MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Kota Medan telah menetapkan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar Rp2.969.824,64 yang berlaku mulai 1 Januari 2019. Untuk itu diharapkan, baik buruh maupun perusahaan dapat sama-sama mematuhi dan melaksanakannya.
Meski begitu, Dinas Tenaga Kerja Kota Medan mengaku tidak dapat memberi sanksi kepada perusahaan yang tidak mematuhi UMK 2019 itu. Sebab, berdasarkan PP 18/2017 tentang struktur organisasi, seluruh perangkat yang berkaitan dengan penyidikan, penyelidikan, hingga sanksi kepada perusahaan yang tidak menjalankan aturan, dilimpahkan ke dinas tenaga kerja tingkat provinsi.
“Kalau ada temuan atau laporan, nanti kita sampaikan ke Disnaker Provinsi Sumut untuk ditindaklanjuti. Sejak ada PP 18 itu PPNS (Penyelidik Pegawai Negeri Sipil) mulai dari perangkat, pegawai yang bisa menindak perusahaan sudah dialihkan ke dinas tingkat provinsi,” kata Kabid Perselisihan Syarat Kerja dan Pengupahan (PSKP) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Medan, Harun Ismail Sitompul kepada wartawan, Minggu (25/11).
Meski begitu, dalam penerapan UMK mulai 1 Januari 2019 mendatang, Disnaker Kota Medan akan tetap melakukan monitoring secara berkala terhadap perusahaan-perusahaan mengenai pemberlakukan UMK 2019. “Serikat buruh mengusulkan agar dibentuk tim reaksi cepat yang bertugas melakukan monitoring ini. Hal itu sedang dipertimbangkan dan dibahas lebih jauh,” pungkas Harun.
Sedangkan mengenai permintaan serikat buruh tentang program pasar murah untuk ditampung pada APBD 2019 sebagai kompensasi kenaikan UMK yang tidak sesuai dengan harapan buruh, Kadisnaker Medan, Hannalore Simanjuntak mengaku, usulan tersebut akan dibahas lebih lanjut. “Akan kita bahas lagi, karena itu melibatkan instansi lain dan perlu koordinasi. Apalagi, penganggaran juga perlu mendapat persetujuan dari wali kota dan DPRD,” katanya, akhir pekan lalu.
Ia mengaku, meski belum bisa ditampung melalui APBD, tetap akan memperjuangkan program tersebut agar bisa terealisasi. “Ada cara lain, misalkan dengan melibatkan pihak swasta atau perusahaan yang ingin menyalurkan CSR perusahaan, sehingga bisa dibuatkan kegiatan tersebut. Langkah-langkah itu yang akan dipikirkan ke depan,” ujarnya.
Sebelumnya, Usaha Tarigan, serikat buruh yang tergabung dalam Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) Kota Medan mengatakan, cukup sulit untuk mendongkrak agar nilai UMK 2019 bisa sesuai dengan usulan serikat buruh yang berjumlah Rp3,09 juta. Oleh karena itu, para buruh mau tidak mau menerima penetapan tersebut.
Meski begitu, sambungnya, serikat buruh mendorong agar Pemko Medan membuat program yang berpihak kepada buruh atau pekerja seperti beasiswa kepada anak buruh, maupun pasar murah yang khusus diperuntukkan kepada buruh. “Kita lihat di beberapa daerah salah satunya di Jakarta, di mana Pemprov DKI membuat pasar murah yang menjual kebutuhan rumah tangga seperti sembako dan lainnya khusus kepada buruh dengan harga murah. Jadi yang membeli buruh yang memegang kartu serikat pekerja,” ujarnya.
Menyikapi usulan program pasar murah ini, Anggota Komisi B DPRD Medan, Wong Chun Sen mengatakan, hal itu agak sulit dilakukan. “Subsidi juga harus dibuat anggarannya, subsidi itukan dari pusat dan subsidi juga harus dilihat dari anggaran pemko. Kalau subsidi mungkin agak susah, jadi kita harus mandiri,” ujarnya.
Sedangkan mengenai besaran UMK Kota Medan sebesar Rp2,9 juta lebih yang telah disahkan gubernur, menurut politisi PDI Perjuangan ini sudah memadai dan merupakan paling tinggi di antara usulan UMK se-Sumut. “Kenaikan UMK dapat dilihat dari berbagai aspek, tidak semua lokasi dapat disamakan. Di suatu daerah UMK sudah tinggi, lantas Medan tidak bisa ikut dengan jumlah yang sama dengan daerah tersebut. Sebab, setiap inflasi daerah kan tidak sama. Selain itu, banyak perusahaan sekarang yang profitnya tidak terlalu tinggi. Jadi, yang penting kenaikan bisa menyejahterakan buruh,” ujarnya.
Pendapat berbeda disampaikan koleganya di Komisi B, Rajuddin Sagala. Politisi PKS ini menilai, layaknya kenaikan upah buruh itu mencapai 11 persen bukan 8,03 persen. Sebab, saat ini banyak kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan harga. “Perhitungan UMK harus melibatkan semua sektor. Jangan hanya memikirkan perusahaan atau pengusaha, tapi juga nasib buruh ikut diperhitungkan,’’ kata Rajuddin kepada wartawan di gedung DPRD Medan, akhir pekan lalu.
Apalagi, sambungnya, mengingat harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), sembako dan kebutuhan masyarakat lainnya saat ini juga mahal. Jadi kenaikan upah buruh yang ditetapkan masih tidak sebanding dengan mahalnya harga kebutuhan hidup. “Pantasnya UMK Medan 2019 naik 11 persen. Tahun 2018 UMK di Medan berkisar Rp2.749.074, makanya kita harapkan 2019 UMK naik 11 persen atau berkisar di atas Rp3 jutaan,’’ ujarnya.
Rajuddin menambahkan, Kota Medan merupakan kota terbesar ketiga setelah DKI Jakarta dan Surabaya. Sementara UMK 2019 untuk Surabaya mencapai Rp3.871.052,61. “Saya rasa layak UMK di Medan naik 11 persen. Jangan hanya mengacu kepada PP 78/2015,’’ cetusnya.
Ia menambahkan, Komisi B sudah menjadwalkan usai rapat Pansus R-APBD 2019 akan melakukan pertemuan dengan dinas terkait untuk pembahasan upah buruh ini. “Kami juga sampai sekarang masih menunggu laporan dari perserikatan pekerja, karena hingga saat ini belum ada yang melapor secara resmi ke Komisi B,’’ tukasnya.
UMK Binjai Harusnya Rp2,6 Juta
Pro kontra kenaikan UMK juga terjadi di Kota Binjai. Ketua DPC Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Kota Binjai, Rahimin Sembiring menilai, UMK sebesar Rp2.409.714 yang diusulkan Pemko ke gubernur belum layak. “Kami dari SBSI 1992 Kota Binjai tidak mendukung kenaikan UMK Binjai yang penetapannya menurut PP 78/2015 ini. Itu yang membuat kami buruh hingga saat ini tidak sejahtera,” kata pria yang akrab disapa Ray ini kepada wartawan, Minggu (25/11).
Dia menyesalkan, Pemko Binjai yang dinilainya tidak taat dan patuh terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. “Malah yang diikuti PP 78. Kami tidak mau pemerintah menetapkan UMK ikut PP 78. Kami tidak mendukung. Jangan tunduk kepada PP 78,” sambung dia.
Kota Binjai berbatasan dengan Deliserdang dengan Langkat. Namun, penetapan UMK Binjai jauh daripada Deliserdang yang sebesar Rp2.938.524. Sementara UMK Langkat 2019 yang diusulkan ke Gubernur Sumut sebesar Rp2.498.337. Karenanya, dia meminta agar UMK Binjai dapat disesuaikan dengan Deliserdang. “SBSI 1992 Kota Binjai menilai, UMK Binjai harusnya naik 15 sampai 20 persen,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Perdagangan Kota Binjai, Tobertina menyatakan, UMK Binjai 2019 yang ditetapkan dan sudah diusulkan kepada Gubernur Sumut yakni Rp2.409.000.
“Saya lupa angka pastinya, tapi kalau enggak salah, segitu (Rp2.409.00). Penetapan UMK Binjai 2019 berdasarkan sejumlah indikator, salah satunya income per kapita di Kota Binjai yang terus mengalami peningkatan. Selain itu, inflasi juga naik,” kata dia.
Ketua Dewan Pengupahan Kota Binjai ini menambahkan, muncul angka UMK Binjai 2019 berdasarkan penetapan UMP yang ditetapkan Gubernur Sumut. Penetapan itu, kata dia, merupakan rekomendasi hingga kesimpulan yang dihasilkan oleh Dewan Pengupahan. “Ada rumusannya juga penghitungan UMK ini?. UMK Binjai 2019 ini lebih besar dari UMP Sumut,” aku Tobertina.
Meski demikian, lanjutnya, penetapan UMK Binjai 2019 ini tetap menuai protes dari kalangan buruh. Tapi, protes dimaksud secara nasional. Padahal, ujar dia, UMK Binjai sudah melebihi UMP Sumut 2019.
“SPSI seluruh Indonesia tidak mengakui adanya PP 78. Makanya protes, acuan mereka UU 13. Begitupun di Binjai protes itu tidak terjadi. Berhasil kami memberikan pemahaman,” kata mantan Kepala Dinas Pendapatan (Kadispenda) Kota Binjai ini.
Disoal apakah instansi yang dipimpinnya mendapat temuan perusahaan nakal yang tidak sesuai memberikan UMK kepada buruhnya, Tobertina mengaku ada. Hanya saja, Tobertina tidak merincikan berapa jumlah perusahaan nakal tersebut. Pun demikian, kata dia, buruh maupun karyawan perusahaan swasta yang tidak memberikan gaji di bawah UMK adem. Artinya, tidak protes. “Sepanjang perjanjian mereka buat bersama buruh tidak komplain, makanya tidak ada yang protes. Sebab semua ada perjanjian kerja,” ujar dia.
Lantas bagaimana Disnaker Perindag Binjai mengawasi perusahaan nakal ini? Tobertina menjawab, kalau pihaknya dibantu pengawas tenaga kerja dari Sumut. “Nanti saya misi ke depannya karena Binjai sudah smart city, saya akan kasih tahu lewat link website untuk perusahaan nakal. Dari situlah kami nanti mengontrol perusahaan. Sampai hari ini, buruh di Binjai yang protes selalu berakhir mediasi. Karena kami punya mediator yang profesional dan bersertifikasi,” pungkasnya. (ris/ted)