, kita coba cek dulu, namun seingat saya dia pernah juga melanggar prosedur dan etika. Untuk proses lebih lanjut, kita masih berkordinasi dengan pihak Reskrim, “ ungkap Afdhal.

Sementara itu, saat wartawan koran ini mencoba mewawancari Bripka B Nababan yang sejak Sabtu (23/2) malam hingga Senin (25/2) pagi dikabarkan ditahan di ruang tahanan sementara Sat Reskrim Polresta Medan, tidak bisa ditemui. Pasalnya, oknum polisi yang bertugas di bagian Reskrim itu sudah dipindahkan ke ruang tahanan umum (Rumah Tahanan Polresta Medan).

Kemudian, wartawan koran ini mendatangi kediaman Bripka B Nababan di Jalan Gelatik VIII, Perumnas Mandala Kecamatan Percut Seituan, Senin (25/2) sore kemarin. Rumah bercat hijau itu terkunci. Seorang anak perempuan masih mengenakan seragam sekolah (SD) tampak sedang duduk di teras rumah berpagar merah dan berdinding keramik itu.

Anak perempuan yang belakang diketahui bernama Putri dan merupakan anak bungsu dari Bripka B Nababan itu itu ternyata sedang menunggu ibunya J Silitonga yang dikabarkan sedang menjenguk Bripka B Nababan. “Kami ada 6 bersaudara Bang dan yang paling besar sudah meninggal. Aku tidak percaya kalau ayah terlibat dalam kasus itu dan pasti ayah dijebak. Waktu kejadian itu, ayah sedang tidur di rumah. Memang ada kawan ayah orang Aceh dari Kota Cane, tapi tidak pernah datang ke sini dan mereka selalu jumpa di luar. Selama ini kami tidak pernah kekurangan dan ayah sangat sayang sama kami. Aku rindu sama ayah tapi mama tidak bolehkan aku untuk lihat ayah di kantor Polisi, “ ungkap Putri lugu.

Sejumlah tetangga Bripka B Nababan yang juga ditemui Sumut Pos mengatakan kalau Bripka B Nababan, sangat jarang bergaul dengan orang-orang di lingkungan mereka. Setiap hari, mereka mengaku melihat Bripka B Nababan, pergi sore dan pulang malam. Oleh karena itu, para tetangga tidak mengetahui kebiasaan apalagi pribadi Bripka B Nababan. Meski demikian, sejumlah tetangga itu mengaku mengetahui kalau Bripka B Nababan merupakan asli warga Kuta Cane yang sudah tinggal di lingkungan mereka sejak 9 tahun silam.

“Dia itu dijuluki Singa Lapar, yang kecil-kecil sering ditangkapinya. Apalagi anak-anak daerah Murai itu, sudah banyak yang ditangkapinya. Lagipula, dia sendiri yang bilang kalau mau mencari dia di Poltabes, sebut saja Singa Lapar. Kalau bergaul dengan orang sini, bisa dibilang tidak pernah dia. Tapi, isterinya itu ramah dan suka bergaul dengan para tetangga sehingga kami tidak menyangka kalau Pak Nababan itu terlibat kasus perampokan itu, “ ungkap Tobing didampingi sejumlah warga lainnya.

Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, menilai, banyaknya kasus kriminal melibatkan oknum kepolisian, membuktikan reformasi di tubuh kepolisian belum berjalan maksimal. Sebagai contoh kasus perampokan yang diduga turut dilakukan oknum polisi berinisial BN yang berdinas di Polresta Medan, kasus kekerasan yang dilakukan Kompol ES terhadap pembantu rumah tangganya, maupun sejumlah kasus keterlibatan oknum polisi lain dalam kasus narkotika.

“Di antaranya karena pendidikan dasar bagi aparat kepolisian sangat singkat dan buruk. Lalu pengawasan dari atasan juga sangat lemah, serta pemberian sanksi yang tidak maksimal terhadap oknum yang melakukan pelanggaran,” ujarnya kepada koran ini  di Jakarta, Senin (25/2).

Dari catatan IPW, kemungkinan tingginya oknum melakukan tindakan kriminal juga karena kurangnya tingkat kesejahteraan. Neta mencontohkan, untuk biaya hidup di Kota Medan, hampir tidak seimbang dengan pendapatan aparat polisi yang ada sehingga banyak oknum sering mencari jalan pintas dengan tidak memedulikan apakah tindakannya salah atau tidak.

“Untuk itu saya pikir guna menekan kondisi ini, kepolisian harus melakukan kontrol yang maksimal. Para atasan harus dapat memberi contoh teladan yang baik. Jangan justru meminta setoran ke anak buah, atau malah membekingi para pengusaha. Ini penting, karena kalau praktik tersebut masih terjadi, anak buah akan mengikutinya,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Neta, polisi juga harus benar-benar serius menjalankan reformasi yang selama ini digaung-gaungkan. “Reformasi itu artinya kepolisian harus bisa memaksimalkan pengawasan di internal terlebih dahulu. Kalau ini tidak berhasil, berarti reformasi sebenarnya gagal,” ujarnya.

Menurut pria asal Tapanuli Selatan ini, sebenarnya dari 410 ribu anggota kepolisian yang ada, oknum yang terlibat tindak kriminal tidak lebih dari 10 persen. “Ini yang sangat disayangkan, karena ulah segelintir oknum, citra polisi menjadi buruk. Apalagi di internal juga terdapat beberapa atasan yang melindugi perbuatan anak buahnya. Masyarakat tentunya kan dapat menilai kalau banyak hukuman yang diberikan terhadap oknum tidak maksimal. Padahal mereka jelas-jelas terbukti melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Karena itu IPW guna mengatasi persoalan ini, IPW mendesak kepolisian dapat lebih tegas dalam mengambil tindakan. “Harusnya setiap oknum yang terbukti berbuat tindak kriminal, langsung dipecat. Jangan kasih toleransi. Karena kalau tidak, maka citra kepolisian akan tetap jelek di mata masyarakat, hanya karena ulah segelintir oknum,” ungkapnya.(gir/mag-10)

MEDAN-Oknum polisi yang bertugas di Kejahatan Dan Kekerasan (Jatanras) Polresta Medan Bripka B Nababan ternyata juga pernah melanggar  prosedur dan etika. Artinya, sebelum diduga ikut andil dalam perampokan, ia juga punya catatan buruk.  Hal itu disampaikan Kepala Seksi (Kasi) Propam Polresta Medan AKP Afdhal Junaidi kepada Sumut Pos di  ruangannya, Senin (25/2).

Dikatakan Afdhal, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan terhadap Bripka B Nababan pada Sabtu (23/2). Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam itu, Bripka B Nababan membantah semua yang dituduhkan padanya. Meski demikian, kata Afdhal, pihaknya masih terus berkordinasi dengan pihak Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polresta Medan untuk menyelesaikan kasus yang sudah mencoreng citra Kepolisian itu.

“Hukuman paling berat adalah diberhentikan dengan tidak hormat (DDTH). Tapi kita masih menunggu vonis dari Pengadilan yang menyatakan kalau dia bersalah. Untuk perkara-perkara atau pelanggaran yang sebelumnya pernah dilakukan Bripka B Nababan, kita coba cek dulu, namun seingat saya dia pernah juga melanggar prosedur dan etika. Untuk proses lebih lanjut, kita masih berkordinasi dengan pihak Reskrim, “ ungkap Afdhal.

Sementara itu, saat wartawan koran ini mencoba mewawancari Bripka B Nababan yang sejak Sabtu (23/2) malam hingga Senin (25/2) pagi dikabarkan ditahan di ruang tahanan sementara Sat Reskrim Polresta Medan, tidak bisa ditemui. Pasalnya, oknum polisi yang bertugas di bagian Reskrim itu sudah dipindahkan ke ruang tahanan umum (Rumah Tahanan Polresta Medan).

Kemudian, wartawan koran ini mendatangi kediaman Bripka B Nababan di Jalan Gelatik VIII, Perumnas Mandala Kecamatan Percut Seituan, Senin (25/2) sore kemarin. Rumah bercat hijau itu terkunci. Seorang anak perempuan masih mengenakan seragam sekolah (SD) tampak sedang duduk di teras rumah berpagar merah dan berdinding keramik itu.

Anak perempuan yang belakang diketahui bernama Putri dan merupakan anak bungsu dari Bripka B Nababan itu itu ternyata sedang menunggu ibunya J Silitonga yang dikabarkan sedang menjenguk Bripka B Nababan. “Kami ada 6 bersaudara Bang dan yang paling besar sudah meninggal. Aku tidak percaya kalau ayah terlibat dalam kasus itu dan pasti ayah dijebak. Waktu kejadian itu, ayah sedang tidur di rumah. Memang ada kawan ayah orang Aceh dari Kota Cane, tapi tidak pernah datang ke sini dan mereka selalu jumpa di luar. Selama ini kami tidak pernah kekurangan dan ayah sangat sayang sama kami. Aku rindu sama ayah tapi mama tidak bolehkan aku untuk lihat ayah di kantor Polisi, “ ungkap Putri lugu.

Sejumlah tetangga Bripka B Nababan yang juga ditemui Sumut Pos mengatakan kalau Bripka B Nababan, sangat jarang bergaul dengan orang-orang di lingkungan mereka. Setiap hari, mereka mengaku melihat Bripka B Nababan, pergi sore dan pulang malam. Oleh karena itu, para tetangga tidak mengetahui kebiasaan apalagi pribadi Bripka B Nababan. Meski demikian, sejumlah tetangga itu mengaku mengetahui kalau Bripka B Nababan merupakan asli warga Kuta Cane yang sudah tinggal di lingkungan mereka sejak 9 tahun silam.

“Dia itu dijuluki Singa Lapar, yang kecil-kecil sering ditangkapinya. Apalagi anak-anak daerah Murai itu, sudah banyak yang ditangkapinya. Lagipula, dia sendiri yang bilang kalau mau mencari dia di Poltabes, sebut saja Singa Lapar. Kalau bergaul dengan orang sini, bisa dibilang tidak pernah dia. Tapi, isterinya itu ramah dan suka bergaul dengan para tetangga sehingga kami tidak menyangka kalau Pak Nababan itu terlibat kasus perampokan itu, “ ungkap Tobing didampingi sejumlah warga lainnya.

Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, menilai, banyaknya kasus kriminal melibatkan oknum kepolisian, membuktikan reformasi di tubuh kepolisian belum berjalan maksimal. Sebagai contoh kasus perampokan yang diduga turut dilakukan oknum polisi berinisial BN yang berdinas di Polresta Medan, kasus kekerasan yang dilakukan Kompol ES terhadap pembantu rumah tangganya, maupun sejumlah kasus keterlibatan oknum polisi lain dalam kasus narkotika.

“Di antaranya karena pendidikan dasar bagi aparat kepolisian sangat singkat dan buruk. Lalu pengawasan dari atasan juga sangat lemah, serta pemberian sanksi yang tidak maksimal terhadap oknum yang melakukan pelanggaran,” ujarnya kepada koran ini  di Jakarta, Senin (25/2).

Dari catatan IPW, kemungkinan tingginya oknum melakukan tindakan kriminal juga karena kurangnya tingkat kesejahteraan. Neta mencontohkan, untuk biaya hidup di Kota Medan, hampir tidak seimbang dengan pendapatan aparat polisi yang ada sehingga banyak oknum sering mencari jalan pintas dengan tidak memedulikan apakah tindakannya salah atau tidak.

“Untuk itu saya pikir guna menekan kondisi ini, kepolisian harus melakukan kontrol yang maksimal. Para atasan harus dapat memberi contoh teladan yang baik. Jangan justru meminta setoran ke anak buah, atau malah membekingi para pengusaha. Ini penting, karena kalau praktik tersebut masih terjadi, anak buah akan mengikutinya,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Neta, polisi juga harus benar-benar serius menjalankan reformasi yang selama ini digaung-gaungkan. “Reformasi itu artinya kepolisian harus bisa memaksimalkan pengawasan di internal terlebih dahulu. Kalau ini tidak berhasil, berarti reformasi sebenarnya gagal,” ujarnya.

Menurut pria asal Tapanuli Selatan ini, sebenarnya dari 410 ribu anggota kepolisian yang ada, oknum yang terlibat tindak kriminal tidak lebih dari 10 persen. “Ini yang sangat disayangkan, karena ulah segelintir oknum, citra polisi menjadi buruk. Apalagi di internal juga terdapat beberapa atasan yang melindugi perbuatan anak buahnya. Masyarakat tentunya kan dapat menilai kalau banyak hukuman yang diberikan terhadap oknum tidak maksimal. Padahal mereka jelas-jelas terbukti melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Karena itu IPW guna mengatasi persoalan ini, IPW mendesak kepolisian dapat lebih tegas dalam mengambil tindakan. “Harusnya setiap oknum yang terbukti berbuat tindak kriminal, langsung dipecat. Jangan kasih toleransi. Karena kalau tidak, maka citra kepolisian akan tetap jelek di mata masyarakat, hanya karena ulah segelintir oknum,” ungkapnya.(gir/mag-10)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/