Trik ‘Gadget’ Menangkan Pasangan Calon di Pilkada
Ada resep jitu terbaru menang di Pilkada. Optimalkanlah semua jejaring media! Sosialisasi di media cetak adalah yang utama. Namun optimalisasi Information Technology (IT) menjadi perlu pada era ini. Jika Anda kandidat, upayakan nama Anda kerap dipercakapkan di Twitter, Facebook dan Youtube. Maka, besar kemungkinan Anda bertengger jadi juara.
TEMUAN itu diungkapkan Enda Nasution, Direktur Pelaksana salingsilang.com, saat mengulik hubungan media sosial dan hasil Pilkada DKI putaran pertama 9 Juli 2012 lalu. Para kandidat DKI-1 yang paling banyak diperbincangkan di media sosial, rupanya keluar menjadi pemenang putaran pertama.
“Cukup surprise. Setelah Pilkada selesai, kami mengumpulkan data dari April sampai Juli 2012. Ada beberapa temuan mirip hasil quick count,” kata Enda, Rabu (18/7).
Korelasi positif dan tingkat akurasi percakapan di media sosial dengan hasil quick count aneka lembaga survei itu ditemukan bukan pada volume percakapan soal si calon gubernur. Tapi pada jumlah orang yang mempercakapkan si calon.
“Volume percakapan mengenai kandidat tertentu bisa jadi indikator kepopuleran. Tapi tidak peduli ada banyak percakapan, kalau orang yang membicarakan si kandidat itu-itu juga, ya tidak berpengaruh,” kata Enda.
Lewat media sosial, dia menjelaskan, bisa dihitung jumlah orang yang bercakap-cakap mengenai tiap calon gubernur, dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Enda lalu memaparkan temuan timnya. Cagub-cawagub DKI Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) menempati peringkat teratas dalam volume percakapan maupun kuantitas orang yang membicarakannya di media sosial.
Pada April 2012 misalnya, Jokowi-Ahok rata-rata didukung 2.715 tweeps. Sementara peringkat kedua, ditempati cagub incumbent Fauzi Bowo bersama pasangannya Nachrowi Ramli. Dukungan buat mereka 1.642 tweeps per hari. Urutan itu serupa dengan hasil quick count.
Pasangan Jokowi-Ahok ada di urutan pertama dengan 43,14 persen suara. Disusul pasangan Foke-Nara, dengan perolehan 33,54 persen suara (quick count Lembaga Survei Indonesia).
Penekanan tingkat akurasi pada volume percakapan dan bukan jumlah orang yang mempercakapkan calon, ujar Enda, ditemukan pada fenomena Faisal Basri-Biem Benjamin. Faisal-Biem menempati posisi ketiga dalam hal volume percakapan di media sosial. Sementara di hasil quick count, pasangan itu berada di urutan keempat. Perolehan suaranya 5,08 persen (Lembaga Survei Indonesia).
“Dari analisa, ternyata jumlah orang yang mempercakapkan Faisal-Biem di media sosial tak banyak, tapi mereka paling antusias,” kata Enda.
Perbandingannya, jika 1 orang nge-twit 4 kali calon yang mereka dukung, pendukung Faisal nge-twit lebih banyak. Alias 1 orang bisa 10 kali. Dengan kata lain, “Pendukung Faisal-Biem tidak banyak, tapi mereka passionate”.
Artinya, jumlah mereka yang rajin ‘berkicau’ di jejaring media sosial itu tercermin pula di hasil quick count. Tapi teori ini masih harus dibuktikan pada Pilkada DKI putaran kedua. “Kalau terbukti benar, maka teori ini bisa dibawa ke depan dalam riset sosial media,” ujar Enda.
Riset mirip Salingsilang.com juga dilakukan PoliticaWave, lembaga pemantau media sosial. Hasilnya pun tak jauh berbeda. Lembaga itu menyatakan, aktivitas di jejaring sosial dapat memetakan siapa calon gubernur yang nantinya memenangi Pilkada.
Pada Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, tesis itu terbukti. “Survei popularitas cagub di media sosial ini dapat merefleksikan suara masyarakat. Dengan kata lain, suara rakyat tercermin di media sosial,” kata Direktur PoliticaWave, Yose Rizal.
Dalam survei PoliticaWave di enam media dan jejaring sosial – Twitter, Facebook, blog, forum online, berita online, dan YouTube, Jokowi-Ahok menjadi kandidat paling sering disebut menjelang Pilkada DKI Jakarta putaran pertama.
Sementara, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli ada di urutan kedua. Urutan berikutnya berturut-turut ditempati Faisal Basri-Biem Benjamin, Alex Noerdin-Nono Sampono, Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini, dan Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patri.
PoliticaWave memantau dukungan publik di Pilkada DKI itu sejak 1 Mei 2012. Pengukuran tak hanya kuantitatif, tetapi juga kualitatif. “Kami analisis makna percakapan yang terjadi, apakah mendukung atau kontra terhadap kandidat. Lalu apakah bernada sentimen positif, negatif, atau netral,” ujar Yose.
Kini para pengguna media sosial juga tak melulu kelas menengah ke atas. Kalangan menengah ke bawah juga menyasar dunia ini. “Pengguna internet sudah melebar dengan adanya smartphone dengan harga terjangkau. Pulsa unlimited juga turut meningkatkan pengguna internet,” kata Yose.
Praktisi media sosial Arif Zulkifli menyimpulkan, temuan PoliticaWave itu mematahkan tiga asumsi yang berlaku selama ini. Pertama, Twitter adalah dunia chaos, dan tak terkontrol. Kedua, Twitter adalah milik kelas menengah pengguna smartphone. Ketiga, twitter adalah media dengan pola yang tidak dapat dibaca.
Sejak awal pasangan Jokow-Awok mengaku tak punya dompet yang buncit untuk berkampanye. “Pak Jokowi tak mungkin pasang iklan di televisi. Biaya kampanye kami terbatas,” kata Sekretaris Tim Pemenangan dan Penggalangan Relawan Jokowi-Ahok, Yuke Yurike.
Jurus lebih murah pun dipakai. Mereka turun ke bawah, ke rakyat, dan juga promosi lewat media sosial.
Kampanye simpatik lewat media sosial pun dilancarkan. Ini rupanya lebih efisien dari media konvensional. Yuke berkisah, betapa sulit mereka ‘menembus’ media konvensional. “Kami adakan konferensi pers, dan kami sebarkan rilis pers, tapi hanya sedikit media yang memuatnya,” ujar Yuke.
Mentok di media umum, tim sukses Jokowi-Ahok membetot kampanye di media sosial. Sambutan rupanya positif. “Awalnya mengalir saja. Kebetulan di media sosial banyak simpatisan, bahkan dari Kaskusers,” kata Yuke.
Para simpatisan Jokowi-Ahok itu awalnya tersebar acak, dan tak terkoordinir. “Tapi pelan-pelan di Twitter kami telusuri polanya. Kami akhirnya hafal pendukung mana yang berasal dari tim resmi, atau relawan,” Yuke melanjutkan. Dari situ, mereka merapatkan barisan lewat ‘kopi darat’.
“Akhirnya kami semua bergabung. Perjuangan memenangkan Jokowi-Ahok pun jadi lebih enak”. Cara itu juga lebih hemat ongkos.
Lalu, apa kesimpulan Yuke? “Dahsyat. Semua tidak sia-sia,” ujarnya. Dia mengatakan, kampanye itu efektif karena orang-orang di Jakarta melek teknologi. Mereka bisa akses informasi lewat BlackBerry atau smartphone. Hasilnya, Jokowi-Ahok memang jadi juara di putaran pertama. (bbs/jpnn)