29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sengketa Sari Rejo Berpotensi Terjadi Konflik

MEDAN-Sengketa lahan Sari Rejo di Kecamatan Medan Polonia hingga saat ini tak menunjukkan perkembangan berarti. Tuntutan masyarakat Sari Rejo, soal sertifikat kepemilikan atas tanah, tak kunjung terpenuhi Pemko Medan. Akibatnya, warga melalui organisasi masyarakat sekitar Sari Rejo, Forum Masyarakat Sari Rejo (Formas) pekan lalun
mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara  (Sumut), di Jalan Brigjen Katamso, Medan, untuk menanyakan perkembangan masalah tanah Sari Rejo.

“Kami mendapatkan, ada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kep Ka BPN) RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012, dimana isinya tentang pembentukan tim penanganan dan penyelesain permasalahan tanah yang berpotensi konflik strategis. Nah, salah satunya adalah sengketa lahan Sari Rejo,” ungkap Ketua Formas, Riwayat Pakpahan, Minggu (25/11).

Riwayat menjelaskan, tiga tim itu dibagi dalam tiga klasifikasi penyelesaian menurut waktunya, yakni jangka pendek untuk tahun 2012 ini, jangka menengah untuk penyelesaian tahun 2013 dan terakhir jangka panjang untuk penyelesaian tahun 2014 mendatang.

Dalam klasifikasi jangka waktu penyelesaian itu, sengketa lahan Sari Rejo dengan pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) yang markasnya di areal Sari Rejo, Medan Polonia, masuk dalam kategori penyelesaian jangka panjang.
Hal inilah yang jadi pertanyaan, kenapa masalah Sari Rejo yang sudah sejak 1948 silam, atau yang sudah berusia 64 tahun, tidak kunjung tuntas hingga detik ini.

Di Sumut, katanya, ada tim 3, salah satu di tim 3 ini bertugas menyelesaikan soal Sari Rejo dengan TNI AU. Kenapa masalah ini bisa masuk kategori jangka panjang, sementara masalah ini dimana masyarakat sudah mendiami dan menguasai lahan sejak 1948 dan telah menjadi pemukiman. Sertifikat diterbitkan untuk TNI AU saja baru dikeluarkan pada Bulan Juli 1997 lalu, dan itu diterbitkan oleh BPN Medan.

Kemudian, TNI AU punya dua sertifikat, yakni Sertifikat Hak Pakai No.1 tanggal 13 Juni 1997, yang luasnya 35.25 hektare (Ha) dan Sertifikat Hak Pakai No.4 tgl 26 Juni 1997, seluas 267.53 Ha. Jadi totalnya Jadi total 302.78 Ha. Sedangkan yang diduduki, didiami dan dikuasai masyarakat seluas 260 Ha, dan itu  tidak termasuk dalam sertifikat dan Register 50506001.

“Pertanyaannya lagi, TNI AU mengklaim keseluruhan seluas 591.30 Ha dan kenapa lahan yang sudah didiami masyarakat seluas 260 Ha tidak disertifikatkan sampai sekarang?” tegasnya.

Dituturkan Riwayat lagi, klaim TNI AU atas tanah Sari Rejo secara keseluruhan, berdasarkan Peraturan Pemerintaj (PP) No.24/1997 pasal 24 ayat 2 tidak sesuai. Dimana, sambung Riwayat, dalam PP tersebut secara jelas dan lugas ditegaskan, penguasaan secara fisik atas sebidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh warga masyarakat dapat didaftarkan haknya atas tanahnya.

Penguasaan TNI AU yang berdasarkan Keputusan Staf Angkatan Perang (KSAP) No.023/P/KSAP/50 tgl 25 Mei 1950 dan dijadikan landasan klaim TNI AU atas klaim keseluruhan tanah Sari Rejo, menurutnya, juga tidak mutlak.

Karena dalam KSAP tersebut, ungkapnya, hanya menerangkan semua lapangan terbang serta bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan tersebut menjadi milik AURI.

“Dan itu bukan bukti kepemilikan. Jadi tidak secara keseluruhan punya TNI AU,” cetusnya.
Berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)No.630.2.2518/PKM/1993 tanggal 26 Februari 1993, katanya lagi, dimiliki TNI AU (Diklaim TNI AU seluas 591.30 ha, red) bukanlah merupakan tanda kepemilikan dan surat itu tidak punya dasar hukum.

“Hanya surat keterangan yang menerangkan status dan luasnya. Yang diterbitkan BPN Medan. Ini bukan dasar hukum. Yang disertifikatkan TNI AU, Sertifikat No.1 dan No.4 tidak kami permasalahkan. Kenapa yang punya masyarakat tidak ini disertifikatkan,” tukasnya lagi.

Selain itu, lanjutnya, semestinya baik Pemko Medan, TNI AU dan semua pihak terkait mematuhi keputusan Mahkamah Agung (MA) No.229/Pdt/1991 tanggal 18 Mei 1995, yang secara lugas mengisyaratkan tanah yang didiami masyarakat seluas 260 ha adalah milik masyarakat.

“Sudah jelas pada putusan MA itu, yang bunyinya tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat (masyarakat, red). Poin lainnya, yakni perbuatan tergugat (TNI AU, red) yang melarang penggugat membangun rumah atau mengharuskan penggugat-penggugat dalam hal ini masyarakat  agar terlebih dahulu memperoleh izin dari tergugat, untuk membangun rumah diatas tanah sengketa adalah perbuatan melanggar hukum,” pungkasnya lagi.

Riwayat juga sempat menyesalkan sikap Pemko Medan, dalam hal ini Wali Kota Medan, yang tidak tegas dan simultan dalam memperjuangan warga masyarakat Sari Rejo, yang nota bene merupakan warganya.

Apalagi, Pemko Medan terkesan tidak menindaklanjuti surat Wali Kota Medan Rahudman Harahap ke Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) No.593/1906 tanggl 8 Februari 2012, tentang permohonan langkah tindak lanjut penyelesaian Sari Rejo, Medan Polonia.
“Belum ada kejelasan. Mau jumpai Wali Kota saja susah,” cetus Riwayat.Secara terpisah, Pemko Medan melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan, Syaiful Bahri yang dikonfirmasi Sumut Pos, menyatakan Pemko Medan belum bisa berbuat banyak dalam menyelesaikan sengketa lahan Sari Rejo.

Alasannya adalah persoalan itu, letaknya di pemerintah pusat, dalam hal ini BPN RI dan kementerian terkait serta pihak TNI AU sendiri.
“Kita nggak bisa terlalu maju, karena ini di pusat. Kita menunggu perkembangannya dari pusat. Surat Wali Kota ke Kasau itu, kita juga belum menerima balasan dan kita masih menunggu,” ucapnya.

Diketahui, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kep Ka BPN) RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012, tentang pembentukkan tiga tim penyelesaian dan penanganan persoalan tanah berpotensi konflik strategis, dimana ada tiga klasifikasi jangka waktu penyelesaian antara lain, jangka pendek untuk tahun 2012, jangka menengah untuk tahun 2013 dan jangka panjang sampai tahun 2014.(ari)

Konflik Tanah Strategis di Sumut

1. Jangka Pendek:

*Sengketa Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Sianjur Resort, seluas 31.5 Ha, di Mariendal II, Kabupaten Deliserdang
*Sengketa pengembalian tanah 80 Ha di Payabagas, Kebun Rambutan, Deliserdang

2. Jangka Menengah :
*Sengketa tanah antara masyarakat dengan pihak PTPN2 Deliserdang

3. Jangka Panjang :
*Sengketa Tanah Sari Rejo, seluas 260 ha, antara masyarakat dengan TNI AU

Sumber:  Kep Ka BPN RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012

MEDAN-Sengketa lahan Sari Rejo di Kecamatan Medan Polonia hingga saat ini tak menunjukkan perkembangan berarti. Tuntutan masyarakat Sari Rejo, soal sertifikat kepemilikan atas tanah, tak kunjung terpenuhi Pemko Medan. Akibatnya, warga melalui organisasi masyarakat sekitar Sari Rejo, Forum Masyarakat Sari Rejo (Formas) pekan lalun
mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara  (Sumut), di Jalan Brigjen Katamso, Medan, untuk menanyakan perkembangan masalah tanah Sari Rejo.

“Kami mendapatkan, ada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kep Ka BPN) RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012, dimana isinya tentang pembentukan tim penanganan dan penyelesain permasalahan tanah yang berpotensi konflik strategis. Nah, salah satunya adalah sengketa lahan Sari Rejo,” ungkap Ketua Formas, Riwayat Pakpahan, Minggu (25/11).

Riwayat menjelaskan, tiga tim itu dibagi dalam tiga klasifikasi penyelesaian menurut waktunya, yakni jangka pendek untuk tahun 2012 ini, jangka menengah untuk penyelesaian tahun 2013 dan terakhir jangka panjang untuk penyelesaian tahun 2014 mendatang.

Dalam klasifikasi jangka waktu penyelesaian itu, sengketa lahan Sari Rejo dengan pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) yang markasnya di areal Sari Rejo, Medan Polonia, masuk dalam kategori penyelesaian jangka panjang.
Hal inilah yang jadi pertanyaan, kenapa masalah Sari Rejo yang sudah sejak 1948 silam, atau yang sudah berusia 64 tahun, tidak kunjung tuntas hingga detik ini.

Di Sumut, katanya, ada tim 3, salah satu di tim 3 ini bertugas menyelesaikan soal Sari Rejo dengan TNI AU. Kenapa masalah ini bisa masuk kategori jangka panjang, sementara masalah ini dimana masyarakat sudah mendiami dan menguasai lahan sejak 1948 dan telah menjadi pemukiman. Sertifikat diterbitkan untuk TNI AU saja baru dikeluarkan pada Bulan Juli 1997 lalu, dan itu diterbitkan oleh BPN Medan.

Kemudian, TNI AU punya dua sertifikat, yakni Sertifikat Hak Pakai No.1 tanggal 13 Juni 1997, yang luasnya 35.25 hektare (Ha) dan Sertifikat Hak Pakai No.4 tgl 26 Juni 1997, seluas 267.53 Ha. Jadi totalnya Jadi total 302.78 Ha. Sedangkan yang diduduki, didiami dan dikuasai masyarakat seluas 260 Ha, dan itu  tidak termasuk dalam sertifikat dan Register 50506001.

“Pertanyaannya lagi, TNI AU mengklaim keseluruhan seluas 591.30 Ha dan kenapa lahan yang sudah didiami masyarakat seluas 260 Ha tidak disertifikatkan sampai sekarang?” tegasnya.

Dituturkan Riwayat lagi, klaim TNI AU atas tanah Sari Rejo secara keseluruhan, berdasarkan Peraturan Pemerintaj (PP) No.24/1997 pasal 24 ayat 2 tidak sesuai. Dimana, sambung Riwayat, dalam PP tersebut secara jelas dan lugas ditegaskan, penguasaan secara fisik atas sebidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh warga masyarakat dapat didaftarkan haknya atas tanahnya.

Penguasaan TNI AU yang berdasarkan Keputusan Staf Angkatan Perang (KSAP) No.023/P/KSAP/50 tgl 25 Mei 1950 dan dijadikan landasan klaim TNI AU atas klaim keseluruhan tanah Sari Rejo, menurutnya, juga tidak mutlak.

Karena dalam KSAP tersebut, ungkapnya, hanya menerangkan semua lapangan terbang serta bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan tersebut menjadi milik AURI.

“Dan itu bukan bukti kepemilikan. Jadi tidak secara keseluruhan punya TNI AU,” cetusnya.
Berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)No.630.2.2518/PKM/1993 tanggal 26 Februari 1993, katanya lagi, dimiliki TNI AU (Diklaim TNI AU seluas 591.30 ha, red) bukanlah merupakan tanda kepemilikan dan surat itu tidak punya dasar hukum.

“Hanya surat keterangan yang menerangkan status dan luasnya. Yang diterbitkan BPN Medan. Ini bukan dasar hukum. Yang disertifikatkan TNI AU, Sertifikat No.1 dan No.4 tidak kami permasalahkan. Kenapa yang punya masyarakat tidak ini disertifikatkan,” tukasnya lagi.

Selain itu, lanjutnya, semestinya baik Pemko Medan, TNI AU dan semua pihak terkait mematuhi keputusan Mahkamah Agung (MA) No.229/Pdt/1991 tanggal 18 Mei 1995, yang secara lugas mengisyaratkan tanah yang didiami masyarakat seluas 260 ha adalah milik masyarakat.

“Sudah jelas pada putusan MA itu, yang bunyinya tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat (masyarakat, red). Poin lainnya, yakni perbuatan tergugat (TNI AU, red) yang melarang penggugat membangun rumah atau mengharuskan penggugat-penggugat dalam hal ini masyarakat  agar terlebih dahulu memperoleh izin dari tergugat, untuk membangun rumah diatas tanah sengketa adalah perbuatan melanggar hukum,” pungkasnya lagi.

Riwayat juga sempat menyesalkan sikap Pemko Medan, dalam hal ini Wali Kota Medan, yang tidak tegas dan simultan dalam memperjuangan warga masyarakat Sari Rejo, yang nota bene merupakan warganya.

Apalagi, Pemko Medan terkesan tidak menindaklanjuti surat Wali Kota Medan Rahudman Harahap ke Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) No.593/1906 tanggl 8 Februari 2012, tentang permohonan langkah tindak lanjut penyelesaian Sari Rejo, Medan Polonia.
“Belum ada kejelasan. Mau jumpai Wali Kota saja susah,” cetus Riwayat.Secara terpisah, Pemko Medan melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan, Syaiful Bahri yang dikonfirmasi Sumut Pos, menyatakan Pemko Medan belum bisa berbuat banyak dalam menyelesaikan sengketa lahan Sari Rejo.

Alasannya adalah persoalan itu, letaknya di pemerintah pusat, dalam hal ini BPN RI dan kementerian terkait serta pihak TNI AU sendiri.
“Kita nggak bisa terlalu maju, karena ini di pusat. Kita menunggu perkembangannya dari pusat. Surat Wali Kota ke Kasau itu, kita juga belum menerima balasan dan kita masih menunggu,” ucapnya.

Diketahui, berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kep Ka BPN) RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012, tentang pembentukkan tiga tim penyelesaian dan penanganan persoalan tanah berpotensi konflik strategis, dimana ada tiga klasifikasi jangka waktu penyelesaian antara lain, jangka pendek untuk tahun 2012, jangka menengah untuk tahun 2013 dan jangka panjang sampai tahun 2014.(ari)

Konflik Tanah Strategis di Sumut

1. Jangka Pendek:

*Sengketa Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Sianjur Resort, seluas 31.5 Ha, di Mariendal II, Kabupaten Deliserdang
*Sengketa pengembalian tanah 80 Ha di Payabagas, Kebun Rambutan, Deliserdang

2. Jangka Menengah :
*Sengketa tanah antara masyarakat dengan pihak PTPN2 Deliserdang

3. Jangka Panjang :
*Sengketa Tanah Sari Rejo, seluas 260 ha, antara masyarakat dengan TNI AU

Sumber:  Kep Ka BPN RI No.366/KEP-25.2/1X/2012 tertanggal 10 September 2012

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/